Pernyataan Ketum Partai Nasdem Surya Paloh yang mengklaim bahwa Presiden Jokowi adalah kader partainya menjadi manuver politik terbaru yang menarik perhatian publik. Pasalnya klaim tersebut terjadi di tengah simpang siur pemilihan calon menteri untuk kabinet periode kedua Jokowi. Di satu sisi, Surya Paloh memang mengindikasikan dukungan partainya yang kuat kepada sang petahana. Namun, di sisi lain, hal ini bisa dibaca sebagai tekanan politik bahwasannya Nasdem ingin tetap mendapatkan kursi yang sepadan dengan dukungan yang sejak awal telah mereka berikan.
PinterPolitik.com
“The more you observe politics, the more you’ve got to admit that each party is worse than the other”.
:: Will Rogers (1879-1935), aktor AS ::
Bukan namanya Surya Paloh jika tidak mengundang perhatian publik. Perawakannya yang tinggi besar dan wajahnya yang penuh berewok saja sudah membuat mata masyarakat terarah padanya. Belum lagi jika menyaksikan pidato dan orasi politiknya yang berapi-api serta penuh semangat.
Yang terbaru, mantan politisi Partai Golkar itu mencuri perhatian lewat pidato politik yang mengklaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader Partai Nasdem yang ia pimpin.
Dalam sambutannya di acara Pembukaan Sekolah Legislatif Partai Nasdem 2019 angkatan pertama beberapa hari lalu, Surya Paloh mengklaim bahwa partainya akan menjadi yang terdepan dalam perlombaan memperebutkan Jokowi sebagai kader partai-partai koalisi pendukung sang petahana.
Ia juga menyebutkan bahwa Jokowi adalah kader Nasdem karena telah mampu menjadi kepala negara, pemimpin bangsa dan pemimpin pemerintahan dengan pencapaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Berbagai reaksi pun muncul atas pernyataan tersebut. Tidak sedikit yang menilainya sebagai manuver Partai Nasdem agar semakin mudah merengkuh kursi atau jabatan tertentu yang tengah diincar.
Apalagi Jokowi selama ini dikenal identik dengan PDIP. Adapun partai terakhir menyebut tidak merasa “terancam” akibat pernyataan Surya Paloh dan menyatakan bahwa mereka yakin karakter Jokowi tak akan membuatnya mudah berpindah partai dan meninggalkan banteng moncong putih.
Konteks klaim Surya Paloh memang punya dimensi yang menarik, mengingat Nasdem adalah salah satu partai paling awal yang mendeklarasikan pencapresan untuk Jokowi jelang Pilpres 2019. Bahkan, dukungan tersebut dibuat secara tertulis.
Dengan konteks partai-partai koalisi yang saling berebut untuk mendapatkan kursi di kabinet dan posisi-posisi lain di pemerintahan – pun dengan wacana bergabungnya Prabowo ke dalam koalisi pemerintahan – tak heran pernyataan Surya Paloh seolah menjadi isyarat agar kekuasaan yang sudah didapatkan tak diganggu gugat.
Persoalannya semakin menarik mengingat Nasdem adalah partai yang baru berdiri pada 2011 lalu. Namun, transformasi partai biru tersebut boleh jadi adalah salah satu yang paling cepat. Pertanyaanya tentu saja adalah posisi apa yang tengah diincar oleh Surya Paloh?
Rebutan Jokowi
Popularitas Jokowi memang tak diragukan lagi. Hal tersebut juga ditunjang dengan elektabilitasnya yang mumpuni. Tak heran, pada Pemilu 2019 lalu, partai-partai koalisi pendukungnya berlomba-lomba untuk merebut efek elektabilitas tersebut – apa yang dikenal sebagai efek ekor jas (coattail effect).
PDIP sebagai partai yang selalu diidentikkan dengan Jokowi adalah faksi politik yang mengambil keuntungan paling besar dari keberadaan Jokowi. Bukan tanpa alasan, dalam berbagai survei, dengan alasan dukungan yang telah ada sejak Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo, PDIP memang paling terdepan mendapatkan efek luapan dari tingkat keterpilihan Jokowi.
Sekalipun sempat didera isu “petugas partai” dan sejenisnya yang membuat mantan Gubernur DKI Jakarta itu dianggap sebagai “boneka”, hubungan Jokowi dan PDIP tetap terlihat harmonis – setidaknya dalam tampilan di depan publik. Tak heran pula banyak yang menyebutkan bahwa sekalipun tak minta jatah, PDIP tentu punya “hak” mendapatkan bagian kekuasaan yang terbesar dalam kabinet Jokowi.
Legitimasi dan pengaruh politik Jokowi juga direbutkan beberapa partai lain. Golkar misalnya, sangat getol mengampanyekan Jokowi dengan harapan para pemilih dan pendukung Jokowi pada akhirnya melabuhkan hati mendukung partai kuning-kuning tersebut.
Sementara PKB juga cukup sukses mendapatkan efek tersebut, pun karena Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Jokowi juga cukup sukses mendekat ke kelompok Nahdlatul Ulama (NU) secara keseluruhan – hal yang berdampak pada dukungan politik secara tidak langsung bagi PKB sebagai partai yang terafiliasi dengan ormas tersebut.
Adapun Nasdem memang menjadi yang paling awal mendukung pencalonan kembali sang petahana. Sekalipun tidak menjadi partai yang paling besar mendapatkan efek elektoral Jokowi, namun Nasdem memang menjadi partai yang paling diuntungkan jika Jokowi kembali menjadi penguasa. Bahkan, konteks tersebut sangat mungkin menjadi alasan utama partai tersebut ngotot mendukung Jokowi.
Pasalnya, “keuntungan” politik yang dinikmati semasa periode pertama kekuasaan Jokowi memang luar biasa besar dirasakan oleh partai tersebut. Posisi Jaksa Agung, Menteri Perdagangan serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah jabatan-jabatan strategis yang kini dikuasai oleh partai biru tersebut. Tiga posisi ini merupakan pertautan antara kepentingan bisnis, politik dan hukum.
Artinya, pertaruhan Nasdem adalah bagaimana tetap menikmati keuntungan politik yang telah direngkuh. Konteks ini penting bagi partai tersebut, mengingat Nasdem tidak lagi menjadi partai tunggal yang berdiri karena sosok Surya Paloh semata. Di belakang kursi kekuasaan Paloh, terdapat sosok-sosok oligarki dan pengusaha besar yang tentu saja ikut mempengaruhi arah partai tersebut. (Baca: Siasat Oligarki, Misteri Keunggulan Nasdem)
Selain itu, dengan mengklaim Jokowi sebagai kader partainya, Surya Paloh sesungguhnya sedang melakukan “tekanan politik” terhadap Jokowi. Konteksnya tentu saja adalah agar sang presiden tak melupakan kontribusi partai tersebut, pun agar jabatan-jabatan strategis yang telah dimiliki tak dipindahtangankan ke partai lain
Alasannya? Karena Jokowi adalah “kader Nasdem”. Demikian bahasa Surya Paloh itu bisa dimaknai. Konteks ini memang sesuai dengan konsep yang disebut sebagai logic and language. Konsepsi yang umumnya dipakai dalam filasafat ini menyebutkan bahwa bahasa – secara spesifik kalimat dan kata-kata – seringkali punya makna yang sangat banyak saat digunakan.
Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konteks dan cara penyampaian. Kalimat perintah misalnya, tidak selalu berarti menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu, tetapi bisa juga digunakan untuk menyampaikan perasaan. Artinya, semuanya tergantung bagaimana cara seseorang mengkomunikasikannya.
Surya Paloh jelas telah memilih kata-katanya untuk menyampaikan pesan lain, bukan hanya sekedar untuk mengklaim posisi Jokowi sebagai “kader Nasdem”, tetapi lebih daripada itu, ia jelas melakukan tekanan politik.
Manuver Nasdem, Incar Jabatan?
Partai Nasdem menjadi salah satu partai yang paling awal mendeklarasikan dukungan untuk pencalonan kembali Jokowi. Dukungan yang diberikan pun disebut-sebut “tanpa syarat” – hal yang kemudian bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi.
Dukungan paling awal ini boleh jadi mengindikasikan bahwa Nasdem adalah salah satu partai yang “paling menikmati kekuasaan Jokowi”. Asumsi tersebut memang masih mungkin untuk diperdebatkan – dan sangat mungkin ditentang kader Nasdem – namun bisa jadi sepenuhnya benar.
Dengan dukungan politik terhadap Jokowi, Nasdem memang menjadi salah satu partai yang mendapatkan efek ekor jas di kubu sang petahana. Mesin-mesin partai tersebut juga cukup giat mengkampanyekan pencalonan Jokowi jelang Pemilu 2019.
Pertanyaan terbesarnya adalah posisi apa yang akan diincar di kabinet Jokowi kali ini?
Pasalnya, dengan suara 6,72 persen pada Pilpres 2014 lalu saja, partai ini sudah mampu merengkuh beberapa posisi yang cukup vital, katakanlah jika dikaitkan dalam konteks politik, hukum dan bisnis.
Kini perolehan suara Nasdem berdasarkan hasil rekapitulasi KPU menyentuh angka 9,05 persen. Artinya, menjadi rasional jika Nasdem meminta jatah kursi lebih, atau minimal mempertahankan keuntungan politis yang saat ini dimilikinya.
Kementerian Perdagangan sangat mungkin menjadi posisi yang akan dipertahankan oleh Nasdem. Posisi ini dengan segala kebijakan ekspor impor yang kontroversial – misalnya beras, gula, bawang, dan lain sebagainya – yang disebut-sebut punya pertalian dengan kepentingan Nasdem sendiri.
Demikianpun dengan posisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sangat mungkin bersinggungan dengan banyak kepentingan di sektor bisnis yang bersentuhan dengan lingkungan, katakanlah misalnya pertambangan.
Hal yang sama juga akan terjadi dengan posisi Jaksa Agung yang agaknya juga akan sulit untuk dilepaskan oleh Nasdem. Bahkan jika meminjam pernyataan mantan pengajar filsafat Rocky Gerung, kekuatan politik Nasdem justru datang dari jabatan Jaksa Agung tersebut.
Jika ingin posisi yang lain, maka kemungkinan besar posisi-posisi tersebut tak akan jauh-jauh dari sektor bisnis dan hukum. Pasalnya, dua pos tersebut terlihat punya pertalian yang erat dengan Nasdem – setidaknya jika berkaca dari periode pertama kekuasaan Jokowi.
Pada akhirnya, dugaan-dugaan tersebut tentu masih menjadi asumsi besar yang layak untuk diperdebatkan. Publik tentu masih akan bertanya-tanya terkait tujuan akhir Nasdem sebagai partai politik.
Bahkan jika “mengakuisisi” Jokowi adalah rencana besar yang ingin diwujudkan Surya Paloh, bukan tidak mungkin Jokowi memang akan menjadi peruntungan Nasdem di tengah perebutan kursi menteri dan tawaran berkoalisi yang diajukan untuk partai-partai lawan Jokowi, misalnya Demokrat, Gerindra dan PAN.
Selain itu, Surya Paloh sangat mungkin ingin “menekan” Jokowi agar posisi-posisi kementerian yang kini dikuasai Nasdem tidak berpindah tangan, pun jika memungkinkan, ditambah untuk partai biru tersebut.
Tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, selalu ada maksud tersembunyi dari setiap pernyataan politisi. Apa pun itu, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)