Masih hangat terasa kasus penangkapan MenKP Edhy Prabowo, kini giliran Mensos Juliari Batubara yang harus berurusan dengan KPK karena mengorupsi bansos Covid-19. Mungkinkah penangkapan menteri dari PDIP tersebut menjadi momen Presiden Jokowi untuk meniru langkah Xi Jinping dalam melawan korupsi?
Terdapat beberapa perbedaan menarik yang dapat dilihat dari kasus korupsi Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo dan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Ini bukan tentang perbandingan jumlah kekayaan mereka yang berbanding hampir tujuh kali lipat ataupun perbedaan nominal korupsinya, melainkan pada cara pengamat politik dan Istana dalam merespons kedua kasus tersebut.
Pada kasus Edhy, para pengamat justru memberikan analisis bertendensi politis. Mulai dari membandingkannya dengan penangkapan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pada 2013 silam, indikasi hubungan PDIP dengan Gerindra, hingga dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
Sementara pada kasus Juliari, tanggapan yang ada lebih berfokus pada tindakan korupsi yang terjadi, menyerang kredibilitas PDIP, hingga mengungkit kembali pembubaran Kementerian Sosial seperti yang pernah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dulu.
Perbedaan yang lebih menarik terlihat dari respons Istana. Pada penangkapan Edhy, Presiden Jokowi memberikan tanggapan netral dengan menyebut pemerintah mendukung usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi, tidak lama berselang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau agar KPK tidak berlebihan dalam mengusut kasus Edhy. Sedangkan pada kasus Juliari, Presiden Jokowi justru menggunakan kalimat tegas dengan menyebut tidak akan memberikan perlindungan.
Konteks perbedaan respons Istana mungkin dilihat sebagai perbedaan kasus semata. Pasalnya, korupsi Juliari dinilai jauh lebih tidak bermoral karena menyangkut dana bansos Covid-19. Itu jelas bertolak belakang dari penegasan berulang Presiden Jokowi agar para menteri memiliki sense of crisis di tengah pandemi.
Namun, jika perbedaan respons tersebut menunjukkan sinyal politik tertentu, mungkinkah itu menjadi momen Presiden Jokowi untuk melakukan bersih-bersih kabinet seperti yang dilakukan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping?
Kampanye Anti-Korupsi Xi Jinping
Kongres Nasional ke-18 Partai Komunis Tiongkok (CPC) pada 2012 adalah awal dari kampanye anti-korupsi terorganisir terbesar dalam sejarah pemerintahan Komunis di Tiongkok. Saat itu, Xi Jinping masih menjabat Sekretaris Umum CPC.
Setelah menjabat sebagai Presiden pada Maret 2013, Xi benar-benar menepati janjinya untuk menindak mereka yang disebut sebagai harimau dan lalat. Harimau merujuk pada pejabat tingkat, sedangkan lalat dimaksudkan kepada pegawai negeri sipil.
Alexandra Fiol-Mahon dalam tulisannya Xi Jinping’s Anti-Corruption Campaign: The Hidden Motives of a Modern-Day Mao (2018) menyebut sejak kampanye dimulai, telah terdapat 1,5 juta pejabat pemerintahan yang terjaring, termasuk rival politik Xi, Bo Xilai dan Zhou Yongkang.
Menariknya, Fiol-Mahon membandingkan kampanye Xi dengan apa yang dilakukan oleh Mao Zedong. Menurutnya, kendati disebut sebagai langkah besar untuk melawan praktik korupsi, kampanye Xi ataupun Mao sebenarnya adalah langkah politik untuk membasmi lawan politiknya.
Namun, berbeda dengan Mao yang menargetkan siapa pun yang memiliki perbedaan pendapat dengannya, Xi lebih berfokus untuk menghapus semua saingan politik, terutama calon penerus atau pemimpin potensial. Jika Mao tidak membeda-bedakan antara teman dan musuh, Xi dinilai masih memiliki kompromi terhadap pejabat yang tidak mengancam dan setia kepadanya secara pribadi.
Farida Chawala dalam tulisannya Xi Jinping’s Anti-Corruption Campaign: Party Strategy or Way Forward to Corruption-free China menyebutkan, kendati kampanye anti-korupsi jamak dinilai sebagai upaya konsolidasi kekuasaan politik Xi, namun pada hasilnya, kampanye tersebut memang berhasil menurunkan tingkat korupsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Chawala misalnya mengutip laporan Bank Dunia yang berjudul Ease of Doing Business. Dalam laporan tersebut, posisi Tiongkok meningkat secara signifikan sejak kampanye dilakukan. Dari posisi ke-99 di 2012, menjadi ke-78 pada 2017, dan ke posisi ke-46 di 2018.
Momen bagi Jokowi?
Mengacu pada respons berbeda Presiden Jokowi pada kasus Mensos Juliari, serta berbagai kemarahannya atas belum melandainya kurva Covid-19, boleh jadi itu menjadi momentum mantan Wali Kota Solo tersebut untuk melakukan bersih-bersih kabinet melalui KPK.
Menariknya, konteks tersebut dinilai pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di periode kedua kepemimpinannya. Seperti yang diketahui, saat itu banyak kader Partai Demokrat yang terjerat kasus korupsi.
Pada 5 Agustus 2012, sebuah komentar menarik diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana. Menurutnya, SBY bisa jadi tengah meminjam atau memanfaatkan tangan KPK untuk melakukan “bersih-bersih” kader.
Menimbang pada masa jabatan SBY yang masih dua tahun lagi, alias masih memiliki pengaruh yang cukup untuk melindungi kadernya, spekulasi Ari tampaknya memiliki pembenaran tersendiri. Apalagi, kader Demokrat yang terjerat saat itu adalah kader-kader utama, seperti Anas Urbaningrum, Nazaruddin, hingga Andi Mallarangeng.
Kembali pada respons berbeda pada kasus Juliari, jika benar itu menunjukkan gejolak emosi khusus, maka boleh jadi konsep mysterium tremendum et fascinans dari teolog Jerman, Rudolf Otto tengah dirasakan oleh Presiden Jokowi. Mysterium tremendum et fascinans adalah konsep teologi Otto untuk menjelaskan pengalaman manusia dalam memahami Tuhan, yakni Tuhan adalah misteri yang menggentarkan sekaligus memesona.
Konsep tersebut kemudian diadopsi oleh dosen Filsafat Budaya Universitas Indonesia (UI) Tommy F. Awuy untuk menjelaskan fenomena kebudayaan. Menurutnya, manusia kerap mengalami peristiwa atau momen tramendum, yakni momen kekaguman atau menggentarkan.
Momen tersebut kemudian menjadi kenangan yang tidak terlupakan, dan bahkan menjadi preseden atas perubahan luar biasa. Ini juga bisa disebut sebagai eureka moment. Kendati masih menjadi perdebatan, eureka moment jamak dirujuk kepada polymath Yunani kuno, Archimedes ketika berhasil menemukan Hukum Archimedes.
Singkatnya, jika kasus Juliari menjadi tramendum atau eureka moment, maka besar kemungkinan itu menjadi alasan bagi Presiden Jokowi untuk mengambil langkah tegas, khususnya untuk menyaring pembantunya yang terindikasi melakukan korupsi.
Law as a Tool of Political Engineering
Jika kasus Juliari nantinya benar menjadi tramendum bagi Presiden Jokowi untuk melakukan bersih-bersih, secara tidak langsung itu dapat pula menjadi political tool atau alat politik.
Konteksnya bisa dilihat pada kasus Mao dan Xi di Tiongkok. Namun, menimbang pada perbedaan vital bentuk pemerintahan, di mana Indonesia bukanlah negara otoriter, pengertian alat politiknya tentu berbeda. Di sini, pengertiannya seperti kasus SBY, yakni tangan KPK digunakan untuk melakukan bersih-bersih.
Akan tetapi, apabila kita merujuk pada tulisan Tom Power yang berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn, terdapat satu lembaga yang dapat digunakan sebagai senjata politik (political weapon) karena kewenangannya sama dengan KPK, yakni Kejaksaan Agung.
Tom Power misalnya mencontohkan kasus mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Zainul Majdi atau yang sering dipanggil Tuan Guru Bajang (TGB). Menurutnya, TGB yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2014, ikut dalam protes anti-Ahok dan terlibat dalam gerakan 212, justru berbalik mendukung Jokowi setelah KPK mengumumkan akan menyelidiki dugaan keterlibatannya dalam korupsi terkait penjualan saham Newmont.
Dalam tulisannya, Tom Power menyebut bertolak dari testimoni seorang politisi PDIP yang menggambarkan Kejaksaan Agung seperti senjata politik yang digunakan oleh pemerintah untuk mengontrol politisi oposisi.
Jika Tom Power benar, maka kita mungkin dapat mengadopsi konsep law is a tool of social engineering (hukum adalah alat rekayasa sosial) dari Roscoe Pound menjadi law as a tool of political engineering (hukum sebagai alat rekayasa politik).
Nah, ihwal apakah yang paling mungkin? Yang jelas, apa pun itu, kasus korupsi Edhy dan Juliari harus menjadi evaluasi, terlebih saat ini kita tengah mengalami situasi sulit akibat pandemi Covid-19. (R53)