Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini selalu mengkritik pemerintahan Joko Widodo, menganggapnya pemimpin zalim dan dekat dengan kubu oposisi malah tidak akan diberi panggung politik oleh kubu Prabowo jika memenangkan Pilpres 2019 ini. Lalu, FPI untuk apa bagi kubu Prabowo?
PinterPolitik.com
[dropcap]W[/dropcap]akil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sekaligus politisi PKS Mardani Ali Sera menyatakan bahwa Front Pembela Islam (FPI) tidak akan diberi panggung untuk berkuasa jika Prabowo terpilih pada Pilpres 17 April nanti.
Pernyataan Mardani terlihat seperti sebuah plot twist, sebab selama ini FPI memiliki kedekatan dengan kubu Prabowo-Sandiaga, terutama PKS dan Gerindra. Bahkan Prabowo sendiri pun memiliki kedekatan dengan Imam Besar FPI Rizieq Shihab dan pernah mengunjunginya di Makkah.
Tetapi, dukungan FPI terhadap Prabowo-Sandiaga merupakan dukungan dengan kontrak politik, yaitu kontrak yang sesuai dengan kesepakatan Ijtima Ulama II. Mardani menyatakan hal ini seperti kontrak politik antara FPI dengan Anies Baswedan dan FPI sendiri tidak meminta imbalan apapun.
FPI menjadi terlihat hanya sebagai cheerleader dalam fenomena politik di Indonesia, terutama untuk mengkritik pemerintahan Joko Widodo yang menurut mereka zalim dan kemudian mereka mendukung Prabowo. Tetapi, apakah memang hanya sebatas pendukung? Atau mereka hanya digunakan sebagai legitimasi politik oleh kubu Prabowo-Sandiaga untuk memperoleh suara FPI dan para pendukungnya?
Relasi Prabowo dan FPI
Muncul berbagai asumsi bahwa FPI akan memiliki panggung kekuasaan jika Prabowo memenangkan kontestasi Pilpres 2019 ini. Sebab, FPI memang memiliki andil dalam pencalonan Prabowo. Mereka mengikuti Ijtima Ulama yang merekomendasikan Prabowo menjadi calon presiden pada Pilpres 2019.
FPI juga dekat dengan elite-elite politik dalam kubu capres nomor urut 02 tersebut. Ketua DPP FPI Sobri Lubis bahkan dipercaya menjadi juru kampanye Prabowo di Bogor, Jawa Barat pada 29 Maret lalu. Selain itu, ada pula nama Slamet Maarif, juru bicara FPI yang menjadi Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandiaga.
Persisnya, Prabowo dekat dengan FPI disebabkan oleh parpol pengusungnya, yaitu Gerindra, PKS, dan PAN yang memang dekat dengan FPI. Politikus dari parpol-parpol tersebut tidak jarang mengunjungi Rizieq di Makkah dan terlibat dalam setiap acara yang diselenggarakan oleh FPI maupun Forum Umat Islam (FUI).
Dengan pernyataan BPN bahwa FPI tidak akan mendapat panggung kekuasaan jika Prabowo terpilih, dapat memunculkan asumsi tersendiri. Salah satu asumsi tersebut adalah FPI tetap berada di kubu Prabowo, namun hanya sebagai cheerleader dari Prabowo.
Hashim dalangnya, Prabowo wayangnya, FPI dan HTI alatnya, Amin Rais penabuh gamelannya, Rizieq sindennya.#HashimTheGodfather https://t.co/sQ1ktI1sr4
— Ngadimin (@ngadimin_tani) April 1, 2019
Secara kronologis, FPI memang belum angkat bicara secara resmi pasca pernyataan Mardani. Namun tampaknya asumsi tersebut dapat dikatakan relevan dengan apa yang terjadi pada FPI. Sebab, Prabowo berjanji untuk memulangkan Rizieq dengan menjemput Rizieq dengan pesawat sendiri jika ia terpilih menjadi presiden.
Hal ini dapat menjadi legitimasi politik Prabowo untuk kelompok FPI, yaitu upaya Prabowo untuk memperoleh suara FPI dan para pendukungnya. Sebab suara FPI tampaknya bukanlah suara yang hanya memiliki dampak kecil. FPI juga memiliki people power, terlihat dari FPI yang dapat menarik massa dalam aksi 212 pada 2016 lalu.
FPI sebagai Political Marketing
FPI juga dapat disebut sebagai political marketing atau pemasaran politik untuk kubu Prabowo-Sandiaga. Pemasaran politik yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan publik pada hakikatnya memiliki perbedaan dengan business marketing atau pemasaran bisnis.
Persamaan antara political marketing dengan business marketing terletak pada penggunaan alat yang sama ketika hendak memasarkan, seperti menggunakan riset pasar dan analisis statistik. Perbedaan utama dan paling mendasar antara keduanya terletak pada tujuannya, yaitu tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pilihan pemimpin dalam komunitas dan negara mereka.
Seperti yang ditulis oleh Dr. Sudha Venu Menon dalam Political Marketing: A Conceptual Framework, media yang umum dilakukan dalam pemasaran politik adalah iklan politik, dukungan selebriti, keterlibatan konsultan profesional dan manajer kampanye, kampanye online, serta penargetan mikro.
Pemasaran politik umum digunakan dalam sistem politik demokratis, di mana dukungan massa memiliki peran yang sangat penting untuk mempertahankan atau memperoleh kekuasaan. Para penguasa militer juga menggunakan strategi pemasaran ini untuk membangun atau mempertahankan citra mereka. Metode pemasaran ini juga dapat mempengaruhi gaya kerja partai politik.
Dikatakan pula oleh Jennifer Lees-Marshment sebagaimana dikutip oleh Menon, jika suatu partai politik menerapkan filosofi pemasaran, maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pemilih sehingga menghasilkan kepuasan mereka. Dengan melakukan hal itu, mereka mendapatkan dukungan pemilihan untuk memenuhi tujuannya sendiri.
Jika hal ini dikaitkan dengan konteks FPI dan Prabowo, maka Prabowo dengan BPN-nya terlihat memiliki dua target pemasaran, yaitu FPI dan masyarakat pendukung FPI sendiri. Mereka menyasar FPI sebab FPI memiliki kekuatan untuk menarik massa, terutama masyarakat yang sejalan dengan paham dan cita-cita FPI. Dengan kata lain, mereka juga bertujuan untuk meraih suara massa alumni dan simpatisan 212.
Kesia-siaan FPI?
Kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu yang didukung oleh FPI disebut-sebut sebagai kemenangan “kelompok radikal” dan “kelompok intoleran.” Dengan FPI mendukung Prabowo-Sandiaga, maka secara instan dapat diduga bahwa Prabowo didukung oleh kelompok radikal dan intoleran.
Pendukungan FPI terhadap Prabowo-Sandiaga sepintas terlihat sebagai salah satu langkah awal untuk mewujudkan cita-cita FPI, yaitu mendirikan negara khilafah di Indonesia. Sebab, pada 2017 lalu Ketua Bidang Penegakan Khilafah DPP FPI Awit Masyhuri mengatakan FPI telah merumuskan jalan menegakkan khilafah sejak 2008 pada Musyawarah Nasional II FPI.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Rizieq ketika berorasi di kantor DPP FPI pada 2017 lalu, yang menyatakan bahwa khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam. Rizieq menyarankan agar umat Islam tetap harus istiqamah memperjuangkan khilafah dan menegakkan khilafah yang berdasarkan manhaj nubuwwah, yaitu jalan atau metode yang berasal dari nabi dan rasul.
Tetapi tampaknya tuduhan itu tidak akan berlaku pada Prabowo. Kecil kemungkinan Prabowo akan mendirikan khilafah sebab tidak mudah untuk mengubah konstitusi RI menjadi khilafah. Selain itu, tampaknya juga tidak sesuai dengan ideologi Prabowo sebab Prabowo sendiri tidak pernah memproklamirkan mengusung ideologi Islam dan khilafah.
Pada debat capres keempat tanggal 30 Maret lalu, Prabowo secara tegas dan terbuka menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi final. Ia bertekad untuk mempertahankan Indonesia sampai titik darah terakhir dan menyatakan jika ada yang ingin mengubah ideologi Pancasila dan UUD 1945, maka akan ia hadapi sekuat tenaga.
Pernyataan tersebut tentunya bertentangan dengan cita-cita dan ideologi khilafah. Oleh karena itu, tampaknya FPI benar-benar hanya digunakan oleh Prabowo dan kubunya untuk political marketing semata, yaitu untuk menaikkan elektabilitasnya dan memperoleh suara kalangan fundamentalis Islam.
Berdasarkan kondisi tersebut, FPI boleh jadi tak punya banyak peran di lapis pertama pengambilan keputusan Prabowo, terutama dalam urusan khilafah. Apalagi, kini FPI diwacanakan tak mendapatkan kursi menteri. Meski begitu, mungkin saja Prabowo tetap perlu exit strategy agar FPI tak merasa hanya dijadikan cheerleader belaka. (D44)