Munculnya nama Lloyd Austin sebagai calon Menhan AS di bawah Joe Biden menuai perdebatan, salah satunya seputar diskursus mengenai kontrol sipil atas militer. Lalu, apakah terdapat korelasi tersendiri ketika berbicara diskursus yang sama pada konteks Mahfud MD sebagai sipil pertama yang menjabat Menko Polhukam?
Semakin mendekati pengambilan sumpahnya sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS), Joe Biden mulai menghembuskan sejumlah nama yang akan mengisi jabatan level menteri di administrasinya kelak.
Salah satu yang cukup menyita perhatian ialah, menguatnya nama Lloyd Austin sebagai kandidat yang akan mengisi posisi Secretary of Defense atau Menteri Pertahanan (Menhan).
Diperkuat dengan Austin yang menjadi sosok tunggal ketika tampil bersama Biden dan Kamala Harris, dalam sebuah introduksi formal sosok kandidat calon Menhan di Wilmington, negara bagian Delaware.
Perkenalan tersebut juga membuat purnawirawan Jenderal bintang empat itu berpeluang besar menjadi orang kulit hitam pertama dalam sejarah AS yang mengisi pos tersebut.
Namun demikian, perdebatan seketika mengemuka ketika Austin dianggap belum memenuhi persyaratan resmi sebagai Menhan AS. Untuk mengisi jabatan tersebut, konstitusi AS menghendaki sosok yang berlatarbelakang militer wajib setidaknya telah menghabiskan masa tujuh tahun sejak purna tugas.
Sementara eks komandan United States Central Command (CENTCOM) itu baru melewati empat tahun sejak pensiun pada tahun 2016 silam.
Hal itulah yang memantik pro dan kontra apakah waiver atau semacam dispensasi akan diberikan Kongres kepada Austin seperti yang terjadi pada Jim Mattis saat ditunjuk mengisi pos yang sama di awal kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Di saat yang sama, sejumlah senator seperti Richard Blumenthal, menaruh kekhawatiran atas pencalonan Austin yang belum memenuhi persyaratan itu.
Dirinya percaya bahwa waiver aturan tujuh tahun akan melanggar prinsip fundamental bahwa harus ada kontrol sipil atas militer. Sebuah prinsip yang dianggap sangat penting dalam demokrasi negeri Paman Sam.
Konteks kontrol sipil atas militer sendiri memang menjadi cukup esensial, termasuk di Indonesia.
Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), penunjukan Mahfud MD sebagai sipil pertama yang mengampu jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dinilai berusaha mengimpresikan konteks tersebut.
Lantas pertanyaannya, dengan segala kendala yang tampak signifikan, mengapa Biden tampak bersikukuh untuk mencalonkan Lloyd Austin sebagai Menhan AS?
Strategi Biden Pastikan Tumbangnya Trump?
Pilpres AS tahun ini boleh jadi memang merupakan kontestasi elektoral paling menegangkan sekaligus melelahkan bagi kedua kubu yang bertarung. Isu pandemi Covid-19, Black Lives Matter, plus sejumlah narasi beraroma konspiratif bahkan masih mengiringi Pilpres AS edisi 2020 hingga kini.
Ya, sejak kampanye dimulai, kedua kubu saling lempar dan membentengi diri dari narasi-narasi bernuansa spekulatif, yang anehnya cukup diyakini oleh pendukung masing-masing pihak, baik Trump maupun Biden.
Secara kasat mata, Trump yang memang sangat aktif di ranah media sosial, menggunakan Twitter untuk “menjatuhkan” Biden. Bahkan Pilpres itu sendiri menjadi sasaran Trump ketika keunggulan electoral vote Biden tak diakui untuk kemudian menghadirkan tudingan bertendensi konspiratif atas kecurangan pemilu.
Serangkaian variabel itu yang kiranya secara tidak langsung memengaruhi bagaimana Biden membentuk kerangka sementara kabinetnya, utamanya posisi Menhan.
Stormie Filson mengemukakan istilah counter strategy atau kontra strategi sebagai strategi yang digunakan untuk melawan strategi lain. Strategi ini sendiri berangkat dari pertimbangan atas kemungkinan apa yang mungkin dilakukan selanjutnya oleh lawan sebelum memutuskan strategi berikutnya.
Cukup besarnya kemungkinan bagi Lloyd Austin untuk menempati posisi Menhan AS, tampaknya juga dapat dikatakan merupakan counter strategy dari Biden atas langkah politik maupun manuver kubu Trump.
Seperti yang diketahui, pemerintahan Trump beberapa bulan terakhir diliputi sejumlah kebijakan yang dianggap menajamkan polarisasi masyarakat AS. Mempertahankan kebijakan keras terhadap imigran hingga sikap Gedung Putih atas isu Black Lives Matter kerap merepresentasikan cerminan dari konsep politik America First Trump yang tak jarang membangkitkan sentimen rasial.
Pada ranah ini, penunjukan Austin yang notabene merupakan kulit hitam, bisa saja merupakan counter strategy Biden secara simbolis untuk meredam kecenderungan minor atas isu rasial yang seolah justru menjadi “senjata” Trump.
Selain itu, dimunculkannya nama Austin yang memantik perdebatan waiver di Kongres tak menutup kemungkinan pula merupakan counter strategy Biden pada Trump dalam persoalan yang lebih serius.
Tudingan berupa narasi adanya kecurangan dalam Pilpres nyatanya masih terus beresonansi di negeri Paman Sam. Bahkan hingga hari ini, Trump via Twitter, masih bertahan pada spekulasi kecurangan itu.
Persoalan menjadi mengkhawatirkan saat salah satu tokoh pendukung Trump yang merupakan mantan pilot Angkatan Udara legendaris AS, Scott O’Grady turut serta dalam mem-backup klaim Trump.
Bahkan O’Grady mendukung pendeklarasian martial law atau darurat militer secara terbatas, dan untuk sementara menangguhkan Konstitusi dan kontrol sipil atas pemilihan federal, dengan tujuan agar militer mengawasi pemungutan suara ulang.
Dan Trump disebut telah berencana menempatkan O’Grady dalam jabatan penting di Pentagon meski secara teknis kekuasaannya dan seluruh orang kepercayaannya hanya menyisakan hitungan pekan.
Skenario inilah yang kiranya membuat penunjukan Austin menjadi relevan sebagai counter strategy atas potensi kemudaratan bagi Biden. Walaupun sementara masih terganjal Kongres, mantan komandan CENTCOM itu dinilai masih memiliki pengaruh di militer dan dapat meredam potensi martial law.
Dengan kata lain, impresi besarnya kemungkinan Austin mengisi jabatan Menhan tampaknya memang tepat ditunjukkan Biden.
Tidak hanya dalam hal counter strategy terhadap “manuver tak kenal lelah” Trump, namun juga sebagai pernyataan sikap yang strategis secara politik jelang transisi kepemimpinan.
Kemudian jika sorotan bergeser pada diskursus utama di balik penunjukkan Austin, yakni kontrol sipil atas militer, agaknya juga menjadi menarik ketika ditarik pada konteks Indonesia.
Dalam sebuah jurnal berjudul Demokratisasi Relasi Sipil–Militer pada Era Reformasi di Indonesia, Koesnadi Kardi mengatakan bahwa reformasi militer di bawah kontrol sistem demokrasi di Indonesia masih menemui permasalahan.
Supremasi sipil di Indonesia disebut cenderung lebih mengandalkan “subordinasi sukarela” dari militer, dan bukan hasil dari kontrol sipil yang efektif terhadap para serdadu.
Lantas, benarkah demikian?
Mahfud Sebatas Kosmetik Politik?
Sejarah yang ditorehkan Mahfud MD sebagai sipil pertama yang memegang jabatan Menko Polhukam bisa saja merupakan bagian dari impresi Presiden Jokowi terkait esensi kontrol sipil atas militer.
Sebagai Menko Polhukam, secara tupoksi Mahfud memang membawahi sejumlah kementerian dan lembaga terkait, yakni Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan TNI.
Namun demikian, postulat Kardi sebelumnya yang mengatakan bahwa kontrol sipil yang efektif terhadap militer belum sepenuhnya tercipta agaknya masih menjadi persoalan tersendiri di tanah air.
Angel Rabasa dan John Haseman dalam The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power, menyebut bahwa penunjukan sipil dalam posisi “mengontrol” militer yang terjadi pada sampel Juwono Sudarsono dan Mahfud MD sebagai Menhan, dinilai hanya mencerminkan kepentingan simbolis dan hanya merupakan “kosmetik politik” yang terjadi di Indonesia akiba mendalamnya “warisan” Orde Baru (Orba).
Dalam The Soldier and the State, Samuel P. Huntington menyebut konsep kontrol sipil ideal sebagai subordinasi yang tepat dari militer yang kompeten dan profesional hingga mencapai tujuan kebijakan sebagaimana yang ditentukan oleh otoritas sipil.
Definisi ideal yang disebut-sebut telah diterapkan dengan baik di AS. Ekosistem relasi sipil-militer di AS sejak awal telah memberikan batas demarkasi yang jelas bahwa memasuki dunia militer bukanlah untuk menjadi penguasa, karena militer merupakan jalur profesional untuk mencapai prestasi kepangkatan di dunia militer.
Hal ini tercermin dari tantangan Lloyd Austin dalam menatap jabatan Menhan AS yang terganjal konstitusi aturan tujuh tahun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam sejarah sendiri, baru dua Menhan AS yang berhasil ditoleransi atas aturan tersebut yakni George Marshall dan Jim Mattis. Hal ini menunjukkan bahwa upaya penghindaran pengaruh militer dalam politik serta esensi supremasi sipil terpelihara dengan baik di negeri Paman Sam.
Hal berbeda terjadi di Indonesia. Jika mengacu pada apa yang dikemukakan Rabasa dan Haseman, posisi Mahfud MD sebagai Menko Polhukam saat ini misalnya, bisa jadi masih merupakan kosmetik politik semata.
Secara objektif, publik agaknya dapat menilai ketika ada nama Prabowo Subianto yang dinilai masih memiliki pengaruh kuat di militer dan pada saat yang sama dengan modal politiknya dan karisma militernya cukup sulit untuk “dipengaruhi”.
Akan tetapi, analisa tersebut belum tentu demikian adanya. Generasi tentara politik seperti Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai mulai berganti, dan pada saat yang sama perlahan kontrol sipil atas militer dapat terwujud optimal.
Tinggal harapannya kontrol sipil atas militer dapat diimplementasikan demi asas profesionalitas, bukan justru menjadi perpanjangan tangan atau menjadi semacam alat politik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.