HomeNalar PolitikMenimbang Moratorium Pengiriman TKI

Menimbang Moratorium Pengiriman TKI

Pemerintah berencana melakukan uji coba pengiriman TKI ke Arab Saudi. Langkah ini bisa jadi awal pencabutan moratorium pengiriman TKI.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]emerintah dikabarkan berencana untuk melakukan uji coba pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi kembali. Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) tengah memantau kemungkinan ini untuk  dilakukan tahun depan.

Jika terlaksana, maka kebijakan tersebut bisa saja menjadi penanda berakhirnya moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi sejak tahun 2011. Moratorium ini berlaku bagi TKI yang bekerja di sektor domestik atau sebagai asisten rumah tangga (ART).

Rencana pemerintah ini menimbulkan tanda tanya, sebab Arab Saudi selama ini kerapkali menjadi “neraka” bagi TKI yang bekerja di sektor domestik. Jika pemerintah benar-benar akan mencabut moratorium tersebut, maka di masa datang, konsekuensinya kemungkinan akan kembali berhadapan dengan kasus TKI yang disiksa di negeri orang.

Meski para TKI kerap mengalami penganiayaan dan penderitaan, namun Arab Saudi nampaknya masih menjadi destinasi favorit bagi para pencari kerja di negeri orang. Perlu diakui pula, kalau ada keuntungan yang diraup negara apabila kembali mengirimkan TKI ke negeri tersebut. Jadi, masih perlukah moratorium pengiriman TKI itu dipertahankan?

Rencana Uji Coba

Duta besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al-Shuaibi dalam suatu kesempatan, pernah meminta pada pemerintah agar moratorium pengiriman TKI dicabut. Ia menyebut kebijakan tersebut merugikan bagi kedua negara.

Sejalan dengan permintaan tersebut, Kemenaker kini juga dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk melakukan uji coba pengiriman TKI ke Arab Saudi pada 2018 mendatang. Pemerintah memperkirakan, uji coba tersebut dapat dilaksanakan antara Maret atau Agustus tahun depan.

Pemerintah menyebut bahwa uji coba tersebut tidak melanggar Permenaker tahun 2015 tentang moratorium pengiriman tenaga domestik ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya. Ada sejumlah perbedaan antara pengiriman TKI di era sebelumnya dengan uji coba tersebut, karena Pemerintah akan menerapkan berbagai batasan dalam pengiriman TKI nantinya.

Kabarnya, jumlah pekerja yang dikirim akan dibatasi, yaitu berkisar 200 sampai 300 orang saja. Pemerintah juga akan menyeleksi ketat para pekerja tersebut. Selain itu, jenis pekerjaan para TKI juga akan dibatasi. Nantinya, pekerja Indonesia tidak diperbolehkan melakukan banyak pekerjaan, walau dalam sektor domestik sekalipun. Batasan ini untuk mencegah terjadinya perbudakan.

Kota tujuan pengiriman TKI pun dibatasi, yaitu hanya boleh disalurkan ke daerah-daerah yang sudah dianggap modern saja. Sehingga, nantinya uji coba pengiriman akan lebih difokuskan pada Kota Jeddah dan Riyadh, karena masyarakatnya dianggap sudah berpikiran lebih modern.

Nantinya, Kemenaker juga akan memberlakukan sistem baru yang diharapkan dapat meningkatkan perlindungan TKI di Arab Saudi, yaitu One Channel System dengan bekerjasama dengan Kemenaker Arab Saudi.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Melalui sistem ini, calon TKI dapat mengetahui latar belakang calon pemberi kerja nantinya. Sistem ini juga memungkinkan Pemerintah melakukan evaluasi. Jika ada tanda-tanda penyiksaan atau gaji yang ditahan, maka TKI dapat segera ditarik pulang ke tanah air.

Pelaksanaan Moratorium

Gagasan moratorium pengiriman TKI terjadi ketika kasus kekerasan terhadap pahlawan devisa tersebut menyeruak. Moratorium pertama kali dilakukan pada tahun 2011. Negeri padang pasir tersebut memang dikenal kerap melakukan kekerasan pada pekerja domestik asal Indonesia.

Pasca moratorium berlaku, jumlah TKI yang terdaftar mengalami penyusutan signifikan. Pada tahun 2011, jumlah pengiriman mencapai 137 ribu orang. Pada tahun 2017 angka ini susut hingga hanya 2000-an saja.

Menimbang Moratorium Pengiriman TKI

Jika dilihat dari data, Arab Saudi memang mulai ditinggalkan sebagai destinasi bagi TKI. Posisi nomor satu ditempati Malaysia dengan 31.779 orang terdaftar sebagai TKI. Arab Saudi sendiri hanya menduduki posisi keenam di bawah Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Brunei Darusssalam.

TKI merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Pendapatan dari sektor ini menduduki nomor dua di bawah sektor Migas. Diketahui bahwa sebelum moratorium, sumbangan devisa dari TKI berjumlah Rp 100 triliun.

Apabila Indonesia mengirim kembali TKI-nya ke Arab Saudi, maka ada potensi penambahan devisa dari sektor ini. Diketahui bahwa remitansi yang berasal dari Arab Saudi tergolong tinggi. Total remitansi dari negeri padang pasir ini mencapai Rp 36,9 triliun dari total remitansi TKI. Jumlah ini adalah yang tertinggi dan mengalahkan remitansi dari negara-negara lain seperti Malaysia, Taiwan, atau Hong Kong.

Meski begitu, perlu diakui bahwa sumbangan devisa dari TKI pasca moratorium tidak mengalami penurunan. Dari segi jumlah, angka tersebut justru mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2011, devisa dari TKI mencapai Rp 92,3 triliun. Angka ini mengalami pertumbuhan hingga mencapai Rp 152 triliun di tahun 2016.

Saat moratorium berlaku, banyak agen penyalur tenaga kerja yang berusaha mengakali peraturan pengiriman TKI tersebut. Banyak agen yang tetap nekat mengirim TKI melalui beragam modus. Hal ini membuat negara sulit melakukan perlindungan terhadap TKI di negeri lain.

Berdasarkan survei Migrant Care, sepanjang 2015-2016, ada sekitar 2.000 pekerja informal yang berangkat ke negara Timur Tengah. Angka ini baru dari survei yang dilakukan oleh Migrant Care di Bandara Soekarno-Hatta. Ada kemungkinan besar terdapat lebih banyak TKI ilegal yang luput dari survei tersebut.

Pada tahun April 2017 lalu, terungkap kasus penyekapan 300 TKI di Arab Saudi. TKI yang disekap dan disiksa tersebut adalah TKI ilegal. Status ilegal ini membuat pemerintah kesulitan melakukan perlindungan. Kondisi ini menjadi bukti bahwa moratorium ternyata tidak mencegah terjadinya pengiriman TKI secara ilegal.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Pencabutan Moratorium

Berdasarkan data jumlah devisa dan adanya korban penyiksaan, dapat dikatakan bahwa moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya berjalan tidak efektif. Nyatanya devisa Indonesia dari TKI tetap mengalami pertumbuhan semasa moratorium. Penyiksaan terhadap TKI juga masih belum dapat dihentikan sepenuhnya.

Dapat dikatakan bahwa dengan atau tanpa moratorium, perlindungan TKI di luar negeri tidak mengalami perubahan. Sangat wajar jika banyak pihak mengatakan kebijakan moratorium adalah kebijakan emosional pemerintah dalam menghadapi krisis perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Jika memang uji coba pengiriman TKI ke Arab Saudi berujung pencabutan moratorium, maka ada solusi lain yang dapat menjadi alternatif daripada sekedar melarang pengiriman TKI.

Negara pada dasarnya tidak memiliki hak untuk membatasi warga negaranya untuk mendapat penghidupan yang lebih baik. Jika penghidupan yang baik tersebut harus ditempuh dengan merantau ke Timur Tengah, maka negara tidak berhak melarang warganya dan justru harus melindungi mereka.

Saat ini, pergi ke Arab Saudi atau Timur Tengah bagi sebagian orang adalah hal yang tidak terhindarkan. Problem kemiskinan di daerah asal dan minimnya lapangan kerja, menjadi akar dari kondisi ini. Bak gayung bersambut, permintaan dari negara-negara di daerah Asia Barat tersebut juga tergolong sangat tinggi.

Idealnya, pengiriman TKI dilakukan secara langsung antara pemerintah dengan pemerintah (government to government). Saat ini pengiriman TKI ke negara-negara Teluk masih didominasi agen atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Jika ini terus dilakukan, maka perlindungan pemerintah terhadap TKI tergolong minim.

Agen-agen ini kerap mengirim TKI ilegal dengan berbagai siasat. Ada yang memalsukan visa kerja dengan visa umroh atau visa kunjungan, memalsukan identitas, dan beragam siasat lain.

Sistem government to government dapat memberi jaminan perlindungan TKI yang lebih baik. Sistem ini melibatkan perjanjian langsung antara Menaker  Indonesia dengan Menaker negara tujuan. Saat ini, sistem tersebut telah berjalan untuk pengiriman TKI ke negara seperti Jepang dan Korea Selatan.

Jika rencana pemerintah untuk menganut one channel system nanti berjalan dengan baik, maka sistem government to government ini sudah dapat diwujudkan. Pemerintah tinggal melanjutkannya jika moratorium benar-benar dihapus.

Strategi jangka panjang dari krisis TKI tentu adalah dengan mengentaskan kemiskinan. Pembangunan yang tidak sentralistik amat penting agar lapangan kerja dapat meluas hingga ke pelosok negeri. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...