HomeHeadlineMenkominfo dan Kegagalan Menteri “Giveaway” Jokowi?

Menkominfo dan Kegagalan Menteri “Giveaway” Jokowi?

Kecil Besar

Menkominfo Budi Arie tengah mendapatkan sorotan dari banyak pihak. Ini pasca kasus peretasan yang terjadi pada Pusat Data Nasional oleh peretas Brain Chiper. Peristiwa ini tak mampu diselesaikan oleh Kominfo selama berhari-hari dan menimbulkan kritikan tajam bagi Budi Arie yang dianggap tidak kompeten menghadapi ancaman itu. Beberapa media asing bahkan menyebut Budi sebagai menteri “giveaway” karena statusnya sebagai relawan Jokowi dan keberadaannya di kabinet sebagai bagian dari politik balas jasa Jokowi. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Baru-baru ini, posisi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Indonesia menjadi sorotan utama di berbagai media. Budi Arie Setiadi, yang menjabat sebagai Menkominfo saat ini, berada di bawah sorotan tajam akibat serangkaian kasus peretasan yang menimpa sejumlah lembaga penting, utamanya pada Pusat Data Nasional.

Serangan ini berdampak signifikan terhadap layanan publik penting di Indonesia, termasuk sistem imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta dan berbagai kantor imigrasi di seluruh Indonesia. Gangguan ini menyebabkan antrian panjang dan keterlambatan dalam proses imigrasi, mengganggu banyak perjalanan dan layanan publik lainnya.

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Indonesia mengkonfirmasi bahwa serangan tersebut menggunakan varian terbaru dari ransomware yang dikenal sebagai Lockbit 3.0 atau Brain Chipher 3.0.

Varian ransomware ini adalah pengembangan terbaru dari Lockbit yang terkenal karena kemampuannya mengenkripsi data dengan sangat cepat dan efektif, sehingga membuat data tidak dapat diakses oleh pengguna asli. Para pelaku serangan meminta tebusan sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 131 miliar) untuk memulihkan akses ke data yang terkunci di PDNS.

Isu ini menjadi semakin hangat setelah media internasional seperti Channel News Asia menyebut Budi Arie sebagai sosok menteri “giveaway”, mengindikasikan bahwa jabatan tersebut diberikan sebagai balas jasa atas dukungannya kepada Presiden Jokowi melalui organisasi relawan terbesar, Projo. Namun, dengan tantangan dan ancaman siber yang semakin kompleks, apakah jabatan strategis ini seharusnya diisi oleh figur profesional yang memiliki kompetensi di bidang teknologi informasi?

Baca juga :  Hasto Will be Free?

Kegagalan Menkominfo?

Pusat Data Nasional memang tengah dikembangkan untuk menjadi tulang punggung dari banyak sistem pemerintahan yang mengelola data sensitif dan strategis. Ketika serangan siber berhasil menembus pertahanan lembaga ini, implikasinya sangat besar.

Ketidakmampuan dalam mencegah dan menangani serangan ini menunjukkan kelemahan dalam kebijakan dan eksekusi di sektor keamanan siber Indonesia. Kritik semakin tajam ketika publik mengetahui bahwa Menkominfo yang saat ini menjabat memiliki latar belakang yang lebih politis daripada teknis.

Meski Budi adalah mantan wartawan, namun banyak yang menilai sewajarnya Menkominfo diisi oleh praktisi atau ahli dari dunia IT.

Budi Arie Setiadi dikenal sebagai Ketua Umum Projo, kelompok relawan terbesar yang mendukung Jokowi. Projo berperan penting dalam kampanye dan pemenangan Jokowi pada pemilihan presiden. Penunjukan Budi Arie sebagai Menkominfo dilihat oleh banyak pihak sebagai bentuk balas jasa politik. Istilah “giveaway” yang digunakan oleh Channel News Asia menggambarkan persepsi bahwa jabatan ini diberikan sebagai hadiah politik, bukan berdasarkan meritokrasi atau kualifikasi profesional.

Dalam teori politik, konsep balas jasa sering dibahas dalam konteks patronase dan clientelism. Patronase merujuk pada hubungan di mana patron (pemimpin atau politisi) memberikan keuntungan atau jabatan kepada klien (pendukung atau loyalis) sebagai imbalan atas dukungan politik mereka.

Scholar seperti James C. Scott dalam bukunya “Weapons of the Weak” dan Susan Stokes dalam “Mandates and Democracy” membahas bagaimana relasi patron-klien dapat membentuk dinamika politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Relasi balas jasa ini sering kali menimbulkan kontroversi karena dapat mengorbankan kompetensi dan profesionalisme demi kepentingan politik. Dalam konteks Menkominfo, penunjukan Budi Arie sebagai menteri dipandang banyak pihak sebagai keputusan yang lebih didasarkan pada loyalitas politik daripada kemampuan teknis dan pengalaman di bidang teknologi informasi dan komunikasi.

Baca juga :  Kongres, Mengapa Megawati Diam Saja?

Tantangan Besar

Dengan meningkatnya ancaman siber, Indonesia membutuhkan pemimpin di sektor komunikasi dan informatika yang tidak hanya memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi, tetapi juga memiliki pengalaman dalam mengelola krisis siber. Kompetensi teknis dan pengalaman profesional menjadi kunci dalam memastikan keamanan data nasional dan menjaga kepercayaan publik.

Budi Arie, sebagai Menkominfo, menghadapi tantangan besar untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menangani tugas ini. Kritik dan sorotan publik harus menjadi dorongan bagi beliau untuk meningkatkan kinerja dan membangun sistem pertahanan siber yang lebih kuat. Selain itu, kolaborasi dengan ahli teknologi dan lembaga internasional juga diperlukan untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.

Indonesia memiliki banyak talenta di bidang teknologi informasi. Penunjukan figur profesional yang memiliki rekam jejak dan kompetensi di bidang ini seharusnya menjadi prioritas. Kebijakan yang berbasis meritokrasi akan membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, terutama dalam sektor yang sangat teknis seperti komunikasi dan informatika.

Kritik dan sorotan terhadap Budi Arie yang disebut sebagai “menteri giveaway” mencerminkan kekhawatiran publik tentang praktik balas jasa dalam politik yang dapat mengorbankan profesionalisme dan kompetensi.

Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia memerlukan pemimpin di sektor komunikasi dan informatika yang memiliki keahlian teknis dan pengalaman profesional yang memadai. Kebijakan yang berbasis meritokrasi dan transparansi akan menjadi kunci dalam membangun sistem pemerintahan yang lebih baik dan tahan terhadap berbagai ancaman.

Tentu ini akan jadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo Subianto nanti. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS “Gigi Mundur” Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

More Stories

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Aguan dan The Political Conglomerate

Konglomerat pemilik Agung Sedayu Group, Aguan alias Sugianto Kusuma, menyiapkan anggaran untuk program renovasi ribuan rumah.