HomeNalar PolitikMenko Kuat, Jokowi Juga Kuat?

Menko Kuat, Jokowi Juga Kuat?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan tengah mempertimbangkan peraturan baru yang dapat memberikan kewenangan lebih bagi menteri-menteri koordinator (menko). Melalui kewenangan tersebut, menko diprediksi akan mampu membatalkan keputusan-keputusan yang diambil oleh menteri-menteri yang dikoordinasikan.


PinterPolitik.com

“Now, I got a power circle. Now, I’m on a power trip” – Stalley, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Sebagai presiden, Joko Widodo (Jokowi) mungkin memikul berbagai tanggung jawab yang berat. Dengan pikulan tanggung jawab tersebut, menteri-menteri di kabinetnya malah menunjukkan sikap-sikap yang tidak seragam – menimbulkan perseteruan tertentu.

Perseteruan antara Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti misalnya, menjadi sorotan publik selama beberapa bulan terakhir.

Sikap-sikap yang tidak kompak inilah yang mungkin membuat Jokowi mempertimbangkan manuver dan regulasi baru untuk mengatasinya.

Seolah berkaitan dengan hal tersebut, John McBeth dalam tulisannya di Asia Times menyebutkan bahwa Jokowi tengah mempertimbangkan untuk memperluas pengaruh menko-menkonya atas keputusan-keputusan yang diambil oleh menteri-menteri yang dibawahinya.

Mungkin, dengan wacana tersebut, Jokowi dapat mendisiplinkan perbedaan-perbedaan sikap menteri-menterinya tersebut melalui menko-menkonya. Ibarat pendidikan di sekolah, guru memiliki kewenangan dari orang tua untuk mendidik anaknya.

Dengan begitu, perbedaan sikap dalam birokrasi pemerintahan dapat dipangkas dan implementasinya menjadi lebih terarah. Pertanyaannya, apa dampak dari wacana tersebut? Lalu, apa alasan di balik adanya wacana tersebut?

Pendelegasian atau Pemusatan?

Pemberian kewenangan lebih kepada menko-menko merupakan hal yang lumrah. Dengan wacana tersebut, presiden dapat mendelegasikan tugas-tugas yang menjadi bebannya agar dapat terlaksana secara lebih efisien.

Berdasarkan Pasal 3 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menteri-menteri yang dipilih berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Dengan kedudukan tersebut, Jokowi sebenarnya memiliki kontrol atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri-menterinya.

Namun, dengan proporsi tugas yang besar, sudah sewajarnya apabila presiden mendelegasikan kewenangannya kepada menteri-menterinya. Eli E. Nobleman dalam tulisannya yang berjudul The Delegation of Presidential Functions menjelaskan bahwa – membahas mengenai fungsi presiden di Amerika Serikat (AS) – presiden memiliki tugas yang berat dalam menjalankan fungsi eksekutif.

Oleh sebab itu, presiden perlu mendelegasikan kewenangan dan tugas yang dimilikinya. Di AS, Nobleman menjelaskan bahwa presiden perlu mendelegasikan fungsinya kepada menteri-menterinya karena presiden sebagai individu tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut sendiri.

Menilik kembali pada wacana pemberian kewenangan terhadap menko tersebut, jika berkaca pada pendelegasian fungsi di AS, boleh saja menjadi lumrah apabila Jokowi perlu mendelegasikan fungsi eksekutif tersebut.

Namun, seperti yang dijelaskan oleh McBeth, pembagian kewenangan tersebut bergantung kembali pada keinginan Jokowi untuk membagikan kekuatannya. Padahal, sang presiden disinyalir ingin mempertahankan kekuatan kepresidenan yang dimilikinya.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Boleh jadi, pendelegasian tersebut malah memperkuat kekuatan yang dimiliki sang presiden. Pasalnya, wacana pemberian otoritas kepada menko tersebut diprediksi dapat meningkatkan kontrol pada menteri-menteri yang dibawahinya.

Upaya pemusatan eksekutif tersebut dapat berujung pada penguatan kekuatan presiden dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Share on X

Mungkin, kita bisa kembali berkaca pada AS – di mana beberapa presiden melakukan manuver-manuver tertentu untuk menguatkan pengaruhnya di lembaga-lembaga eksekutif. James A. Gazell dari San Diego State University dalam tulisannya yang berjudul Trends in Centralized Control of the Executive Branch menyebut manuver-manuver tersebut sebagai upaya pemusatan (centralization).

Upaya pemusatan eksekutif tersebut dapat berujung pada penguatan kekuatan presiden dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Gazell mencontohkan beberapa upaya pemusatan yang dilakukan oleh beberapa presiden AS – seperti Richard Nixon.

Manuver pemusatan oleh Nixon dilakukan dengan menggunakan mekanisme struktural. Untuk meningkatkan pengaruh kepresidenannya, salah satu upaya yang dilakukannya adalah dengan membentuk kembali Office of Management and Budget (OMB). Lembaga tersebut membantu Nixon dalam mendorong kepatuhan dan kesesuaian lembaga-lembaga eksekutif lainnya dengan arah kebijakan presiden.

Lalu, bagaimana Jokowi tersebut? Apakah Jokowi tengah berusaha melakukan upaya pemusatan serupa?

Wacana pemberian kewenangan lebih pada menko tersebut bisa jadi juga ditujukan untuk meningkatkan kesesuaian dari berbagai keputusan yang diambil kementerian dengan arah kebijakan Jokowi bila berkaca pada kasus OMB dan Nixon. Dengan pengaruh menko yang lebih besar, menteri-menteri lain diharapkan dapat menerapkan keputusan yang lebih sesuai dengan orientasi kebijakan sang presiden.

Pertanyaan lain pun kemudian timbul. Selain untuk mengatasi persoalan birokrasi, mengapa Jokowi perlu melakukan pemusatan serupa?

Menghalau Pengaruh?

Upaya pemusatan kekuatan tersebut bisa jadi berkaitan dengan pengaruh partai-partai politik yang dapat menghantui kabinet Jokowi 2.0. Meski begitu, sang presiden perlu melakukan upaya-upaya tertentu guna menghalau pengaruh tersebut.

Adanya pembagian kekuasaan eksekutif di antara individu-individu yang berasal dari partai politik dinilai dapat meningkatkan pengaruh partai-partai tersebut tehadap pemerintahan Jokowi 2.0. Apalagi, dengan adanya politik “kumpul kebo” (kumbo) yang dilakukan oleh Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, pengaruh partai berlambang banteng tersebut terhadap Jokowi disebut-sebut akan menjadi semakin besar.

Alejandro Ecker dari University of Vienna dan tim penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul The Distribution of Individual Cabinet Positions in Coalition Governments menjelaskan bahwa sistem multi-partai membuat pemerintah eksekutif menjadi rentan terhadap pengaruh partai-partai politik. Pengaruh tersebut ditranslasikan dalam bentuk patronase dan pengaruh pada kebijakan pemerintah.

Apa yang dikatakan oleh Ecker dan tim penulisnya bisa jadi benar. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam wawancaranya dengan Indonesia at Melbourne pengaruh partai politik dalam birokrasi di pemerintahan sangat luas. Bahkan, Mahfud menilai hampir semua menteri dan lembaga dipengaruhi oleh partai politik.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Lantas, langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Jokowi?

Untuk menghalau besarnya pengaruh partai politik tersebut, Jokowi bisa jadi perlu menyalurkan kewenangan lebih terhadap menko-menkonya apabila ingin mempertahankan kekuatan kepresidenannya. Meski begitu, sang presiden perlu mungkin perlu mempertimbangkan upaya tertentu.

Pasalnya, wacana tersebut malah dapat menjadi ancaman bagi kekuatan Jokowi apabila posisi-posisi menko tersebut kembali dipegang oleh partai politik. Mungkin, mantan Wali Kota Solo tersebut perlu mempertimbangkan cara-cara tertentu.

Presiden AS Harry Truman dinilai juga pernah menghadapi persoalan serupa. Upaya yang dilakukannya adalah dengan membentuk badan khusus yang bertugas untuk memilah calon-calon profesional potensial untuk mengisi posisi-posisi di Executive Office of the President (EOP) – kelompok yang terdiri atas badan-badan eksekutif federal AS. Dalam tulisannya, Gazell menjelaskan bahwa upaya tersebut dilakukan agar Truman dapat melepaskan diri dari sistem patronase tradisional.

Mungkin, apa yang dilakukan Jokowi kini merupakan upaya untuk memusatkan kekuatan kepresidenannya. Seperti yang dilakukan oleh Truman, Jokowi tampaknya ingin memberi jatah menteri lebih banyak pada kalangan profesional sebesar 55 persen.

Selain itu, Jokowi mungkin juga perlu menempatkan sosok-sosok yang dapat dipercayainya. Melalui sosok-sosok tersebut, sang presiden bisa jadi memiliki kemampuan lebih untuk mempertahankan kekuasaan kepresidenannya.

Presiden AS Dwight D. Eisenhower misalnya, mengandalkan figur-figur yang dekat dan memiliki visi yang sama dengan dirinya. Salah satu upaya pemusatan pengaruh kepresidenan Eisenhower tersebut dilakukan melalui pengangkatan staf personalnya di National Security Council (NSC) – lembaga eksekutif AS yang membidangi pertahanan dan keamanan.

Meski begitu, gambaran manuver politik tersebut belum dapat dipastikan akan terjadi. Pengisian posisi-posisi tersebut kembali lagi pada pilihan Jokowi sendiri. Selain itu, kepastian akan adanya wacana tersebut di masa mendatang juga berada di tangan sang presiden.

Namun, bila kemungkinan-kemungkinan tersebut benar, mungkin lirik rapper Stalley di awal tulisan bisa menggambarkan perasaan Jokowi saat ini. Dengan kekuatan yang dimiliki, sang presiden kini tengah berusaha meningkatkan kontrolnya atas pihak-pihak lain. Kita tunggu saja keputusan sang presiden selanjutnya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?