Orang miskin diminta diet, masyarakat diminta menanam cabai, dan parasit cacing aman bagi tubuh, merupakan tiga pernyataan kontroversial yang diungkit Presiden PKS Sohibul Iman. Mungkin menurutnya, para menteri itu perlu belajar dari Socrates.
PinterPolitik.com
“Anyone who holds a true opinion without understanding is like a blind man on the right road.”
– Socrates (470-399 SM) –
[dropcap]P[/dropcap]ada awal April lalu, Presiden PKS Sohibul Iman mengeluarkan pernyataan di akun media sosialnya tentang menteri-menteri Kabinet Kerja yang terkesan asbun alias asal bunyi. Walaupun dalam nada kritikan yang diarahkan kepada media-media, namun secara tersirat, Sohibul jelas mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajaran menterinya yang tidak disebutkan nama-namanya itu.
Ia secara tegas mengatakan menteri-menteri Jokowi seringkali bukan hanya berbicara tanpa data, tetapi juga tanpa logika. Kritikan tersebut memang terasa sangat keras, namun menjadi hal biasa karena tentu saja mewakili pendapat oposisi pemerintah.
Pernyataan Sohibul tersebut dikeluarkannya pasca komentar Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moelok, terkait kasus penemuan parasit cacing dalam 27 produk ikan makarel kaleng oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Saat itu, Nila menyebut bahwa cacing-cacing tersebut mengandung protein dan tidak akan membahayakan kesehatan masyarakat jika diolah dengan baik dan dimasak secara benar.
Saya curiga media di era pak @jokowi terlalu usil kpd Kabinet Kerja. Berita2nya gak masuk akal. Coba aja: org miskin diminta diet, rakyat disuruh nanam cabe sendiri, cacing parasit disebut sumber protein, dst. Apa iya menteri2 asbun? Presiden jelas minta agar kritik pake data.
— mohamad sohibul iman (@msi_sohibuliman) April 1, 2018
Para pakar kesehatan memang kemudian membenarkan pernyataan Menkes tersebut, dan menyebut bahwa parasit cacing dalam ikan makarel kaleng sudah mati ketika melalui proses pemasakan. Dengan demikian, saat dimakan, tidak akan ada dampak berbahaya bagi tubuh.
Namun, entah tahu kebenaran ilmiahnya atau tidak – atau sekedar menjadi bagian dari tugas mengkritik oposisi – Sohibul tetap mempermasalahkan hal tersebut. Apalagi, dalam pandangan umum masyarakat Indonesia, parasit cacing digeneralisir sebagai hal yang berbahaya bagi tubuh.
Menariknya lagi, Sohibul juga kembali mengungkit pernyataan para menteri Jokowi yang lain yang juga mendatangkan kontroversi, misalnya terkait permintaan diet kepada rakyat miskin, hingga menanam cabai. Tentu pertanyaannya adalah apakah menteri-menteri tersebut memang gagal melakukan komunikasi publik?
Duri dalam Kabinet
Jika berkaca kembali ke belakang, pada Januari 2016 lalu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani memang sempat mengeluarkan pernyataan “nyeleneh” dalam kunjungannya ke Bali.
Pasalnya, saat kegiatan penyaluran beras untuk rumah tangga miskin (raskin) di provinsi tersebut, Puan mengeluarkan pernyataan yang meminta masyarakat untuk diet dan mengurangi makan.
Pernyataan tersebut memang dimaksudkan oleh Puan sebagai candaan. Namun, candaan tersebut terdengar sangat sarkastik, menyinggung perasaan masyarakat, dan tidak pada tempatnya. Dengan konteks Puan sebagai pejabat publik dan orang dari golongan berpunya – cucu Bapak Proklamator pula – pernyataan tersebut memang terkesan sangat merendahkan martabat masyarakat kelas bawah.
Puan disebut tidak punya kemampuan komunikasi publik yang baik, dan tidak punya humor yang cerdas. Mungkin hal inilah yang kembali membuat Sohibul Iman menyebutnya asbun dan tanpa logika.
Setahun berselang, pada Januari 2017, giliran Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita yang mengeluarkan pernyataan yang tidak kalah nyeleneh. Saat itu, harga cabai rawit di pasaran sedang meroket, bahkan menembus angka Rp 90 ribu per kilogram. Ketimbang memberikan komentar terkait strategi pengaturan harga, Mendag justru meminta masyarakat menanam cabai sendiri di rumah, sehingga tidak perlu membeli di pasar.
Kata-kata tersebut menjadi bulan-bulanan kritik, terutama dari para pedagang. Mereka menyebut jika menanam cabai sendiri, maka rakyat sesungguhnya tidak butuh negara.
Kini, dua pernyataan tersebut diungkit lagi dalam kasus Menkes dan ikan makarel. Selain ketiga menteri tersebut, menteri-menteri Jokowi yang lain memang juga dikenal sering mengeluarkan pernyataan yang nyeleneh.
Namun, dibanding yang lain, pernyataan Puan, Enggar dan Nila dianggap cenderung asbun – setidaknya menurut Sohibul Iman – walaupun dalam konteks faktanya, pernyataan Menteri Nila tentang parasit cacing jelas memiliki nilai kebenaran yang lebih baik dibandingkan Puan dan Enggar karena dibuktikan dengan dukungan pendapat ahli.
Selain itu, Puan Maharani selama ini memang dianggap sebagai salah satu tokoh yang tidak punya kompetensi cukup baik untuk menduduki posisi menteri. Bahkan dalam beberapa reshuffle kabinet, banyak yang mendesaknya untuk diganti – hal yang cukup sulit terwujud mengingat dirinya adalah putri dari Megawati Soekarnoputri.
Sementara itu, ketidakmampuan Menteri Enggar mengontrol harga komoditas – termasuk cabai – serta kebijakan-kebijakannya terkait impor beras, garam dan gula, juga membuatnya dikritik dan dianggap layak dicopot.
Jika demikian, apakah benar Puan, Enggar serta Nila gagal melakukan komunikasi publik?
Socrates dan Komunikasi Interkultural
Sebagai guru dari Plato, Socrates memang tidak meninggalkan tulisan tentang pemikiran-pemikirannya. Namun, dalam dialog The Republic yang ditulis Plato sekitar tahun 380 SM, ada kutipan pemikiran Socrates yang punya hubungan dengan masalah para menteri dalam tulisan ini.
“Anyone who holds a true opinion without understanding is like a blind man on the right road.” Kata-kata yang ada di awal tulisan ini sekurang-kurangnya berarti: ‘Setiap orang yang berpegang pada pendapat yang benar tanpa memahaminya, itu seperti orang buta di jalan yang benar’. Mungkin, hal inilah yang dimaksudkan oleh Sohibul Iman, bahwa para menteri Jokowi seharusnya memahami maksud kata-kata Socrates tersebut.
Terlepas dari pemikiran Socrates itu, baik Puan, Enggar maupun Nila boleh jadi gagal melaksanakan apa yang disebut sebagai komunikasi lintas budaya (intercultural communication).
Larry A. Samovar, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel, dan Caroline Sexton Roy dalam bukunya “Intercultural Communication” mengartikan hal tersebut sebagai kemampuan untuk mengkomunikasikan sesuatu hal untuk saling berbagi informasi di berbagai budaya dan kelompok sosial.
Hal ini digunakan untuk menggambarkan berbagai proses komunikasi atas masalah-masalah yang secara alami muncul dalam suatu organisasi atau komunitas sosial yang terdiri dari individu-individu dari berbagai agama, sosial, etnis, dan latar belakang pendidikan.
Jelas dalam kasus Puan meminta rakyat miskin diet, Enggar meminta masyarakat tanam cabai, dan Nila yang menyebut parasit cacing aman di tengah anggapan bahwa parasit cacing umumnya berbahaya, ketiganya gagal melaksanakan komunikasi interkultural tersebut.
Puan sebagai bagian dari kalangan elit gagal memahami perasaan masyarakat miskin, Enggar gagal memahami perasaan para pedagang, dan Nila gagal memahami perasaan masyarakat tentang parasit cacing. Padahal, dalam konteks kedudukan ketiganya sebagai pejabat publik di Indonesia yang memiliki beragam latar belakang budaya, kemampuan komunikasi interkultural mutlak dibutuhkan.
Pada titik tersebut, mungkin hal inilah yang menyebabkan lahirnya kritik masyarakat yang menganggap para menteri tersebut – terutama Puan dan Enggar – layak untuk dicopot.
Tidak salah jika para menteri Jokowi dianggap perlu mendalami pemikiran Socrates, bahwa sekalipun apa yang dikatakan mereka benar, tanpa memahami konteks masyarakat yang menerima pernyataan tersebut, mereka seperti orang buta yang ada di jalan yang benar. Jalannya benar, tetapi tidak ada jaminan mereka akan sampai ke tujuan yang ingin dicapai.
Oleh karena itu, memperbaiki komunikasi interkultural mutlak dibutuhkan oleh para menteri tersebut. Bagaimanapun juga, lelucon diet untuk rakyat miskin misalnya, terdengar sangat sarkastik dan menyinggung.
Hal-hal semacam ini justru akan berdampak kurang baik bagi pemerintahan Jokowi secara keseluruhan. Publik boleh jadi menilai bahwa Jokowi tidak mampu memilih menteri yang kompeten untuk jabatan sepenting menteri dan melihat kabinet kerjanya hanya sekedar acara bagi-bagi kekuasaan.
Pada akhirnya, semua akan kembali ke pernyataan Socrates di awal tulisan ini, bahwa sekalipun benar, apa yang tidak dipahami, tidak akan menjamin tercapaianya tujuan. Bukan begitu? (S13)