Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut program vaksinasi massal Covid-19 untuk masyarakat umum baru akan dimulai pada April 2021 mendatang. Menariknya, penegasan Menkes Budi ini seolah membantah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebelumnya menyebut program tersebut akan dimulai pada bulan ini. Mengapa ini bisa terjadi?
Satu bulan memang masih terlalu singkat untuk menilai kinerja seorang pejabat publik. Butuh jangka waktu yang lebih panjang untuk bisa menyimpulkan apakah kinerja seorang pejabat pemerintah memuaskan atau tidak.
Kendati begitu, setelah bekerja kurang lebih satu bulan, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin tampaknya berhasil memberikan impresi awal yang positif di mata publik. Ini sekaligus mengindikasikan bahwa dirinya memang berbeda dengan pendahulunya, Terawan Agus Putranto.
Dari semula pandemi merajalela di Indonesia, sikap Terawan memang kerap dikritik karena terkesan seperti meremehkan ancaman Covid-19. Kritik itu pun kini terbukti karena hingga hari ini mitigasi pemerintah terhadap pandemi masih saja carut marut.
Oleh sebab itu, menjadi wajar jika penunjukan Budi Sadikin sebagai Menkes semacam membawa harapan baru bagi penanganan pandemi. Apalagi, nama Budi sendiri mendapat dukungan dari sejumlah pakar epidemiologi seperti Pandu Riono.
Disparitas antara Menkes Budi dan Terawan yang paling kentara terlihat dari bagaimana mereka berkomunikasi kepada publik. Jika pejabat sebelumnya terkesan gagap ketika berbicara kepada awak media, Menkes Budi jauh lebih mampu memberikan penjelasan yang mudah dimengerti publik.
Tak hanya dari gaya bicara, perbedaan mencolok juga terlihat dari jawaban mereka ketika merespons pertanyaan wartawan. Jika Terawan terkesan meremehkan, Menkes Budi justru lebih realistis dan tak ragu menyampaikan informasi meskipun itu merupakan kabar yang kurang mengenakkan. Ini misalnya terjadi ketika Ia membeberkan kekeliruan data-data kesehatan yang dimiliki Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beberapa waktu lalu.
Sikap realistis Menkes Budi ini bahkan tak jarang membuat pernyataan-pernyataannya terkesan bertentangan dengan pejabat-pejabat kabinet lainnya, atau bahkan atasannya sekali pun, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Salah satu contohnya, terlihat dari pernyataan Menkes Budi yang menyebut bahwa vaksinasi Covid-19 bagi masyarakat umum baru akan dilakukan pada April 2021 mendatang. Padahal sebelum itu Presiden Jokowi menggembar-gemborkan bahwa vaksinasi untuk publik akan digelar pada Februari ini.
Lantas, apakah itu menunjukkan Menkes Budi lebih bersikap lebih realistis terutama dalam konteks penanganan pandemi dibanding pejabat-pejabat pemerintah lainnya? Jika benar demikian, mengapa itu terjadi?
Intellectual Humility?
Meski mendapat sambutan positif, namun tak sedikit pula pihak yang memandang minor penunjukan Budi Sadikin sebagai Menkes kala itu. Mereka yang kontra cenderung menyandarkan argumennya pada fakta bahwa Budi Sadikin sama sekali tak memiliki pengalaman di dunia medis.
Seperti diketahui, Ia merupakan lulusan dari program studi Fisika Nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB). Pengalaman profesionalnya pun lebih banyak dihabiskan di dunia perbankan.
Rasionalnya hal tersebut bisa saja menimbulkan kesadaran bahwa dirinya memiliki keterbatasan pengetahuan di bidang kesehatan, sehingga memerlukan bantuan dari pihak yang lebih ahli di bidangnya. Dalam konteks psikologi, sikap ini dikenal dengan istilah intellectual humility (kerendahan hati intelektual).
Javier Zarracina dalam tulisannya yang berjudul Intellectual Humility: The Importance of Knowing You Might Be Wrong mengatakan bahwa sikap intellectual humility mendorong pemikiran manusia untuk terbuka dalam mengambil pembelajaran dari pengalaman orang lain. Hal ini sekaligus dapat membuat seseorang mampu mengenali kelemahannya sendiri.
Selain itu, analisis para psikolog sosial juga menyepakati bahwa intellectual humility membuat seseorang mau mendengarkan pandangan yang berlawanan. Mereka juga dinilai lebih mudah memperhatikan bukti dan memiliki kesadaran diri yang lebih kuat saat menjawab pertanyaan dengan tidak benar.
Indikasi bahwa Menkes Budi sangat memperhitungkan pendapat orang lain, terutama para ahli, terbaca dari pernyataan-pernyataannya. Misalnya ketika mengkritik metode testing, tracing, dan treatment (3T) yang dilakukan pemerintah selama ini keliru. Ia menyebut mengetahui informasi tersebut dari para dokter dan ahli epidemiologi.
Selain itu, perhatian lebih Menkes Budi terhadap aspek 3T itu sendiri nyatanya sejalan dengan yang kerap disuarakan oleh para pakar epidemiologi. Konteks ini cukup menarik karena belakangan ini, sebagian besar pejabat pemerintah lebih banyak fokus pada persoalan vaksinasi.
Belajar dari Gan Kim Yong
Dalam aspek penanganan pandemi, kepercayaan pada para ahli faktanya memang punya signifikansinya sendiri. Hal ini pernah diungkapkan oleh Rudolf Virchow dalam tulisannya yang berjudul Report on the Typhus Epidemic in Upper Silesia yang menyebut bahwa politik dan aspek sains, termasuk kesehatan, akan selalu terkait erat satu sama lain.
Senada, Martin McKhee dan David Stuckler dalam tulisannya di Nature Medicine pernah mengatakan ketika suara para ilmuwan dan profesional di bidang kesehatan didengar saat ini, pandemi Covid-19 dapat menjadi titik balik dalam mengembalikan kepercayaan kepada sains dan pemerintah, serta menyatukan masyarakat.
Kepercayaan pejabat publik terhadap ilmuwan dalam konteks penanganan pandemi diilhami dengan baik oleh salah satu negara tetangga terdekat Indonesia, Singapura. Adalah Gan Kim Yong, seorang politikus berlatar belakang pendidikan teknik elektro yang kini memimpin upaya negeri Singa tersebut dalam penanganan pandemi Covid-19.
Gan Kim Yong bersama rekannya Menteri Pendidikan Lawrence Wong dalam sebuah wawancara yang dilakukan Mothership juga sempat mengaku bahwa salah satu hal terpenting dalam penanganan pandemi adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada bukti dan pendapat ilmiah. Hal tersebut terbukti berdampak positif bagi penanganan pandemi Negeri Singa tersebut.
Pada November lalu, Singapura nyaris bebas Covid-19 setelah 14 hari berturut-turut tak ditemukan kasus positif. Adapun 7 orang yang dinyatakan positif merupakan kasus imported case yang ditemukan dari orang dari luar negeri.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan salah satu kunci penting kesuksesan penanganan pandemi Singapura adalah kesiapan dan respons dari pejabat publik sejak awal kasus ditemukan pertama kali pada 3 Maret 2020 lalu.
Entah belajar dari pengalaman Singapura atau tidak, namun sepertinya Menkes Budi Sadikin punya pemahaman yang sama dengan Gan Kim Yong terkait peran ilmuwan dalam penanganan pandemi.
Sikap ini cukup penting untuk menunjukkan bahwa pemerintah, atau setidak-tidaknya Kemenkes, telah berbenah dalam penanganan pagebluk dan tidak lagi anti terhadap pandangan-pandangan para ilmuwan seperti yang sebelumnya jamak ditunjukkan dan justru mendegradasi kepercayaan publik yang bahkan efeknya masih terasa hingga kini.
Tak Ingin Ulangi Terawan
Selain kesadaran akan keterbatasan kemampuan, sensitivitas Menkes Budi terhadap persoalan data agaknya juga disebabkan oleh latar belakangnya yang telah lama berkecimpung di dunia perbankan.
Sebagai seorang bankir profesional, Menkes Budi pastilah telah terbiasa berurusan dengan manajemen data dalam mengambil keputusan. Sehingga rasionalnya ketika menemukan manajemen data yang buruk, Ia akan berusaha untuk membenahinya.
Kendati begitu, apa kira-kira yang menyebabkan Menkes Budi cenderung menempuh jalan yang cukup berani dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bisa diterjemahkan sebagai kritik terbuka kepada kolega atau bahkan atasannya sendiri, dalam hal ini Presiden Jokowi?
Menariknya, laporan Tempo yang bertajuk Lobi Merombak Formasi Kabinet menyebut bahwa Budi Sadikin ternyata sudah dipersiapkan sebagai Menkes sejak Oktober lalu. Ia disebut telah melakukan perjalanan ke Jenewa dan London untuk melobi sejumlah produsen vaksin Covid-19.
Dalam hal ini, Menkes Budi mungkin menyadari bahwa dirinya merupakan salah satu kunci penting bagi kesuksesan program vaksinasi yang merupakan strategi pamungkas pemerintahan Jokowi dalam mengatasi pandemi. Hal ini kemudian bisa saja membuatnya punya keberanian yang lebih tinggi dalam membuat pernyataan, sekalipun itu berpotensi mengkritik pemerintah sendiri.
Di sisi lain menjadi Menkes yang kedua dalam masa pandemi agaknya juga memberikan keuntungan bagi Budi Sadikin. Hal ini memungkinkan Budi untuk dapat memetik pembelajaran berharga dari pengalaman dan kegagalan pendahulunya.
Scott DeRue dan Ned Wellman dalam tulisan mereka yang berjudul Developing Leaders via Experience: The Role of Developmental Challenge, Learning Orientation, and Feedback Availability menggarisbawahi pengalaman sebagai faktor determinan yang dapat memengaruhi kepemimpinan dalam perubahan berbagai konteks dan dimensi.
Secara teoretis, paling tidak terdapat tiga kondisi atas konstruksi pengalaman yang dapat berpengaruh pada kepemimpinan seseorang, yakni dinamika tanggung jawab yang melekat, interaksi yang terjadi, hingga peristiwa atau momentum tak terduga yang terjadi.
Arah dari perubahan kepemimpinan serta tindakannya itu sendiri sangat bergantung pada learning orientation atau orientasi pembelajaran atas apa yang dialami, dan feedback availability atau ketersediaan input eksternal bagi sang pemimpin.
Pada akhirnya dengan mempertimbangkan segala kualitas serta sikap Menkes Budi Sadikin yang tak segan mendengarkan saran dan masukan para ahli, rasanya tak berlebihan jika kita mengibaratkannya sebagai barometer rasionalitas kabinet Jokowi dalam konteks penanganan pandemi. Mari berharap saja bahwa sikapnya ini akan terus konsisten hingga Ia benar-benar mampu membantu pemerintah mengakhiri pandemi di Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.