HomeNalar PolitikMenguak Yusril Tolak HRS

Menguak Yusril Tolak HRS

Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra tiba-tiba mengaku menolak membantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam kasus hukum yang membelitnya. Menariknya, pernyataannya itu dilontarkan di tengah ramainya isu reshuffle kabinet yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah kedua fenomena ini saling berkorelasi?


PinterPolitik.com

Tak ada angin tak ada hujan, Ketua Umum (Ketum) Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mendadak jadi pusat pemberitaan. Yusril baru-baru ini mengaku kepada publik bahwa dirinya menolak untuk membantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) yang kini tengah terjerat kasus hukum kerumunan massa. 

Dalam pernyataannya itu, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Megawati Soekarnoputri itu turut menyentil Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Maklum, sebelum direkrut Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi menteri, Prabowo memang sempat lengket dengan kekuatan politik HRS selama dua pemilu berturut-turut.

Pernyataan tersebut sontak menimbulkan respons dari sejumlah pihak. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman menyayangkan sikap Yusril yang dinilai bertentangan dengan etika sebagai advokat karena mengabaikan orang yang meminta bantuannya dengan alasan politis.  

Di saat yang sama, pihak FPI justru membantah klaim Yusril yang mengaku sempat diminta untuk membantu HRS. Sekretaris FPI Munarman menegaskan baik FPI maupun pihak HRS sama sekali tak pernah meminta bantuan apapun dari Yusril. 

Konteks pengakuan Yusril ini menjadi menarik untuk didalami. Apalagi sejak kepulangan HRS ke Indonesia pada November lalu, Yusril memang tak begitu banyak memberikan komentar. 

Terlepas dari siapa yang benar, namun pertanyaan penting yang agaknya perlu dijawab adalah mengapa Yusril menolak membantu HRS kendati relasinya dengan pemerintah hingga hari ini belum terlihat memberikan keuntungan apapun bagi dirinya maupun PBB?

Jalan Politik Yusril

Keputusan Yusril untuk berbelok mendukung Jokowi pada Pemilu 2019 lalu sempat mengejutkan banyak pihak. Bagaimana tidak? Yang publik tahu selama ini platform politik Yusril lebih sejalan dengan garis politik HRS dan FPI ketimbang Jokowi. 

Yusril bahkan sempat menjadi kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang dibubarkan pemerintahan Jokowi lewat mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) beberapa tahun silam karena dianggap tak sejalan dengan ideologi negara. 

Jalan politik Yusril yang kental dengan nilai-nilai Islam fundamental sebenarnya telah jauh membentang bahkan sebelum Ia tampil membela HTI. Ia bahkan bisa dianggap sebagai pewaris dari garis politik pendiri Partai Masyumi, Mohammad Natsir. Yusril juga tidak jarang disebut sebagai Natsir muda.

Greg Fealy dan Bernhard Platzdasch dalam tulisan mereka yang berjudul The Masyumi Legacy: Between Islamist Idealism and Political Exigency menyebut bahwa Yusril adalah salah satu anak tokoh Masyumi yang diharapkan bisa tampil sebagai tokoh yang mengemban nilai dan cita-cita Masyumi.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Kemudian untuk mewujudkan itu, atas persetujuan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI) kala itu, PBB dibentuk dengan Yusril sebagai ketua. Dengan demikian, PBB merupakan partai yang dianggap sebagai reinkarnasi Masyumi dan karenanya juga dianggap sebagai anak sah dari partai yang dibubarkan oleh Soekarno itu.

Sebagai pewaris dari sosok yang mencita-citakan untuk mendudukkan Islam sebagai dasar negara, platform politik Yusril sebenarnya sejalan dengan garis perjuangan HRS. Faktanya, sebelum merapat ke kubu Jokowi pun Yusril sebenarnya sempat mesra dengan HRS. Ia bahkan pernah tampil sebagai  pengacara Firza Husein – perempuan yang dituduh terlibat dalam kasus chat tak senonoh dengan Sang Habib.  

Kemudian, semua itu berubah di tengah kontestasi Pilpres 2019. Ia dan partainya memutuskan untuk ‘bercerai’ dengan kubu HRS dan lebih memilih berbelok mendukung Jokowi. 

Tak hanya sebatas memberikan dukungan, Yusril bahkan menjadi tokoh kunci bagi paslon Jokowi-Ma’ruf Amin dalam mempertahankan kemenangannya saat hasil Pilpres digugat oleh pasangan kompetitor, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pada saat itu banyak yang menduga bahwa keputusan Yusril ini diambil demi mendongkrak suara PBB di Pileg 2019 yang saat itu tengah berambisi untuk kembali menembus parlemen setelah kegagalannya di Pileg sebelumnya. 

Meski akhirnya kita tahu Yusril dan partainya nyaris tak mendapatkan apapun, baik kursi legislatif maupun eksekutif dari dukungannya kepada Jokowi, namun kesetiaannya kepada pemerintah tak bisa dianggap remeh. Ia tetap menjalin kedekatan dengan kepala negara dan tak sekalipun kembali mendekat ke kubu yang berseberangan dengan pemerintah. 

Sekalipun dikritisi oleh Habiburokhman, namun faktanya sikap Yusril yang menolak membantu HRS dalam perkara hukum sebenarnya tak bisa dibilang salah. Sebab aturan dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) masih memperbolehkan atau bahkan diwajibkan – dalam kondisi-kondisi tertentu — untuk menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien dengan alasan tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya. 

Lalu apakah mungkin keputusan Yusril ini ada sangkut pautnya dengan pemerintah? Jawabannya tentu mungkin saja. 

Mengutip pernyataan Chaeruman Harahap, Solehuddin dalam tulisannya yang berjudul Quo Vadis Independensi Advokat dalam Sistem Peradilan di Indonesia menjabarkan sejumlah hambatan dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia, salah satu di antaranya adalah adanya campur tangan pemerintah dalam proses peradilan.

Memang bisa dimaklumi bahwa ketika membicarakan Yusril dalam profesinya sebagai advokat, bisa saja Ia sebetulnya menempatkan diri sebagai seorang profesional yang menjalankan bisnis dari keahlian yang dimilikinya. 

Namun sebagai seseorang yang juga berperan sebagai Ketua Umum Partai, tentu persoalan ini sulit untuk tak ditarik ke dalam spektrum politik. Apalagi konteks pernyataan ini Ia lontarkan di tengah santernya isu perombakan kabinet oleh Presiden Jokowi. Lantas apakah penolakan Yusril terhadap HRS ini punya korelasi ke sana?

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Pilihan Paling Rasional?

Melihat langkah Yusril itu, sulit untuk memisahkannya dengan PBB, partai yang selama ini melekat dengan dirinya. Bicara PBB tidak bisa lepas dari peran Yusril, begitu pula sebaliknya.

Dengan kekalahannya di Pileg 2019 lalu, praktis PBB sudah absen di kursi parlemen untuk dua periode pemerintahan berturut-turut. Untuk itu menjadi wajar jika kini Yusril dan PBB mulai mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi pemilu berikutnya. 

Dengan mengidentifikasi manuver Yusril yang tak segan menyampingkan faktor ideologis demi sebuah tujuan politik membuat PBB masuk dalam kategori match-all party. Pasca reformasi, partai politik cenderung terjebak dalam situasi politik yang pragmatis dan transaksional, yang menjadikan ideologi dan platform politik tidak lagi menjadi pijakan utama dalam berkontestasi dan bernegosiasi.

Richard Gunther dan Larry Diamond dalam Species of Political Parties menyebut fenomena match-all party bisa dilihat dari tiga kondisi. Pertama, adanya ketiadaan basis massa atau modal sosial yang kuat sebelumnya. Kedua, ketergantungan yang tinggi terhadap eksistensi figur. Ketiga, pemanfaatan berbagai potensi untuk memperoleh keuntungan, baik pada dimensi citra maupun material.

Konteks ketokohan tersebut, akan lebih bisa dieksploitasi lebih maksimal, jika Yusril duduk di kursi pemerintahan dari pada di luar lingkaran kekuasaan. Dengan begitu, maka menjadi beralasan jika Yusril kini berusaha kuat mengincar kursi menteri dengan berusaha menegaskan dukungannya kepada pemerintah melalui penolakan terhadap HRS. 

Namun, kendati akhirnya terungkap bahwa tak ada nama Yusril maupun politikus PBB lainnya dalam daftar menteri baru Jokowi, namun pilihan Yusril untuk tetap terus mendekat ke kubu pemerintah juga dapat dimaklumi. 

Langkah ini bahkan bisa dibilang paling rasional mengingat hingga hari ini, kekuatan politik oposisi yang juga digandrungi HRS belum mampu menandingi kekuatan koalisi gemuk yang berada di belakang Jokowi. Sehingga mendekat dengan Jokowi bisa dibilang menjadi prospek yang lebih menguntungkan PBB ketimbang harus berseberangan dengan kubu pemerintah. 

Kendati demikian, sekelumit ulasan ini hanyalah analisis teoretis yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Yang tahu maksud dan tujuan Yusril memberikan pernyataan terbuka terkait penolakannya untuk memberikan bantuan terhadap HRS hanyalah yang bersangkutan sendiri. Bagaimana sikap PBB dalam menanggapi hasil reshuffle yang lagi-lagi tak begitu banyak menguntungkan pihaknya tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...