Meskipun telah ditolak oleh Bank Indonesia (BI), beberapa waktu yang lalu wacana untuk melakukan cetak uang (printing money) dari DPR ramai dibicarakan oleh publik. Lantas, benarkah terdapat kekhawatiran intervensi International Monetary Fund (IMF) yang menjadi alasan utama di balik penolakan tersebut?
PinterPolitik.com
Dengan adanya ancaman nyata krisis ekonomi akibat pandemi virus Corona (Covid-19), tentunya taktik jitu harus dikeluarkan guna menghindarkan Indonesia agar tidak terjatuh dalam lembah kehancuran ekonomi. Beberapa waktu yang lalu, taktik jitu sepertinya datang dari Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memberi usulan kebijakan kepada Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang sebesar Rp 400-600 triliun guna menyelamatkan perekonomian.
Seperti yang mudah ditebak, usulan tersebut dipandang minor oleh berbagai kalangan. Argumentasinya jelas, itu dapat menciptakan inflasi yang besar. Ingatan publik tentu saja masih segar akan kehancuran ekonomi Zimbabwe yang mengalami inflasi luar biasa besar, yang bahkan mencapai 231 juta persen pada 2008 karena kebijakan cetak uang (printing money) yang berlebihan.
Ekonom dari Indef Eko Listiyanto turut menyoroti usulan tersebut dengan menyebutkan hiperinflasi hingga 600 persen pada era Orde Lama dapat saja terjadi apabila usulan diterima. Kemudian, ada pula kritik dari ekonom Bank Permata Josua Pardede dan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang memperingatkan bahwa kebijakan tersebut dapat mengulang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang mana banyak dana yang justru dilarikan atau tidak kembali.
Gubernur BI Perry Warjiyo juga turut menyinggung perihal kasus BLBI yang dapat berulang karena adanya potensi uang yang diedarkan kepada masyarakat tidak dapat diserap kembali. Menimbang pada besarnya potensi masalah yang diakibatkan, mudah ditebak bahwa usulan tersebut kemudian ditolak secara tegas oleh BI.
Menanggapi penolakan tersebut, Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi PDIP Said Abdullah justru menyebut jawaban Gubernur BI kekanak-kanakan karena DPR tidak menyebutkan uang yang dicetak untuk dibagikan kepada masyarakat. Selain itu, Said juga menegaskan bahwa pihaknya telah menghitung inflasi yang akan terjadi hanya sekitar 5-6 persen.
Kendati BI menolak mentah-mentah usulan tersebut, ternyata sampai saat ini BI telah “mencetak uang” lebih dari Rp 500 triliun untuk menambah likuiditas di pasar yang sedang mengetat akibat roda perekonomian yang melambat bahkan nyaris berhenti berputar.
Perlu digarisbawahi, “mencetak uang” yang dimaksud bukan dalam artian mencetak uang secara fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Penambahan suplai tidak hanya dilakukan dalam bentuk fisik, melainkan juga dalam bentuk simpanan perbankan.
Nah, mengacu pada hal tersebut, boleh jadi itu yang membuat Said menyebut jawaban Gubernur BI kekanak-kanakan. Karena pada dasarnya kebijakan cetak uang dalam artian membagi-bagikan uang secara langsung bukanlah poin dari Badan Anggaran DPR.
Pada konteks ini, Said menyinggung perihal belum adanya upaya BI dalam membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk tetap hidup di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, kendatipun BI tidak mau mencetak uang, setidaknya BI mau menurunkan suku bunga sebesar 2 persen agar perekonomian bisa segera pulih.
Merujuk pada hal tersebut, menjadi pertanyaan tersendiri perihal penolakan mentah-mentah BI atas usulan kebijakan tersebut. Lantas, mungkinkah terdapat kekhawatiran lain dari BI sehingga menolak mentah-mentah usulan cetak uang tersebut? Intervensi dari International Monetary Fund (IMF) misalnya?
Modern Monetary Theory
Menimbang pada berbagai kasus inflasi akibat kebijakan cetak uang, mungkin telah menjadi default nalar publik bahwa kebijakan tersebut begitu sulit untuk dibenarkan. Akan tetapi, merujuk pada Modern Monetary Theory (MMT), kebijakan cetak uang justru dinilai menjadi hal yang lazim.
Zach Helfand dalam tulisannya The Economist Who Believes the Government Should Just Print More Money menyebutkan, secara sederhana, prinsip MMT menegaskan bahwa pemerintah tidak perlu merealokasi anggaran ataupun mengkhawatirkan utang karena pada dasarnya pemerintahan atau negara memiliki kemampuan untuk mencetak uang mereka sendiri. Singkatnya, solusi yang ditawarkan atas masalah keuangan bukanlah utang, melainkan inflasi.
Dylan Matthews dalam tulisannya Modern Monetary Theory, Explained menyebutkan bahwa MMT tidak mengarahkan kebijakan untuk menciptakan hiperinflasi karena inflasi akan diatur dengan ketat. Salah satu cara untuk mengontrolnya dengan menaikkan pajak sehingga defisit dapat ditekan.
Akan tetapi, kendati kontrol inflasi tersebut dapat dilakukan secara teoretis. Namun, seperti dalam sorotan Rizal Ramli ataupun Gubernur BI, bagaimana caranya untuk memastikan penyerapan anggaran tersebut dapat terjadi. Atau singkatnya, bagaimana memungkinkan penyerapan pajak yang disebut dapat mencegah terjadinya hiperinflasi dapat dilakukan. Sebagaimana diketahui, sebelum pandemi menerjang saja, penyerapan pajak masih terpantau rendah. Lantas, bagaimana mungkin penyerapannya baik di tengah situasi pandemi seperti saat ini?
Adanya Intervensi IMF?
Selain masalah sulitnya mengontrol inflasi yang membuat Gubernur BI menyebut kebijakan cetak utang sebagai kebijakan yang tidak lazim untuk dilakukan. Masalah lain juga sepertinya dapat muncul jika merujuk pada Indonesia yang merupakan anggota dari IMF.
Masalahnya adalah, setelah melakukan cetak uang, maka nilai uang yang dicetak akan ditetapkan berdasarkan Special Drawing Rights (SDR). Jikapun Badan Anggaran DPR merujuk pada AS yang mencetak uang untuk menjawab persoalan ekonomi akibat pandemi Covid-19, itu tidak akan menimbulkan inflasi besar karena Dolar AS merupakan bagian penting dari SDR.
SDR sendiri dibuat oleh IMF untuk menjadi cadangan global yang dapat berperan dalam menyediakan likuiditas dan menambah cadangan resmi negara-negara anggota, khususnya ketika terjadi situasi krisis keuangan. SDR bukanlah mata uang, melainkan merupakan klaim potensial atas mata uang anggota IMF yang dapat digunakan secara bebas. SDR kemudian dapat ditukar dengan berbagai mata uang yang telah ditetapkan oleh IMF, seperti Dolar AS dan Yuan.
Artinya, selaku negara yang merupakan bagian dari IMF, Indonesia harus menggunakan SDR untuk melakukan kalkulasi cetak uang. Dengan kata lain, apabila ratusan triliun rupiah nantinya dicetak, nilainya akan turun karena permintaan terhadap rupiah tidak tinggi seperti halnya Dolar AS yang menjadi nilai tukar SDR. Terlebih lagi, dengan adanya pandemi Covid-19, banyak negara meminjam dana dari IMF yang memang menyediakan dana pinjaman cepat, yang mana ini membuat permintaan atas SDR menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri juga turut menjelaskan hal ini, bahwa alasan Bank Sentral AS, Federal Reserve System (The Fed) dapat mencetak uang berlebih karena aktivitas ekonomi internasional menggunakan Dolar AS, sehingga itu membuat permintaannya menjadi tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam, rupiah yang bukan bagian penting dari SDR akan menimbulkan inflasi yang besar.
Dengan demikian, belum selesai menjawab persoalan bagaimana menjawab agar penyerapan dana anggaran yang dicetak dapat dilakukan agar tidak terjadi inflasi, sejak awal inflasi memang akan langsung menggentayangi karena posisi rupiah yang cenderung lemah atas SDR. Singkatnya, inflasi akibat kebijakan cetak uang tersebut akan terjadi di hulu dan hilir.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami, alasan tegas BI untuk menolak kebijakan cetak utang, tidak hanya karena dapat mengulang kasus BLBI ataupun terjadinya inflasi karena pengembalian dana yang tidak maksimal. Melainkan juga karena Indonesia yang terikat pada aturan IMF membuatnya harus merujuk nilai rupiah kepada mata uang yang telah ditetapkan sebagai SDR seperti Dolar AS. Tentunya, hal tersebut akan membuat inflasi menjadi tidak terhindarkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.