Menggantikan Rudiantara, Johnny G. Plate ditunjuk sebagai Menkominfo di kabinet Presiden Jokowi. Diangkatnya politikus Nasdem ini dibayangi dengan berbagai pertanyaan, khususnya terkait dirinya yang tidak memiliki background di bidang Information Technology (IT). Tak ayal, penunjukkan Johnny disebut merupakan spoils system atau bagi-bagi jatah kursi. Banyak pihak juga menyebut posisi Menkominfo yang membawahi urusan media tentu selaras dengan bisnis media massa sang ketua partai, Surya Paloh.
PinterPolitik.com
“Orang bebas untuk berpartisipasi dalam pemilihan, tetapi pemilik modal yang ada di partai politik juga akan ikut campur. Karena demokrasi berbiaya tinggi, sponsor diperlukan untuk memenuhi biaya politik, dan itu adalah sarang oligarki yang tidak memberikan apa pun secara gratis”.
Begitulah pernyataan menohok Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor yang mengomentari laju demokrasi Indonesia yang disebutnya merupakan pencampuran dengan oligarki.
Mau bagaimana lagi, semenjak pemilihan langsung diberlakukan, itu tidak hanya mengembalikan hak individu untuk memilih wakilnya secara langsung, melainkan juga membawa segudang persoalan yang bermuara pada tingginya biaya politik.
Tanpa dapat dihindari, politik transaksi adalah konsekuensi praktis yang sudah terlanjur menjadi praktik lumrah dan terbenarkan.
Terkait hal ini, menarik untuk melihat pernyataan Profesor di Northwestern University, Jeffrey A. Winters yang mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (oligark).
Politik yang merupakan usaha untuk mewujudkan keinginan bersama, secara pahit telah bertransformasi menjadi aktivitas ekonomi (keuntungan). Tidak ubahnya dengan pasar, akan selalu terdapat transaksi atau deal-deal politik yang berfokus pada kalkulasi keuntungan dari investor.
Suka tidak suka, demokrasi saat ini dimulai oleh para pemilik modal dan diakhiri dengan bagi-bagi jabatan sesuai dengan seberapa besar biaya yang mereka investasikan – ini yang disebut dengan spoils system.
Melihat dari perspektif ini, kita cukup memahami mengapa politikus Nasdem yang tidak memiliki latar belakang di bidang IT, Johnny G. Plate justru ditunjuk sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Atas hal ini, wajar saja jika berbagai pihak menilai penunjukkan Johnny adalah spoils system karena Nasdem merupakan salah satu partai pendukung utama Jokowi.
Johnny sendiri bukan orang sembarang di Nasdem. Mantan anggota Komisi XI DPR RI ini adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) partai, yang tentunya membuat Nasdem memiliki alasan yang kuat menempatkan kadernya di posisi Menkominfo.
Tentu pertanyaannya, apa keuntungan politik yang akan didapatkan Nasdem dengan Johnny ditempatkan di Menkominfo?
Penyeimbang BIN?
Akhir-akhir ini hubungan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sepertinya sedang dirundung perseteruan. Puncaknya tentu ketika acara pelantikan Puan Maharani sebagai Ketua DPR, di mana berbagai media massa menyoroti gestur Mega yang tidak menyalami Surya Paloh.
Berbagai manuver politik Surya disebut sebagai alasan memburuknya hubungannya dengan Mega.
Mulai dari pernyataan Surya yang menyebut Jokowi adalah kader partainya, sampai dengan adanya dugaan Nasdem mulai menapaki strategi untuk membangun blok kekuatan politik baru.
Kita dapat berspekulasi, Surya mungkin sudah menyadari hubungannya akan sulit membaik kembali dengan Mega. Terlebih, putri Soekarno ini dikenal dengan sifat yang sukar berbaikan dengan seseorang apabila sudah terlanjur menaruh bara amarah.
Atas dasar ini, Surya sepertinya sedang menyiapkan “jaminan politik” atau “kartu as” apabila skenario terburuk, yaitu hubungan politiknya dengan Mega akan berakhir.
Mega bersama PDIP, saat ini tengah menapaki jalan menuju partai yang tidak terkalahkan atau partai dominan.
Terpilih kembalinya Jokowi sebagai presiden menunjukkan pos eksekutif sudah diamankan. Lalu pos legislatif diamankan dengan terpilihnya Puan sang anak sebagai Ketua DPR. Ditambah lagi kursi PDIP di parlemen saat ini yang berjumlah 128 kursi adalah yang terbanyak dari parpol lainnya.
Kemudian, Jaksa Agung yang baru, ST Burhanuddin ternyata adalah adik kandung dari politikus PDIP, TB Hasanuddin. Terakhir, tentunya adalah Budi Gunawan (BG) yang memiliki hubungan yang dekat dengan Mega dan PDIP ditempatkan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Terkait yang terakhir, pos tersebut cukup menentukan. Dengan menempatkan BG sebagai Kepala BIN, Mega memiliki pranata penambang informasi yang akan berguna untuk menentukan strategi politik.
Sebagaimana kita ketahui, BIN memang berurusan dengan hilir mudiknya informasi karena bertugas untuk mendeteksi ancaman dini dan memiliki kewenangan untuk melakukan aktivitas seperti penyadapan. Hal ini tentu akan mendatangkan keuntungan secara politik bagi partai banteng tersebut.
Informasi pada konteks ini adalah political values, sebagaimana menurut Susanna Davies yang mengutip White, ini adalah apa yang disebut sebagai pendekatan power-based terhadap informasi.
Pendekatan ini mendefinisikan analisis politik dalam hal sifat, distribusi, dan pelaksanaan kekuasaan dalam masyarakat secara keseluruhan dan mengacu pada proses di mana kekuasaan dikerahkan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan individu, kelembagaan atau kolektif melalui kerja sama, konflik, dominasi, eksploitasi, paksaan dan sejenisnya.
Ini kemudian melahirkan diktum global bahwa knowledge itself is power atau pengetahuan adalah kekuatan itu sendiri.
Penjelasan ini selaras dengan pernyataan Rocky Gerung bahwa kekuatan PDIP sebenarnya karena memiliki BIN.
Hal inilah yang sepertinya menjadi alasan mengapa kursi Menkominfo menjadi sentral kekuatan politik, terutama bagi Nasdem yang berhasil mendudukinya.
Bagaimana tidak, pos ini memiliki kapabilitas yang sama dengan BIN karena juga mampu untuk menyerap hilir mudik informasi. Tidak hanya memantau perputaran informasi, Menkominfo juga memiliki wewenang untuk memutus komunikasi, memblokir informasi tertentu, ataupun menentukan informasi apa yang seharusnya diterima oleh masyarakat.
Mengutip filsuf Perancis Michael Foucault, kemampuan dalam memantau dan mengontrol informasi ini dapat kita pahami sebagai konsep panopticism. Konsep ini mengacu pada kemampuan untuk melihat segalanya, semua orang, dan sepanjang waktu. Oleh karenanya, menurut Foucault, ini dapat digunakan sebagai kekuatan untuk mengontrol individu.
Dengan posisinya sebagai Menkominfo, tentu Johnny mampu memantau segala bentuk aliran informasi di media yang dapat digunakan sebagai logistik politik seperti membangun strategi politik.
Tidak hanya itu, pada tahun 2015 telah terbentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang mempunyai tugas melaksanakan keamanan siber secara efektif dengan mengkoordinir semua unsur yang terkait dengan keamanan siber.
Menkominfo sebagai lembaga yang memiliki hierarki di atas BSSN, tentu saja dapat meminta segala bentuk informasi yang dikelola BSSN atas dalih koordinasi.
Atas fungsinya yang serupa dengan BIN, tidak heran lahirnya BSSN menuai berbagai keberatan karena dinilai akan membuat Signals Intelligence (Sigint) atau intelijen sinyal akan tumpang tindih dengan BIN.
Jika Johnny mampu mengoptimalkan kapabilitas Menkominfo dan membangun koordinasi yang baik dengan BSSN, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa posisi tersebut berpotensi besar memberi keuntungan politik yang besar.
Tidak hanya mampu menyamai kemampuan BIN, posisi Menkominfo yang diisi oleh Johnny nyatanya juga dapat menjadi objek kapitalisasi oleh Surya Paloh dan Nasdem. Lalu, kapitalisasi seperti apa yang dimaksud?
Kapitalisasi Menkominfo
Kembali mengutip Winters, oligarki yang merupakan politik pertahanan kekayaan ini mencangkup dua komponen, yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Dengan kata lain, putusan politik mestilah melibatkan keuntungan ekonomi untuk menjamin kembalinya modal investasi.
Melihat kemampuan Menkominfo, ini tentu sangat selaras dengan usaha Surya di bidang media massa. Surya sendiri tercatat sebagai pemilik Metro TV, salah satu media massa sukses di tanah air.
Melihat pertautan tersebut, menjadi masuk akal apabila banyak pihak berspekulasi bahwa penempatan Johnny di Menkominfo boleh jadi juga punya kaitan ke arah tersebut.
Dengan kemampuan Menkominfo dalam mengontrol dan memblokir informasi, tentu saja posisi tersebut sangat vital. Apalagi, industri dan ekonomi nasional dan dunia saat ini sedang bergerak ke arah digital dengan konsumsi data sebagai sentralnya.
Pemerintahan Presiden Jokowi juga diketahui tengah fokus untuk membangun ekonomi digital. Hal ini diupayakan lewat berbagai kebijakan pembangunan infrastruktur ekonomi digital, seperti pembangunan Palapa Ring yang merupakan proyek jaringan serat optik yang menghubungkan internet di seluruh Indonesia.
Pendanaan proyek yang memakai dana Universal Services Obligation (USO) yang dikumpulkan dari operator telekomunikasi setiap tahunnya ini terbilang menggiurkan. Pasalnya, dengan durasi pembayaran selama 15 tahun, setiap tahunnya dana USO yang terkumpul dapat mencapai Rp 2 triliun.
Pada akhirnya kita dapat melihat, penempatan Johnny sebagai Menkominfo merupakan intrik dari politik oligarki. Ini tidak hanya memberi keuntungan kepada Nasdem untuk menyimbangi PDIP – jika dapat dikatakan demikian – melainkan juga dapat menjadi objek kapitalisasi para oligark. (R53)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.