Monkeypox atau cacar monyet sudah mulai masuk ke Indonesia. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengisyaratkan bahwa warga tidak perlu khawatir, bahkan dengan pernyataan yang terkesan bercanda. Sudah tepatkan respons Budi?
Setelah tiga tahun dilanda Covid-19 yang begitu mendisrupsi kehidupan kita, dunia kembali diteror oleh ancaman virus yang baru.
Media memopulerkan virus tersebut dengan nama monkeypox atau cacar monyet. Namun belakangan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah mencari masukan dari publik untuk mengganti namanya karena dianggap bersifat rasis.
Apapun nama baru yang ditetapkan nanti, yang jelas virus yang dapat menyebabkan bintik-bintik ruam pada kulit kita ini, secara disayangkan, sudah mulai masuk ke Indonesia. Menurut kabar yang sudah dikonfirmasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tercatat pada akhir Agustus lalu seorang pria berumur 27 tahun yang tinggal di Jakarta menjadi korban pertama cacar monyet.
Sontak kekhawatiran muncul dalam masyarakat. Banyak yang khawatir virus ini dapat menjadi “covid yang baru” karena masih mengalami trauma pandemi sebelumnya.
Menteri Kesehatan (Menkes) otomatis menjadi sorotan pertama saat masyarakat mulai khawatir dengan suatu penyebaran virus. Tentu, apa yang dikatakan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin akan jadi pegangan masyarakat dalam menanggapi virus yang disebut dapat sangat merusak penampilan fisik seseorang tersebut.
Namun, ketika mengisi agenda The 3rd G20 Health Working Group, Budi malah melontarkan pernyataan yang kontroversial, katanya: “(monkeypox) only affects your skin, basically. Yeah, you look ugly definitely, but at least you will survive,”.
Cacar monyet, kata Budi, jelas akan membuat para penderitanya buruk rupa secara fisik, tapi setidaknya mereka akan selamat. Ia pun menekankan bahwa dampak cacar monyet tidak akan separah Covid-19.
Sontak, pernyataan Budi menuai sejumlah respons warganet, karena apa yang disampaikan Budi terkesan menganggap virus cacar monyet sebagai sebuah lelucon dan merendahkan potensi berbahaya dari virus tersebut.
Tidak hanya itu, di acara yang sama Budi juga menghimbau masyarakat untuk tidak terlalu khawatir tentang cacar monyet karena rata-rata pasien yang meninggal bukan disebabkan karena virus itu secara langsung, melainkan karena infeksi sekunder, seperti infeksi akibat digaruk-garuk.
Berangkat dari situ, bisa kita nalarkan bahwa sikap Budi dalam menyuarakan kewaspadaan cacar monyet sangat kurang tepat, mengapa demikian?
Meremehkan atau Gagap?
Dulu ketika pertama Covid-19 mulai masuk kawasan Asia Tenggara, mantan Menkes Terawan Agus Putranto mengatakan bahwa virus yang telah menewaskan lebih dari enam juta orang tersebut tidak perlu dikhawatirkan orang Indonesia. Bahkan katanya, orang Indonesia kebal Covid-19 karena selalu memanjatkan doa.
Kalau melihat dampaknya sekarang, tentu banyak orang yang akan merasa kesal oleh pernyataan Terawan.
Karena itu, sepertinya pantas bila kita teringat kembali akan blunder yang dilakukan Terawan ketika menyimak pernyataan Menkes Budi Sadikin tentang cacar monyet. Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa pernyataan Budi sama salahnya dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan Terawan.
Negarawan Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero dalam publikasinya The Five Cannon of Rethoric, memaparkan lima indikator pengukuran keberhasilan retorika dan komunikasi publik.
Di antaranya: invention (rumusan narasi yang ingin disampaikan), arrangement (penyusunan materi narasi), style (cara penyampaian narasi), delivery (eksekusi penyampaian narasi), dan memory (kemampuan menyimpan gagasan/narasi dalam ingatan dan mengungkapkan kembali pada waktunya).
Nah, dari lima poin ini, ada dua indikator yang sangat berdampak pada masyarakat, yaitu style dan delivery. Mengambil pemahaman Cicero, style seorang pejabat publik ketika berbicara di depan umum sangatlah penting, karena pernyataan yang ia sampaikan juga menjadi pesan tentang sikap pemerintah terhadap suatu isu.
Sejumlah temuan tentang cacar monyet, seperti yang dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memang menyebutkan bahwa tingkat kematian akibat virus tersebut mungkin tidak terlalu tinggi, namun antara tiga sampai enam persen kasus yang dilaporkan di negara-negara yang terjangkit dilaporkan berakhir pada komplikasi medis dan bahkan kematian.
Kemudian, bayi yang baru lahir, anak-anak di bawah umur, dan orang dengan defisiensi sistem kekebalan berisiko mengalami gejala yang lebih parah dan kematian akibat penyakit tersebut.
Dengan demikian, bisa kita tekankan bahwa kemungkinan fatal cacar monyet sesungguhnya sangat ada. Dan kalaupun pemerintah tidak melihat itu sebagai sebuah ancaman nyata, seharusnya pernyataan yang disampaikan Budi tidak disampaikan dalam gaya bahasa yang cenderung menyepelekan.
Karena bagaimanapun penyakit ini dapat merusak kehidupan orang yang terjangkit, dan tidak etis bila seorang pejabat publik, apalagi menteri, melihat virus sebagai sebuah bahan bercandaan.
Kedua, delivery. Menurut Cicero, apa yang disampaikan pejabat publik harus mampu menjawab keresahan publik melalui penyampaian yang mudah ditafsirkan orang-orang.
Melihat bagaimana Terawan dulu merespons Covid-19, apa yang dikatakannya sering kali justru malah membuat publik semakin was-was, karena pernyataannya dinilai kerap tidak mengena dan tidak menyentuh substansi yang membuat publik mendapatkan kejelasan informasi dan menghadirkan rasa tenang.
Berkaca dari apa yang juga disampaikan oleh Budi, sepertinya itu juga tidak jauh berbeda. Alih-alih mendapatkan penjelasan yang substansial tentang apa itu cacar monyet dan bagaimana cara infeksinya, publik seakan-akan malah ditekankan untuk tidak takut. Tentu hal ini sangat menggelitik karena bagaimana seseorang tidak merasa takut bila tidak paham tentang apa yang sebenarnya dihadapinya.
Padahal, menurut situational crisis communication theory atau teori komunikasi krisis situasional yang dipopulerkan W.T. Coombs dalam publikasinya Impact of Past Crises on Current Crisis Communication, para manajer krisis –dalam hal ini pemerintah- harus mencocokkan tanggapannya tentang suatu krisis sesuai dengan tingkat keresahan, rasa penasaran, dan reputasi ancaman yang ditimbulkan krisis tersebut.
Jika memang publik saat ini belum mendapatkan kejelasan tentang cacar monyet, maka Budi berkewajiban menciptakan ketenangan dengan menjelaskan secara spesifik bagaimana virus tersebut bekerja, mulai dari metode penyebarannya, pencegahannya, dan penanganannya.
Dengan demikian, pesan pada publik untuk tidak menakuti virus ini akan muncul secara sendirinya, bukan berdasarkan lelucon yang justru membuat orang semakin bertanya-tanya.
Lantas, kira-kira kenapa lelucon itu bisa dilontarkan oleh Budi?
Pemerintah Perlu Belajar Ciptakan Paranoia?
Belakangan ini dunia diterpa sejumlah isu yang membuat banyak orang berandai-andai akan datangnya suatu krisis. Mulai dari pembicaraan tentang konflik Rusia-Ukraina yang sering dianggap sebagai pemantik Perang Dunia III, naiknya harga minyak dunia yang diprediksi akan memicu krisis ekonomi, dan juga krisis pangan.
Menariknya, respons pemerintah dalam menanggapi keresahan-keresahan publik kerap kali tampak kurang konsisten. Sebagai contoh, Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo (SYL) beberapa saat lalu sempat bilang bahwa harga gandum global yang tinggi akan membuat harga mi instan di Indonesia naik tiga kali lipat, padahal Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan justru mengatakan naiknya harga gandum tidak akan berdampak banyak pada Indonesia.
Nah, kembali ke konteks kewaspadaan penyebaran virus di Indonesia, bukan tidak mungkin bahwa pernyataan mantan Menkes Terawan dulu dan Menkes Budi saat ini sesungguhnya berkaitan dengan hal yang sama.
Artikel PinterPolitik.com berjudul Luhut “Sembunyikan” Utang Indonesia?, pernah menjawab keanehan ini dengan dugaan bahwa pemerintah sepertinya sering berupaya meredam munculnya keresahan yang berlebihan dalam masyarakat dengan menutupi potensi-potensi bahaya yang kemungkinan akan terjadi.
Namun masalahnya, kerap kali upaya tersebut justru menggiring publik pada pemahaman yang salah. Dengan tidak memahami suatu krisis, masyarakat cenderung akan bersikap abai dalam mendeteksi gejala-gejala yang dapat berkembang jadi suatu masalah besar.
Padahal, selain harus pandai dalam manajemen isu, pemerintah sesungguhnya juga harus mampu membangun paranoia atau ketakutan.
Sejarawan dan ahli ilmu bumi ternama, Jared Diamond, melalui teori constructive paranoia atau paranoia yang dikonstruksi, menjelaskan bahwa suatu negara seharusnya memiliki insting menyelamatkan diri layaknya seorang individu dalam menghadapi suatu potensi krisis. Yang dimaksud Diamond adalah, rasa takut yang diciptakan dalam masyarakat justru malah bisa membuat mereka lebih siaga dan responsif jika ada potensi krisis selanjutnya.
Pendapat demikian didapatkan Diamond ketika dirinya berkunjung ke Papua. Kala itu, Diamond melihat bahwa ada ketakutan yang beredar di masyarakat sana terhadap pohon tinggi, sehingga banyak orang yang takut tidur atau duduk di bawah pohon.
Awalnya, Diamond merasa aneh, namun setelah mengetahui bahwa ternyata pohon runtuh adalah salah satu penyebab terbesar kematian warga Papua, Diamond merasa bahwa ternyata ketakutan yang dikonstruksi juga dapat berdampak baik pada masyarakat. Tanpa instruksi tertulis, warga-warga Papua bisa menghindari hal-hal yang dapat membahayakan nyawa mereka.
Ini kemudian dapat jadi pembelajaran pemerintah. Secara singkat, pengalihan bahaya suatu virus mungkin memang dapat meredamkan kepanikan masyarakat, tapi dalam jangka panjangnya, jika pemerintah tidak ingin manajemen penanggulangan buruk Covid-19 terulang lagi, maka mungkin paranoia perlu dibangun dalam masyarakat.
Akhir kata, tentu kita harap penyakit cacar monyet tidak berkembang lebih parah. Semoga saja kali ini pemerintah bisa bersikap lebih presisi dalam mencegah penyebarannya. (D74)