Baru-baru ini Menkes Budi Gunadi Sadikin menanggapi pernyataan Wamenkumham Edward Hiariej yang menyebut penolak vaksin Covid-19 dapat dipidana dan didenda. Menurut Budi, komunikasi tersebut kurang tepat dan sebaiknya mengedepankan komunikasi merangkul. Mengapa terjadi perbedaan seperti itu?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) patut diapresiasi. Untuk meyakinkan publik bahwa vaksin Covid-19 aman, sang RI-1 menjadi sosok pertama yang menerima injeksi vaksin Covid-19 pada Rabu, 13 Januari 2021.
Dalam kesempatan tersebut, berbagai sosok berpengaruh lainnya juga ikut divaksinasi. Ada Ketua Umum PB IDI Daeng Mohammad Faqih, Sekjen MUI sekaligus perwakilan Muhammadiyah Amirsyah Tambunan, Rais Syuriah PBNU Ahmad Ngisomudin, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis, dan perwakilan milenial, yakni aktris Raffi Ahmad.
Tujuannya vaksinasi yang diisi berbagai perwakilan dan disiarkan secara langsung tersebut tentunya untuk membentuk kepercayaan di tengah masyarakat atas keamanan vaksin. Pasalnya, dengan masifnya penyebaran teori konspirasi sejak awal pandemi, narasi vaksin tidak aman dan menjadi alat kontrol kelompok tertentu telah beredar.
Baca Juga: Artis, Senjata Pamungkas Vaksinasi Jokowi?
Akan tetapi, cukup disayangkan, usaha Presiden Jokowi tersebut belum mencapai tujuannya. Bagaimana tidak? Kendati disiarkan secara langsung, sentimen minor masyarakat tetap terjadi. Dalam berbagai komentar di media sosial, misalnya, tudingan vaksin tersebut adalah vitamin C atau berbeda dengan vaksin yang akan diberikan ke masyarakat nantinya tetap mengemuka.
Tentu menjadi pertanyaan sekarang, mengapa narasi minor tersebut tetap terjadi? Mengapa masyarakat begitu sulit memercayai keamanan vaksin Covid-19, bahkan ada pula yang menolak vaksinasi?
Terjebak Social Trap?
Masalah ketidakpercayaan (distrust) atas vaksin Covid-19 saat ini juga terjadi pada penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) yang telah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Seperti yang kita ketahui, dalam proses pengesahannya, terjadi gelombang penolakan yang terjadi di berbagai tempat. Tidak hanya soal substansi, persoalan pengesahan RUU tersebut juga terletak pada faktor kurangnya partisipasi publik, sehingga lumrah beredar narasi bahwa beleid tersebut untuk kepentingan oligarki semata.
Menariknya, sepertinya tidak hanya masyarakat yang mengalami distrust, melainkan juga pemerintah dan DPR. Pasalnya, ada kemungkinan partisipasi publik tidak dilibatkan secara luas dan pengesahannya “buru-buru” karena menilai masyarakat pastilah tidak setuju dengan beleid tersebut. Asumsi itu besar kemungkinan bertolak atas gelombang penolakan yang terjadi sejak wacana Omnibus Law mencuat di tengah publik.
Jika benar demikian, maka ada kemungkinan DPR dan pemerintah telah terjebak dalam social trap atau jebakan sosial. Konsep ini diperkenalkan oleh John Platt pada tahun 1973 dalam artikelnya yang berjudul Social Traps.
Konsep ini menjadi jawaban mengapa konflik berkepanjangan dapat terjadi di tengah masyarakat. Dalam tesisnya, jebakan sosial menerangkan, jika kelompok pertama menilai kelompok kedua akan mengingkari janjinya, maka kelompok pertama tidak akan mengikuti kontrak atau perjanjian yang sudah dibuat. Begitu pula sebaliknya.
Masalahnya adalah, dalam realita sosial, tiap kelompok sering kali terjebak dalam penilaian negatif, di mana kelompok lainnya dinilai akan mengingkari janji. Atas masalah ini, tiap kelompok mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan dan bekerja sama karena bayang-bayang dikhianati selalu menghantui.
Dengan kata lain, jika pemerintah dan DPR merasa bahwa masyarakat akan tidak setuju pada pengesahan RUU Ciptaker, maka ini akan menciptakan penilaian negatif bahwa masyarakat hanya akan menjadi penghalang. Ini kemudian berkonsekuensi pada ketidakpercayaan terhadap masyarakat, di mana ini membuat suara mereka dinilai tidak perlu didengar.
Baca Juga: Apa Akar Masalah RUU Ciptaker?
Di sisi masyarakat, ketidakpercayaan juga terjadi. Pasalnya, sedari awal sudah memupuk kecurigaan bahwa RUU Ciptaker hanya diperuntukan untuk kepentingan pengusaha, investor dan oligarki. Oleh karenanya, setiap penjelasan pemerintah atas RUU tersebut selalu mendapat bantahan dan cercaan. Alhasil, dialog tentunya akan sulit dilakukan karena ketidakpercayaan terjadi di kedua pihak.
Pada kasus vaksin Covid-19, social trap tampaknya juga terjadi. Tidak hanya soal teori konspirasi tentang Covid-19 ataupun perdebatan tentang efikasi dan tingkat keamanan vaksin, distrust masyarakat memang sedari awal telah terjadi. Ini membuat vaksinasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tetap sulit menyapu kecurigaan di tengah masyarakat tentang vaksin Covid-19.
Terkait social trap, tentu akan ada yang menyanggah, bukankah pemerintah sudah berusaha menciptakan kepercayaan (trust) dengan vaksinasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi? Iya benar, tapi masalahnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memberi ancaman bahwa mereka yang menolak vaksin terancam penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.
Menariknya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menanggapi pernyataan Wamenkumham Edward Hiariej tersebut. Dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR pada 14 Januari 2021, Menkes Budi mengatakan, “Saya paham bahwa ada satu wakil menteri yang mengucapkan hal-hal yang sifatnya mengancam dan kami sudah bicarakan di kabinet juga agar komunikasi publiknya lain kali sifatnya merangkul”.
Suka atau tidak, pengakuan Menkes Budi tersebut dengan jelas menunjukkan pernyataan Wamenkumham Edward Hiariej belum dikomunikasikan terlebih dahulu dengan Kementerian Kesehatan.
Dengan adanya narasi pengancaman menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan, tampaknya ada anggapan di pemerintah bahwa ada kelompok masyarakat yang mestilah menolak vaksinasi, sehingga mengeluarkan narasi ancaman untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut.
Di konteks tersebut, social trap dapat disebut terjadi. Di satu sisi masyarakat curiga terhadap vaksin, di sisi lain, Wamenkumham juga curiga masyarakat pasti menolak vaksin. Ini membuat dialog tidak dikedepankan. Tapi untungnya, Menkes Budi menyadari hal tersebut dengan menyebut komunikasi merangkul akan dikedapankan.
Lantas, dengan adanya indikasi social trap sudah mulai terjadi, apa yang harus dilakukan?
Rasionalitas Komunikatif
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian dalam disertasinya Rasionalitas Kerjasama: Kajian Filsafat terhadap Dilema Narapidana dalam Teori Permainan memberikan saran atas masalah social trap tersebut.
Menurut Donny, social trap di tengah masyarakat juga terjebak dalam dilema narapida (prisoner’s dilemma). Dilema narapida adalah situasi di mana tiap individu atau kelompok berasumsi bahwa pihak lain mestilah mengambil keputusan atau kebijakan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.
Baca Juga: Ribka-Jokowi, Drama Vaksin PDIP?
Menurutnya, asumsi itu terjadi karena rasionalitas yang digunakan adalah rasionalitas instrumental. Mengutip filsuf Jurgen Harbemas, rasionalitas instrumental sekadar memikirkan bagaimana kepentingan agen dipromosikan, dan bukannya diuji dalam diskursus demokratis. Oleh karenanya, Habermas merumuskan rasionalitas komunikatif yang bertujuan untuk mencapai kesalingpahaman dan kesepakatan tanpa paksaan.
Rasionalitas komunikatif menuntut agar berbagai klaim dapat saling menguji dan berkoordinasi agar terjadi kesalingpahaman. Konteks rasionalitas komunikatif ini sesuai dengan pernyataan Menkes Budi bahwa komunikasi dikedepankan adalah komunikasi yang bersifat merangkul.
Pasalnya, jika menggunakan komunikasi bernada ancaman seperti yang dilakukan oleh Wamenkumham Edward Hiariej, resistensi dari masyarakat justru akan terjadi. Tidak hanya itu, distrust yang membuat penolakan terhadap vaksin akan tetap terpelihara.
Bagaimana pun, di tengah era perkembangan teknologi komunikasi saat ini, di mana setiap pihak dapat mendapatkan informasi, sangat wajar sekiranya masyarakat menjadi curiga karena efikasi dan keamanan vaksin memang menjadi perdebatan internasional.
Oleh karenanya, pemerintah harus peka terhadap persoalan tersebut dan harus mengedepankan rasionalitas komunikasif atau komunikasi yang bersifat merangkul. Senada, Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban juga berpandangan demikian.
Menurutnya,alih-alih memberikan ancaman pidana, sebaiknya pemerintah memberikan sosialisasi yang kreatif dan edukatif. Jika pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap vaksin covid-19 bertambah, itu diharapkan dapat mengurangi aksi penolakan terhadap vaksin.
Tentu harapan kita, saran dari Zubairi Djoerban dan keinginan Menkes Budi dapat dilaksanakan dengan baik. Bagaimana pun, setiap pihak pasti menginginkan pandemi Covid-19 segera berakhir. Masyarakat harus diberikan komunikasi yang baik agar tidak berpikiran macam-macam terhadap vaksin. Semoga kita dapat melalui pandemi ini. (R53)