Krisis ekonomi di Venezuela menyeret negara kaya minyak tersebut ke jurang kebangkrutan. Mungkinkah Indonesia menghadapi takdir serupa?
PinterPolitik.com
[dropcap]N[/dropcap]egara kaya minyak asal Amerika Selatan yaitu Venezuela kini di ambang bangkrut. Ini setelah agensi pemeringkat dunia Standard & Poor’s (S&P) menyatakan negara tersebut gagal dalam memenuhi kewajiban membayar utang.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut bahwa krisis tersebut tidak akan berpengaruh secara langsung kepada perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan negara yang dipimpin oleh Nicolas Maduro tersebut lebih dekat secara ekonomi dengan negara-negara Amerika Latin.
Meski begitu, jika dilihat dari sisi utang, banyak pihak menyebut bahwa Indonesia harus berhati-hati. Utang luar negeri Indonesia terus-menerus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Jika dibandingkan dengan Venezuela, menumpuknya utang luar negeri Indonesia dapat menimbulkan pertanyaan menggelitik. Mungkinkah Indonesia menyusul negara kaya minyak tersebut menuju status bangkrut?
Menilik Sejumlah Indikator
Jika menilik hasil peringkat terkini yang dikeluarkan oleh S&P, kemampuan membayar utang Indonesia saat ini memperoleh penilaian BBB- atau dikategorikan sebagai ‘stabil’. Dibandingkan dengan Venezeula, negara ini kini peringkatnya telah mencapai SD (standard default) yang berarti mengalami gagal bayar pada sejumlah bidang.
Merujuk pada agensi tersebut, ada beberapa peringkat kredit atau utang yang diberikan. Untuk yang layak investasi terdiri dari AAA, AA, A, dan BBB, diurutkan dari yang terbaik hingga terbawah. Sementara itu untuk yang tergolong non-investasi jika diurutkan dari yang teratas adalah BB, B, CCC, CC, C, CI, R, SD, dan D.
Rating SD menunjukkan beberapa kewajiban mengalami gagal bayar. Sementara itu, D (default) berarti terjadi gagal bayar dalam kewajibannya dan diyakini akan terjadi gagal bayar atas sebagian besar atau seluruh kewajibannya. Terdapat pula peringkat NR atau not rated artinya tidak diberikan peringkat.
“Venezuela is Venezuela; f***d but happy.” – Nicolas Maduro, Presiden Venezuela
Melihat kondisi yang tengah dialami negara asal Hugo Chavez tersebut, ada sejumlah penyebab mengapa kebangkrutan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Sejumlah faktor seperti pertumbuhan ekonomi, defisit pemerintah, utang pemerintah, dan cadangan devisa menjadi indikator dari kemungkinan bangkrut.
Untuk mengetahui apakah Indonesia berada dalam ancaman bangkrut, maka indikator-indikator tersebut dapat digunakan untuk mengujinya.
Pertama, pengujian dapat dilakukan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berada di angka 5 persen. Angka ini cenderung tidak mengalami perubahan dari periode ke periode. Meski cenderung stagnan, angka ini cenderung lebih baik karena tidak berada di bawah nol.
Jika dibandingkan dengan Venezuela, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dikatakan lebih aman. Negara yang kerap memenangi Miss Universe ini terus-menerus mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terkini pertumbuhan ekonomi negara ini menyentuh angka -12 persen.
Indikator berikutnya adalah defisit anggaran. Untuk defisit anggaran, saat ini Indonesia telah mencapai 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini masih cenderung jauh dari target maksimal pemerintah yaitu 2,67 persen dan maksimal yang diperbolehkan undang-undang yaitu 3 persen.
Jika dibandingkan dengan Venezuela, kondisi defisit Indonesia jauh lebih baik. Defisit terhadap PDB negara ini hampir menyentuh 20 persen. Berdasarkan data tahun 2017, diperkirakan defisit Venezuela saat ini mencapai 18,7 persen dari PDB.
Pengujian berikutnya dilakukan pada kondisi utang. Berdasarkan data pada akhir September 2017, pemerintah Indonesia telah menambah utang hingga mencapai Rp 3.866 triliun. Angka ini naik sekitar Rp 41 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu Rp 3.826 triliun. Angka ini diprediksi akan terus meningkat. Diperkirakan utang jatuh tempo Indonesia di 2018-2019 dapat mencapai Rp 810 triliun.
Di lain pihak, total utang Venezuela saat ini secara jumlah berada di bawah Indonesia. Total utang Venezuela saat ini diperkirakan berjumlah 143 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.931 triliun. Lebih parah, utang tidak hanya dialami negara tetapi juga PDVSA, perusahaan minyak Venezuela yang menjadi bisnis utama negara ini. Perusahaan tersebut menyumbang 20 persen dari total utang luar negeri Venezuela.
Indikator ekonomi lainnya yang perlu diketahui adalah cadangan devisa. Untuk cadangan devisa, berdasarkan data pada akhir Oktober 2017 cadangan devisa Indonesia tercatat mencapai 126,5 miliar dolar. Cadangan devisa ini diperkirakan mampu membiayai impor Indonesia selama 8,3 bulan ditambah pembayaran utang luar negeri Indonesia.
Sementara itu, cadangan devisa Venezuela berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Cadangan devisa negara tersebut kini hanya 9,7 miliar dolar saja. Angka ini disebut yang terendah selama 20 tahun terakhir. Hal ini membuat kemampuan membayar utang Venezuela berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan perbandingan-perbandingan tersebut, kondisi ekonomi Indonesia relatif lebih beruntung ketimbang negara di Amerika Latin tersebut. Ini menunjukkan bahwa Indonesia masih berada jauh di atas Venezuela.
Hati-hati Salah Urus Ekonomi
Salah satu pemicu krisis di Venezuela adalah kesalahan dalam mengurusi ekonomi. Negara ini memang memiliki cadangan minyak yang amat besar. Akan tetapi, mereka terlalu bergantung pada emas hitam tersebut. Minyak menjadi komoditas dominan bagi negara tersebut.
Hasil dari penjualan satu-satunya komoditas tersebut banyak digunakan untuk membiayai program sosial – bagian dari anggaran yang sering menjadi beban pembiayaan banyak negara di dunia. Sementara itu, penelitian untuk membangun atau meningkatkan produksi minyak justru tidak disiapkan.
Pemerintah negara kaya minyak ini terlalu sibuk mengatur harga berbagai komoditas mulai dari bahan bakar hingga secangkir kopi semurah mungkin untuk masyarakatnya. Di atas kertas tentu kebijakan ini baik. Tetapi, ini merugikan petani, produsen, dan importir barang karena biaya produksi mereka terbebani akibat harga yang terlampau murah.
Kondisi ini membuat bahan-bahan pokok di Venezuela mengalami kelangkaan yang parah. Orang harus mengantre berjam-jam untuk mendapat makanan seperti roti atau tepung jagung. Kelangkaan juga terjadi pada kebutuhan medis terutama obat-obatan. Selain itu, pemadaman listrik bergilir juga mulai menjadi ‘makanan’ sehari-hari.
Semoga Indonesia tdk menjadi negara yg di ambang bangkrut sprt Venezuela, kaya minyak tapi salah urus.
Kini, saat menghadapi dilema antara membayar utang atau membiayai program populis tersebut, pemerintah terpaksa mendahulukan membayar utang sehingga rakyat kelaparan dan pangan mengalami kelangkaan.
Hal ini menimbulkan bahaya besar terutama jika terjadi penurunan harga minyak. Kini Venezuela harus mengalami penurunan pendapatan hingga separuhnya dikarenakan harga minyak turun dari 100 dolar menjadi 50 dolar.
Pengaturan ekonomi yang mirip ini terlihat di Indonesia. Meski tidak sepenuhnya sama, postur APBN saat ini juga sebagian besar dihabiskan untuk hal yang sama: utang dan program populis.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar menggenjot pembangunan infrastruktur di mana-mana. Meski kebutuhan ini tergolong penting, beberapa program terkesan dipaksakan dan disinyalir hanya menguntungkan pemerintah dari segi popularitas saja.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan syahwat Indonesia dalam membangun infrastruktur ini. Pasalnya APBN terus-menerus ‘berlubang’ akibat ambisi besar proyek infrastruktur ini.
Selain membiayai proyek infrastruktur, postur APBN juga saat ini sebagian besar digunakan untuk membayar utang beserta bunganya. Pada APBN 2018 nanti, porsi bayar utang diperkirakan mencapai 30 persen.
APBN dan Utang: Lebih Baik Tingkatkan Kewaspadaan dan Redam Ambisi Jangka Pendek https://t.co/qR8Q95P4So pic.twitter.com/RbRG7TvEaf
Utang luar negeri Indonesia juga terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Disebutkan bahwa penambahan utang terjadi secara masif selama tiga tahun periode pertama Jokowi-JK memimpin. Utang tersebut berpotensi bertambah seiring dengan proyek infrastruktur yang tengah digenjot.
Kini pemasukan Indonesia yang paling besar masih mengandalkan pajak. Padahal target pemasukan dari pajak ini juga kerap tidak mencapai target. Tahun ini saja diperkirakan target pemasukan dari pajak akan meleset. Diramalkan bahwa penerimaan pajak akan meleset Rp 100 – Rp 200 triliun.
Untuk mencegah Indonesia masuk jurang defisit yang berbahaya, idealnya pemerintah menekan belanjanya. Yang paling utama adalah pemerintah perlu menjadwal ulang proyek infrastruktur yang belum mendesak prioritasnya.
Meski begitu, Indonesia memiliki keuntungan jika dibandingkan dengan Venezuela. Indonesia tidak tergantung pada satu komoditas ekspor saja. Komoditas ekspor Indonesia cenderung beragam mulai dari migas, tambang, hasil hutan, hingga hasil industri.
Indonesia tergolong berhasil melepaskan diri dari ketergantungan berlebihan pada satu komoditas saja. Industri mengalami diferensiasi yang cukup sehingga jika satu komoditas mengalami gangguan maka komoditas lain masih bisa menambal.
Jika dilihat berdasarkan kondisi dan indikator-indikator di atas, Indonesia masih aman dari ancaman seperti yang dialami di Venezuela. Meski begitu, Indonesia harus tetap berhati-hati. Jika bersikeras mempertahankan diri pada program populis dan kebijakan creditor first melalui pembayaran utang, maka takdir serupa Venezuela bukan tidak mungkin akan terjadi di Indonesia. (Berbagai sumber/H33)