HomeNalar PolitikMengupas “Khayalan Besar” Jokowi

Mengupas “Khayalan Besar” Jokowi

John Mearsheimer dikenal dengan konsep “great delusion” atau “khayalan besar” yang disebut melekat pada politik luar negeri Amerika Serikat. Lantas, bagaimana dengan “khayalan besar” ala Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo  (Jokowi)?


PinterPolitik.com

“Is drenched in sweat and delusion because I jet to conclusions” – Tyler, the Creator, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Ketika menonton sebuah film atau seri, tidak dapat dipungkiri terkadang terdapat tokoh-tokoh yang dikenal naif. Mereka ini biasanya memiliki keyakinan yang kukuh meskipun realitas dan perhitungan rasional berkata lain.

Dengan sangat yakin, tokoh-tokoh yang naif biasanya memiliki khayalan bahwa angan-angannya akan selalu terwujud. Bahkan, terkadang, khayalan seperti ini malah membawa tokoh tersebut kepada kehancuran.

Tokoh delusional seperti ini mungkin dapat ditemui dalam salah satu seri berjudul Game of Thrones (2011-2019). Dalam seri tersebut, terdapat seorang tokoh yang bernama Cersei Lannister.

Sebagai seorang Lannister, tentunya Cersei selalu merasa yakin bahwa keluarga bangsawannya lah yang paling kuat di seantero Tujuh Kerajaan. Namun, khayalan dan arogansinya ini malah membawa dirinya jatuh pada sejumlah persoalan.

Jokowi Urutan 12 di Dunia

Baca Juga: Vaksin Ditantang, Jokowi “Menendang”

Ketika Cersei memutuskan untuk menguatkan fanatisme agama di King’s Landing, misalnya, malah membuatnya terjebak pada keputusannya sendiri. Selain itu, arogansi Cersei juga yang membuat King’s Landing jatuh ke tangan Daenerys Targaryen.

Khayalan-khayalan seperti inilah yang juga dijelaskan oleh seorang profesor dari University of Chicago yang bernama John J. Mearsheimer dalam bukunya berjudul The Great Delusion. Mearsheimer meyakini bahwa khalayan besar dan berlebihan seperti ini melekat pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS).

Khalayan ini didasarkan pada tatanan dunia yang dibangun AS dan negara-negara kawannya pasca-Perang Dunia II. Mearsheimer pun menyebutnya sebagai hegemoni liberal (liberal hegemony).

Arah politik luar negeri ala hegemoni liberal ini dinilai mulai mengalami kegagalan setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1990-an – mengakhiri dunia bipolar pada era Perang Dingin. Keinginan AS untuk menerapkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) justru menciptakan backlash tersendiri bagi “khayalan besar” ala negeri Paman Sam.

Asumsi Mearsheimer ini didasarkan pada bagaimana AS malah menggunakan cara-cara koersif untuk mewujudkan hegemoni liberal sepenuhnya. Sejumlah intervensi militer AS yang dilakukan di kawasan Timur Tengah, misalnya, disebut merupakan bentuk kegagalan dari khayalan liberal tersebut.

Namun, bila dibandingkan dengan “khayalan besar” ala AS ini, apakah ada negara-negara lain yang memiliki “khayalan” tersendiri? Lantas, bagaimana dengan Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?

“Khayalan Besar” ala Tiongkok?

Uniknya, konsep “khayalan besar” ala Mearsheimer ini diyakini tidak hanya dapat diaplikasikan pada orientasi politik luar negeri AS. Pasalnya, sejumlah negara besar dinilai juga memiliki “khalayan besar” versi mereka sendiri.

Salah satu negara yang dimaksud adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Asumsi ini diungkapkan oleh Elliott Zaagman dalam tulisannya di The Interpreter yang berjudul China’s Own “Great Delusion”.

Dengan meminjam konsep dari Mearsheimer tersebut, Zaagman menyebutkan bahwa AS bukanlah satu-satunya negara besar yang memiliki “khayalan besar”. Bahkan, “khayalan besar” seperti ini juga dimiliki oleh negara rival dari AS, yakni Tiongkok.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Baca Juga: Jokowi Wajib Contohi Meritokrasi Singapura

In The Great Delusion, Mearsheimer is trying to use nationalism to explain and defend realism in foreign policy and explain why realism is superior to liberalism. @PaulDMiller2 asks: are there any grounds for him to do this? https://t.co/KqZlh9C4yf @RealClearBooks @georgetownsfs

— Brian A. Smith (@briansmith1980) April 15, 2019

Berbeda dari AS yang memiliki “khayalan besar” yang menekankan pada liberalisme dan demokrasi, Tiongkok justru dinilai memiliki “khayalan besar” pada realisme dan pendekatan praktis yang didorongnya. Hal ini terlihat dari bagaimana negara tersebut bersedia bekerja sama dengan berbagai macam negara, terlepas dari isu ideologi atau demokrasi.

Asumsi serupa sebenarnya juga pernah diungkapkan oleh Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa Tiongkok dan AS memiliki model pembangunan tatanan dunia yang berbeda.

Bila AS dinilai mendorong tatanan dunia yang idealis, Tiongkok justru mendorong tatanan yang lebih pragmatis. Bahkan, tatanan seperti ini disebut bisa saja mengancam tatanan dunia ala AS – mengingat Tiongkok tidak menerapkan persyaratan “demokrasi” layaknya negara Paman Sam.

Pragmatisme dan praktikalitas yang dibawa oleh Tiongkok ini menurut Zaagman terletak pada sentralitas isu dan arah kebijakannya yang terletak pada dimensi ekonomi – disertai dengan unsur nasionalisme ala Tiongkok. Sentralitas ekonomi ini terlihat dari bagaimana perlawanan Hong Kong muncul.

Zaagman menilai bahwa fokus utama pemerintah Tiongkok pada indikator-indikator ekonomi membuat Partai Komunis Tiongkok (CCP) mengabaikan fokus lainnya, yakni isu HAM dan demokrasi di Hong Kong. Alhasil, backlash berupa isu hak dan nasionalisme lawannya – identitas Kanton – ikut muncul sebagai perlawanan atas kontrol CCP.

Alhasil, Umbrella Movement pun lahir pada tahun 2014 sebagai respons atas kontrol yang dikuatkan oleh pemerintahan Xi Jinping. Zaagman menjelaskan bahwa isu ekonomi bisa saja menjadi dasar dari isu Hong Kong tetapi isu kebebasan, demokrasi, dan identitas ala Hong Kong justru kerap muncul dan menyulut persoalan-persoalan baru.

Bila realisme dan pragmatisme ala Tiongkok ini bisa menjadi “khayalan besar” ala pemerintahan Xi Jinping, lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintahan Jokowi juga memiliki “khayalan besar” yang bisa menjadi hambatan bagi negara kepulauan terbesar di dunia ini dalam menyongsong masa depan?

Great Delusion Hantui Jokowi?

Bukan nggak mungkin, “khayalan besar” yang berbuah berbagai kegagalan, hambatan, hingga backlash tidak hanya terjadi pada AS dan Tiongkok. Bisa saja, pemerintahan Jokowi juga memiliki great delusion-nya sendiri.

Jika diamati, pemerintahan Jokowi sebenarnya memiliki banyak mimpi dan janji yang ingin diwujudkan. Ketika mantan Wali Kota Solo itu terpilih kembali pada Pilpres 2019, misalnya, pidato pertamanya pun langsung berfokus pada memajukan perekonomian Indonesia.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi langsung berpidato soal visinya akan Indonesia yang maju ini beberapa bulan setelah pemungutan suara Pilpres 2019. Padahal, kala itu, tudingan kecurangan masih mencuat di masyarakat.

Jokowi Ingin Punya Roket

Baca Juga: Vaksin Gratis Jokowi, Beban Sri Mulyani?

Tentunya, dari sejumlah mimpi yang ingin diwujudkan oleh pemerintahan Jokowi ini, terdapat sejumlah instrumen yang menurut sang presiden perlu. Salah satu instrumen itu adalah sejumlah omnibus laws yang salah satunya telah disahkan, yakni Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

UU ini mungkin bisa jadi contoh bahwa pemerintahan Jokowi bisa saja terjebak dalam “khayalan besar” layaknya Tiongkok. Pasalnya, UU yang tengah menjalani uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) ini masih mendapatkan penolakan dari sejumlah aktivis yang bergerak di hak buruh dan hak asasi manusia (HAM).

Tidak hanya dari kalangan yang liberal, penolakan juga datang dari kelompok nasionalis relijius – seperti Front Pembela Islam (FPI). Hal ini terlihat dari bagaimana Habib Rizieq Shihab (HRS) turut mulai menyoroti polemik omnibus law yang disertai aksi protes yang sempat dijalankan oleh kelompok yang dipimpinnya.

Munculnya politik ekstrem kanan dari golongan FPI dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 ini juga sempat disoroti oleh Sebastian Strangio dalam tulisannya di The Diplomat. Strangio pun menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat omnibus law yang dirasakan oleh buruh bisa saja menyulut api bagi bangkitnya gerakan politik kanan.

Mearsheimer dalam pidatonya yang berjudul Liberalism and Nationalism in Contemporary America juga menjelaskan hal serupa. Menurutnya, kebangkitan politik sayap kanan banyak disebabkan oleh prinsip-prinsip ekonomi liberal – seperti apa yang diterapkan oleh omnibus law.

Meski omnibus law ini masih banyak diragukan, bukan tidak mungkin UU Ciptaker bisa saja membuahkan hasil bagi pembangunan yang diinginkan Jokowi. Dalam aturan soal pembuatan perseroan terbatas (PT), misalnya, izin pun dipermudah – yang mana bisa menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi.

Terlepas dari polemik omnibus law, “khayalan besar” bisa saja masih menghantui pemerintahan Jokowi di bidang-bidang lainnya. Ben Bland dalam tulisannya Dream State di Financial Times menjelaskan bahwa Jokowi kerap disertai dengan kontradiksi dalam kepemimpinannya. Bahkan, salah satu menterinya menyebut presiden sebagai sebuah bundle of contradictions.

Impian Jokowi untuk membangun berbagai infrastruktur guna menopang kemajuan ekonomi Indonesia, misalnya, bisa jadi juga merupakan great delusion bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya, meskipun menempatkan BUMN sebagai aktor utama, korupsi dan kepentingan politik masih menghantui.

Belum lagi, Bland juga menyebutkan bahwa kepentingan-kepentingan politik ini masih terjadi di antara para pembantu Jokowi di Kabinet Indonesia Maju. Bukan tidak mungkin, hal ini akan menjadi penghambat dalam “khayalan besar” ekonomi ala Jokowi.

Meski begitu, gambaran akan adanya great delusion di pemerintahan Jokowi ini belum tentu benar adanya. Presiden Jokowi pun juga masih memiliki sejumlah waktu hingga 2024 – meski pandemi Covid-19 bisa juga menjadi hambatan. (A43)

Baca Juga: Jokowi Siap ‘Meroket’?

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?