Site icon PinterPolitik.com

Mengutuk Scopophilia ala Miss Universe

mengutuk scopophilia ala miss universe

Direktur Nasional Miss Universe Indonesia dan Miss Universe Malaysia, Poppy Capella (tengah), berfoto bersama para pemenang Miss Universe Indonesia 2023. (Foto: Instagram/@poppycapella_)

Persoalan pelecehan seksual yang terjadi di salah satu rangkaian acara Miss Universe Indonesia 2023 menjadi pembicaraan publik. Mengapa hal ini bisa disebut sebagai scopophilia? Mengapa ini bisa jadi perangkap bagi perempuan sejak dulu?


PinterPolitik.com

“Mereka memang bidadari, bukan seperti bidadari. Mereka turun dari angkasa, terbang melayang” – Jaka Tarub, Jaka Tarub & 7 Bidadari (2004)

Mereka yang disebut sebagai generasi Milenial – lahir pada tahun 1981 hingga tahun 1996 – pasti tidak asing dengan salah satu saluran televisi nasional yang kerap menayangkan sinetron laga-laga kolosal bertemakan legenda atau cerita rakyat.

Salah satu laga kolosal yang sempat populer kala itu adalah Jaka Tarub & 7 Bidadari yang tayang pada tahun 2004. Sinetron ini terinspirasi oleh kisah legenda dengan nama tokoh dan alur yang sama, yakni kisah Jaka Tarub yang akhirnya menikahi seorang bidadari.

Dalam legenda yang tercatat dalam Babad Tanah Jawi ini, hiduplah seorang pemuda gagah nan sakti bernama Jaka Tarub. Dengan keberaniannya, Jaka kerap memasuki wilayah-wilayah keramat yang berada di hutan dan gunung.

Pada suatu hari, Jaka akhirnya menyaksikan para bidadari – sebanyak tujuh – yang tengah mandi di sebuah telaga. Para bidadari ini diceritakan sangat cantik sehingga Jaka terus mengamati dari kejauhan.

Para bidadari ini hanya bisa terbang menggunakan selendang mereka. Namun, Jaka memutuskan untuk mencuri salah satu selendang tersebut sehingga salah satu bidadari yang bernama Nawangwulan.

Nawangwulan yang tidak bisa pulang bersama teman-temannya akhirnya “diselamatkan” oleh Jaka. Perasaan di antara mereka kemudian tumbuh dan akhirnya menikah.

Terlepas dari alur kisah legenda Jaka Tarub ini, ada satu kebiasaan yang tertanam – baik sengaja atau tidak – di banyak masyarakat di dunia ini. Kebiasaan itu adalah bagaimana perempuan yang dianggap cantik secara fisik sering menjadi tontonan.

Mungkin, ini juga mengingatkan banyak orang dengan insiden yang terjadi pada salah satu rangkaian acara Miss Universe Indonesia 2023 beberapa waktu lalu. Polemik body checking (pengecekan tubuh) yang berujung pada dugaan pelecehan seksual akhirnya menjadi buah bibir masyarakat – bahkan alasan soal kecantikan tubuh menjadi justifikasi atas body checking tersebut.

Mengapa standar kecantikan tubuh ini seakan-akan bisa begitu saja menjadi justifikasi bagi kontes-kontes kecantikan, baik di Indonesia maupun di dunia? Mengapa kisah legenda Jaka Tarub memiliki korelasi dengan insiden Miss Universe Indonesia beberapa waktu lalu?

Scopophilia ala Miss Universe?

Kisah legenda Jaka Tarub ini memang tidaklah memiliki hubungan langsung dengan insiden pelecehan seksual yang ada di Miss Universe Indonesia beberapa waktu lalu. Namun, dari kisah ini, bisa dipahami mengapa akhirnya kontes kecantikan (beauty pageant) seperti Miss Universe bisa hadir di tengah masyarakat.

Sebenarnya, kisah-kisah yang melibatkan pengamatan terhadap kecantikan tubuh perempuan ini tidak hanya ada di kisah legenda Jaka Tarub, tetapi juga di banyak budaya dari negara-negara lain. Di kebudayaan Eropa pada Abad Pembaharuan (Renaissance) yang terjadi pada abad ke-14 hingga abad ke-17, pengamatan pada tubuh perempuan juga terejawantahkan di banyak karya. 

Salah satunya adalah lukisan Susanna and the Elders (1610) yang merupakan karya dari seorang pelukis perempuan Italia yang bernama Artemisia Gentileschi. Dalam lukisan tersebut, terdapat seorang perempuan telanjang yang diamati oleh seorang pria tua.

Sementara, di banyak karya seni dari era Renaissance yang memang kerap menampilkan individu yang telanjang, pria-pria yang telanjang justru lebih digambarkan memiliki peran yang aktif – misal peran sebagai ksatria, peran sebagai pemikir, dan peran-peran aktif lainnya.

Setidaknya, kecenderungan untuk melihat kecantikan dari seseorang – atau objek – bisa dijelaskan dengan konsep scopophilia dari Sigmund Freud. Scopophilia sendiri bisa dipahami sebagai kesenangan yang timbul akibat melihat dan mengamati seseorang atau objek.

Konsep inilah yang kemudian diangkat oleh Laura Mulvey dalam tulisannya yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema. Pada intinya, Mulvey melihat adanya dominasi laki-laki dalam menciptakan narasi – khususnya dalam perfilman.

Perempuan kerap ditempatkan dalam peran yang lebih pasif ketimbang laki-laki. Terdapat semacam ekspektasi bahwa perempuan punya peran tertentu yang membuat mereka terbatas – misal peran untuk menjadi ibu yang justru hanya mendukung orang lain yang kerap kali adalah laki-laki (suami atau anak).

Ini juga sejalan dengan istilah male gaze (tatapan pria). Masyarakat pada akhirnya berjalan sesuai dengan male gaze dan dominasi laki-laki. Alhasil, perempuan hanya menjadi objek yang dipandangi tanpa makna lebih layaknya laki-laki – memunculkan objektifikasi dari laki-laki.

Pembatasan peran perempuan sebagai objek scopophilia inilah yang bukan tidak mungkin membuat kontes kecantikan – seperti Miss Universe – hadir di tengah masyarakat. Apalagi, banyak pakar menilai bahwa kontes-kontes kecantikan ini lebih menitikberatkan pada penampilan perempuan daripada kecerdasan dan kepintaran mereka – memperkuat scopophilia laki-laki terhadap perempuan.

Bila memang dunia yang didominasi laki-laki ini akhirnya menjadikan perempuan hanya sebagai objek yang dipandang, bagaimana dampaknya terhadap kontes-kontes kecantikan? Mengapa kehadiran kontes-kontes kecantikan dengan format yang ada sekarang justru bisa menjadi perangkap bagi perempuan?

Bayang-bayang Kontes Kecantikan ala Miss Universe?

Boleh jadi, dominasi laki-laki yang melahirkan budaya male gaze inilah yang akhirnya menjadi dasar dari lahirnya kontes-kontes kecantikan. Pasalnya, sejak lama pun, peran perempuan telah lama dibatasi pada peran yang lebih pasif – dan hanya menjadi objek spectatorship bagi laki-laki.

Dalam kesaksian sejumlah korban atas insiden di Miss Universe Indonesia 2023, terdapat anggapan bahwa terjadinya body checking adalah hal yang wajar dalam kontes kecantikan. Seakan-akan, karena ini kontes kecantikan, observasi pada tubuh diri adalah hal yang wajar.

Alasan yang menjadi justifikasi atas body checking dan insiden pelecehan seksual ini sebenarnya bisa dibilang juga berangkat dari pengurangan peran perempuan yang hanya diamati atau dilihat. Padahal, makna dari seorang individu bukanlah hanya soal penampilan.

Banyak pakar juga menilai bahwa kontes kecantikan – seperti Miss Universe – akhirnya membatasi makna perempuan. Ini juga membuat gadis-gadis lain di berbagai negara menginternalisasi standar kecantikan seorang perempuan dari kacamata dominasi laki-laki – menciptakan standar yang belum tentu semua orang perlu atau bisa memenuhinya.

Memang, sejumlah kontes kecantikan telah memasukkan sejumlah sesi yang lebih menekankan pada sesi tanya-jawab. Namun, banyaknya sesi inipun masih terbatas – masih lebih banyak tertuang pada sesi kecantikan penampilan.

Adanya fungsi utama kontes kecantikan sebagai scopophilia laki-laki ini akhirnya memberikan beban jamak bagi perempuan. Seorang perempuan harus cantik sekaligus juga menjadi cerdas bila ingin menjadi perempuan yang bisa bekerja di “dunia laki-laki”.

Setidaknya, asumsi inilah yang diungkapkan oleh Jill Carle dan Magda Hinojosa dalma tulisan mereka yang berjudul From Miss World to World Leader: Beauty Queens, Paths to Power, and Political Representations. Berbeda dari laki-laki, perempuan harus menghadapi pemaknaan dikotomis antara menjadi cantik dan menjadi cerdas – padahal dua hal tersebut bisa saja saling melengkapi.

Alhasil, bukan tidak mungkin, dari budaya male gaze ini, perempuan hanya bisa dibagi dalam dua peran yang berbeda, yakni perempuan yang memang pintar dan perempuan yang indah hanya untuk diamati. Kontes kecantikan pun hadir untuk memenuhi kebutuhan scopophilia tadi.

Mungkin, meski kisah legenda Jaka Tarub sudahada sejak berabad-abad yang lalu, banyak perempuan Indonesia akhirnya tetap saja diekspektasikan untuk memenuhi peran untuk diamati oleh male gaze ini. Boleh jadi, kini adalah saatnya bagi perempuan untuk bisa terbang dengan selendangnya kembali meninggalkan para “Jaka Tarub” ini – mengikuti jejak Nawangwulan dan menjadi perempuan sepenuhnya. (A43)


Exit mobile version