Site icon PinterPolitik.com

“Menikam” Pengusaha, Cak Imin Kualat?

Cak Imin dan Gusdur

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. (Foto: Radar Malang)

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai keputusan menaikkan upah lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 bernuansa politik yang terarah pada Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Itu agaknya akan menjadi bumerang bagi PKB dan Cak Imin. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Di tengah prediksi “gelapnya” perekonomian di 2023, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan aturan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun depan. Seketika, praduga datang dari pengusaha bahwa kebijakan ini bernuansa politis yang mana mengarah ke keuntungan PKB dan sang ketua umum (ketum) Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Praduga itu sendiri datang dari Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana.

Dia menilai kebijakan Menaker Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan UMP 2023 menabrak aturan di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Danang menaruh presumsi bahwa hampir mustahil Menaker Ida tak memahami hierarki regulasi tersebut.

Secara terbuka, Danang mengatakan kebijakan itu memiliki korelasi dengan upaya menaikkan elektabilitas PKB yang notabene merupakan partai politik (parpol) asal Menaker Ida.

Keterkaitan dengan elektabilitas Cak Imin pun turut disebutkan karena Permenaker itu dapat menjadi isu sebagai pembelaan kepada buruh dan tenaga kerja. Dua kelompok itu sendiri dikatakan menjadi konstituen penting PKB dalam setiap kontestasi elektoral, paling tidak sejak edisi 2009.

Tak hanya menyinggung keheranan atas ditabraknya regulasi, Menaker Ida juga dianggap telah memahami permasalahan di industri terkait dampak besar dari potensi jatuhnya industri padat karya seperti tekstil, garmen, hingga alas kaki di penghujung 2022 dan di awal 2023.

Tak hanya sampai disitu, Danang agaknya cukup komprehensif melandasi kritik Permenaker Ida dengan menyebutkan serangkaian dampak minornya.

Pertama, diterbitkannya aturan itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian regulasi dan bahkan kerusakan iklim investasi di Indonesia yang sedang ditata oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kedua, aturan kontroversial itu dinilai dapat mendorong terjadinya kegagalan yang lebih parah pada industri padat karya di tahun 2023. Ketiga, kebijakan tersebut bisa bermuara pada kembali munculnya benturan antara buruh dan pengusaha.

Menaker Ida kemudian buka suara atas tudingan itu. Mantan anggota DPR RI yang pernah menjabat sejak 1999 hingga 2018 itu mengklaim regulasi yang dibuatnya tak menabrak aturan apapun.

Dia menjelaskan, Permenaker 18/2022 dibuat untuk menjawab aspirasi dan melengkapi PP 36/2021 yang belum dapat mengakomodasi kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.

Lalu, benarkah tudingan yang menyebut regulasi Menaker Ida hanya demi kepentingan politik Cak Imin dan PKB? Serta mengapa pengusaha, pekerja, dan pemerintah mengenai upah ketenagakerjaan selalu membentuk relasi “segitiga yang tak sama sisi”?

Upah, Alat Politik? 

Upah pekerja selama ini kerap dianggap menjadi ihwal yang inheren dalam proses sebuah politik. Itu dikarenakan, segala keputusan mengenai ketenagakerjaan, termasuk upah, tak bisa luput dari tarik menarik kepentingan.

Berangkat dari studi kasus di Amerika Serikat (AS), sebuah tulisan di Roper Center for Public Opinion Research, Cornell University yang berjudul Wages of Win: The Public and the Minimum Wage Debate, menyatakan bahwa diskursus mengenai minimum wage atau upah minimum memang menjadi variabel yang cukup signifikan terkait dengan dukungan dan keberpihakan publik atas entitas maupun kandidat tertentu dalam pemilihan umum (pemilu).

Di Indonesia pun kiranya demikian. Diskursus buruh, ketenagakerjaan, dan upah selalu masuk ke gelanggang politik dan pemerintahan. Terdapat impresi positif yang diperebutkan para aktor dari potensi suara para pekerja yang begitu masif.

Bagaimana tidak, ketika berbicara UMP, efek yang ditimbulkan akan berdampak pada puluhan juta orang.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk yang bekerja di sektor formal dan mendapatkan upah tercatat sebanyak 54,28 juta orang per Februari 2022. Rata-rata upah buruh di periode yang sama, turut menjadi barometer dikarenakan secara umum kerap dianggap masih belum layak, yakni hanya sebesar Rp2,89 juta.

Artinya, pihak manapun yang berperan menaikkan standar upah minimum kiranya akan memperoleh impresi positif dari sebagian besar pekerja di sektor tersebut.

Bagi aktor politik, citra tersebut tentu akan sangat menguntungkan. Kesan keberpihakan tampaknya dapat menjadi deposit politik berharga jelang sebuah kontestasi elektoral. Tinggal aktor politik mana yang memiliki akses untuk merengkuhnya.

Selain itu, secara momentum, dihembuskannya kenaikan upah oleh Menaker Ida juga agaknya memiliki relevansi politik.

Tahun 2023 sendiri menjadi pertaruhan terakhir para aktor politik di tanah air untuk mengerahkan semua yang dapat dikapitalisasi bagi keuntungan masing-masing jelang Pemilu setahun setelahnya.

Timing atau momentum menjadi hal yang cukup esensial untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik mengemuka, sebagaimana halnya yang dijabarkan Luis Rubio dalam publikasinya yang berjudul Time in Politics.

Dalam analisis Rubio, timing sangat penting untuk diperhatikan dalam komunikasi dan manuver politik. Preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.

Sementara itu, dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson menyatakan bahwa momentum tertentu dalam politik dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan risiko dan biaya sang aktor politik.

Jika perspektif Rubi dan Gibson dijadikan pisau bedah untuk menganalisis manuver Menaker Ida mengenai UMP 2023, dugaan Danang bahwa ada motif politik kiranya memiliki signifikansi.

Selama kursi menteri diisi oleh kader parpol, dugaan eksistensi kepentingan tertentu, plus dalam momentum tertentu kiranya cukup sulit untuk dihindari.

Di titik ini, penilaian atas integral kepentingan yang mengarah pada Cak Imin pun tak dapat dipungkiri memiliki benang merah yang kasat mata, khususnya untuk menarik simpati sebagaimana juga dikatakan Danang.

Lalu, apakah manuver Menaker Ida akan benar-benar menguntungkan PKB dan Cak Imin?

Bisa Jadi Bumerang? 

Satu hal lain terkait kritik Apindo bahwa konstituen PKB merupakan buruh dan para pekerja kiranya juga memiliki relevansi. Jika ditarik riwayatnya, posisi menteri ketenagakerjaan selalu menjadi “kuncian” PKB sejak era Erman Soeparno di Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama.

Cak Imin yang mengampu Ketum PKB sejak tahun 2005 kemudian dipercaya menjadi menaker di Kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua, yang kemudian diteruskan kader PKB lainnya secara berturut-turut melalui Hanif Dhakiri sampai Ida Fauziyah.

Sejenak kembali ke timing, political policy making atau pembuatan kebijakan politik yang mungkin dipilih Cak Imin saat ini mungkin lebih menguntungkan untuk berpihak kepada buruh dibandingkan pengusaha.

Akan tetapi, manuver itu bisa saja menjadi bumerang bagi PKB dan Cak Imin. Bahkan, tak menutup kemungkinan juga efeknya secara langsung maupun tidak langsung kepada Partai Gerindra dan Prabowo Subianto yang telah menjalin relasi politik 2024.

Setidaknya itu dikarenakan dua hal. Pertama, Permenaker terkait UMP mungkin bisa tak dipatuhi oleh para kepala daerah dengan tidak melakukan apapun. 

Peter Rose dalam The Politics of Doing Nothing menjelaskan filosofi Tiongkok kuno, yakni Tao Te Ching di mana memiliki makna: tidak ada gunanya menabur benih di tengah musim dingin.

Itu secara harfiah berarti hal terbaik adalah tak perlu melakukan apa-apa dalam hal menyemai benih namun tetap menyiapkan tanah yang baik sampai musim semi tiba.

Permenaker Ida kemungkinan juga bisa “didiamkan” oleh kepala daerah. Tidak hanya pertimbangan perekonomian yang belum 100 persen pulih, tetapi juga bisa saja demi kepentingan politik personal lain atau pun justru keberpihakannya pada pengusaha.

Preseden Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) yang bisa tak tunduk pada Surat Edaran Menaker pada tahun 2021 yang juga mengatur kenaikan UMP agaknya dapat menjadi sampel.

Saat itu, RK seakan tak melakukan apa-apa atau “doing nothing” terhadap SE Menaker Ida. Dan secara politik, doing nothing RK di saat yang sama juga dapat bermakna something atau “sesuatu”.

Satu hal yang mungkin menjadi variabel determinan adalah fakta bahwa pengusaha memiliki kekuatan politik.

Analis sosial politik dan ekonomi dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan orang-orang yang berada di arena politik seringkali ditentukan oleh pergerakan ekonomi, atau lebih spesifik oleh pengusaha.

Di tahun 2023, dengan keadaan ekonomi yang diprediksi tidak baik, kenaikan UMP tak menutup kemungkinan akan memperparah gelombang PHK. Muaranya, bumerang politik tampaknya tak hanya akan diderita PKB dan Cak Imin, tapi juga pemerintah secara umum.

Dari intrik ini, kecermatan dalam perumusan kebijakan agaknya menjadi hikmah yang lagi-lagi harus menjadi pelajaran. Belum terlambat bagi Menaker Ida, plus kemungkinan motif politik PKB, untuk meninjau kembali kebijakan populis menaikkan upah yang justru berpotensi memiliki dampak lebih luas. (J61)

Exit mobile version