Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #13
Covid-19 memang tengah jadi momok menakutkan bagi banyak negara. Hampir semua negara telah mengalami imbasnya, baik di sektor kesehatan, politik maupun ekonomi. Kabar terbaru, negara tetangga Indonesia, Australia telah resmi masuk ke jurang resesi setelah mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar minus 7 persen. Namun, pada saat yang sama negara kanguru tersebut juga memberikan bantuan 30 ton alaat kesehatan dan masker kepada Indonesia. Menarik.
“Indonesia in 2017 was the 16th largest economy in the world. By 2030 it will become the ninth largest economy, and by 2050 it will be the fourth largest – bigger than Japan. That is amazing.”
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::
Keadaan ekonomi ini merupakan yang terburuk dalam 61 tahun terakhir, sementara ini menjadi resesi ekonomi pertama Australia dalam 30 tahun terakhir. Biro Statistik Australia melaporkan produk domestik bruto (PDB) minus 7 persen pada kuartal II 2020. Sebelumnya, ekonomi Australia minus 0,3 persen pada kuartal I 2020. Ini sudah masuki dalam kategori resesi ekonomi karena pertumbuhan ekonomi telah minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Menariknya, di tengah kondisi keterpurukan ekonomi yang cukup parah tersebut, Australia masih memberikan bantuan 30 ton alat medis, masker dan perlengkapan kesehatan lainnya. Bantuan tersebut langsung diterima oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Mantan Danjen Kopassus itu menyebutkan bahwa bantuan yang diberikan Australia kepada Indonesia ini membuktikan bahwa persahabatan kedua negara terjalin dengan baik. Prabowo juga menyebutkan bahwa Indonesia sebelumnya pun sudah memberikan bantuan dengan mengirimkan pasukan untuk membantu memperbaiki kerusakan fasilitas umum di Australia akibat kebakaran hutan beberapa waktu lalu.
Konteks bantuan Australia ini menarik untuk dilihat karena menjadi wajah realitas hubungan antara Indonesia dengan negara-negara Barat. Australia memang menjadi salah satu sekutu Amerika Serikat (AS), sehingga sangat relevan dianggap sebagai wujud kehadiran kekuatan Barat di kawasan.
Adapun AS sendiri telah menyerahkan bantuan 500 ventilator dari total 1000 yang dijanjikan akan diberikan kepada Indonesia. Ini lagi-lagi menunjukkan bagiamana kekuatan Barat begitu lekat dengan kebutuhan Indonesia akan bantuan-bantuan kesehatan tersebut.
Persoalan ini penting untuk dibahas, mengingat dalam dua periode kekuasaan Presiden Jokowi, arah politik luar negeri Indonesia memang cenderung lebih dekat ke Timur, terutama ke Tiongkok sebagai kekuatan baru ekonomi global di samping AS. Di satu sisi, wajar jika di tengah situasi serba sulit seperti sekarang ini, Indonesia melihat bantuan dari negara-negara Barat ini sebagai hal yang positif. Namun, boleh jadi pandemi Covid-19 ini adalah bukti nyata sulitnya Indonesia keluar dari cengkraman pengaruh Barat.
Lalu seperti apa persoalan ini dilihat dari sudut pandang akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani?
“Kutukan” Mental Mapping Barat
Dalam salah satu webinar terbaru bertajuk Symposium on Social Science 2000, Mahbubani menyoroti perubahan yang terjadi secara fundamental di dunia, di mana negara-negara Asia pada akhirnya mulai bangkit dari ketertinggalan. Sebagai catatan, sebelum abad ke-18, menurut Mahbubani, peta politik global sesungguhnya dikuasai oleh Tiongkok dan India. Namun, dalam 200 tahun terakhir, peradaban Barat telah mengambil alih posisi dominan secara global.
Kini, dengan konteks kebangkitan kembali negara-negara Asia, perubahan yang terjadi secara global memang sampai pada satu titik persoalan bagi negara-negara Asia itu sendiri, yakni bagaimana mencari tuntunan atau arah jalan untuk menuju pada kemajuan.
Namun, permasalahannya masih banyak negara-negara Asia yang terikat pada mental maps atau peta mental yang diberikan dan digariskan oleh ahli-ahli ilmu sosial pada abad ke-19 dan abad ke-20, yang mayoritas di antaranya berasal dari dunia Barat. Menurut Mahbubani, hal ini tidak bisa lagi dipakai sebagai acuan bagi negara-negara Asia untuk bergerak maju di abad ke-21.
Mental maps itu sendiri adalah konsep geography behavioral yang menjelaskan pola perilaku dan pandangan seseorang yang dipengaruhi oleh area interaksi mereka. Intinya mental mapping adalah kajian untuk melihat kaitan antara faktor geografi dan pemaknaan yang diberikan padanya, dengan pola perilaku individu.
Kevin Lynch dengan bukunya The Image of the City, merupakan salah satu pemikir paling prominen terkait gagasan ini. Kajian ini memang sering digunakan untuk menganalisis pola perilaku masyarakat di wilayah kota atau pemukiman tertentu. Namun, pengaplikasiannya bisa juga digunakan dalam konteks sistem geopolitik internasional.
Terkait hal tersebut, menurut Mahbubani, perlu ada perubahan pola perilaku negara-negara di Asia dalam konteks persepsi mereka terhadap dunia Barat. Pola perilaku ini akan sangat bergantung pada mental mapping yang dipakai.
Bukan tanpa alasan, jika melihat 4 negara teratas di dunia dari sisi power purchasing parity atau paritas daya beli, 3 di antaranya justru ada di Asia. Di urutan pertama ada Tiongkok, kemudian AS di posisi kedua, posisi ketiga ada India dan keempat adalah Jepang.
Indonesia sendiri pada tahun 2017 ada di urutan ke-16 dunia dari sisi kekuatan ekonomi. Mahbubani memprediksi pada tahun 2030 Indonesia akan ada di urutran ke-9 dan pada tahun 2050 di posisi ke-4 terbesar di dunia.
Artinya, sudah saatnya negara-negara Asia tidak lagi bergantung besar pada dunia barat lagi, termasuk dalam konteks bidang keilmuan sosial. Apalagi, makin ke belakang, makin sering peradaban Barat menggunakan standar ganda dalam perilaku negaranya.
AS misalnya, menyebut illegal jika para pebisnisnya melakukan lobi-lobi dengan anggota legislatif dari suatu negara asing tertentu. Namun, lobi-lobi yang demikian justru legal di negara sendiri antara para pebisnis dengan para pembuat hukum, utamanya misalnya yang berkaitan dengan privatisasi sistem kesehatan.
Jika ingin melangkah jauh lebih ke depan, sudah saatnya standar-standar Barat itu tidak lagi dijadikan patokan mati. Persoalannya tinggal bagaimana negara-negara Asia, termasuk Indonesia di dalamnya, melepaskan ketergantungan dari AS dan sekutunya. Bantuan yang masih terus mengalir dan perubahan arah angin hubungan pasca merebaknya Covid-19 adalah contoh bagaimana persoalan mental mapping ini harus dilihat dengan lebih baik.
Barat, Jalan Jokowi Keluar dari Pandemi?
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk terbuka kepada semua pihak yang ingin memberikan bantuan penanganan Covid-19 berangkat dari kepentingan nasional dan belum mampunya Indonesia untuk benar-benar berdiri di kaki sendiri. Tak heran juga jika banyak pihak yang mengklaim bahwa kembali mendekat ke Barat adalah jalan Jokowi untuk membawa Indonesia keluar dari persoalan-persoalan yang timbul akibat pandemi.
Namun, perlu disadari juga bahwa dengan makin tingginya tensi politik di Laut China Selatan, setiap bantuan yang diberikan oleh Barat akan selalu punya nuansa politik di belakangnya. Bukan tanpa alasan Australia yang tengah resesi “bela-belain” memberikan bantuan 30 ton alkes dan masker. Bukan tanpa alasan pula AS menjanjikan bantuan 1000 ventilator. Posisi sentral Indonesia di kawasan ini jelas menjadi kunci bagi kedua pihak – dalam hal ini AS dan Tiongkok – untuk memainkan perimbangan kekuasaan.
Sejauh ini, dalam konteks Covid-19 khususnya, Tiongkok bahkan telah selangkah di depan berkat kerja sama pembuatan vaksin yang sudah dalam tahap uji coba di Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi angin segar dalam konteks penyelesaian Covid-19, pun dalam hal hubungan antara kedua negara ini.
Jokowi sebelumnya juga telah mengirimkan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi beberapa waktu lalu ke Tiongkok untuk membahas kerja sama kesehatan dan ekonomi kedua negara. Sehari lalu, Presiden Jokowi juga secara khusus berteleponan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk memperingati 70 tahun hubungan kedua negara.
Pada akhirnya, bantuan-bantuan dari negara-negara Barat ini memang harus dilihat secara proporsional. Jika prediksi Mahbubani benar bahwa AS akan makin tertinggal dalam persaingan dengan Tiongkok, maka hubungan lebih kuat dengan Tiongkok mungkin menjadi jawaban akan pembaruan mental mapping Indonesia terhadap intisari peradaban Barat.
Dengan demikian, cita-cita menjadi negara terbesar secara ekonomi urutan ke-4 di dunia bisa terwujud di tahun 2050 mendatang. (S13)