Presiden PKS Ahmad Syaikhu beberapa waktu lalu menyampaikan wacana untuk menduetkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Pengamat menilai manuver PKS ini sebagai sebuah strategi politik menjelang 2024.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review,Ujang Komarudin menilai wacana PKS menduetkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Tentu, gagasan ini sah-sah saja tetapi, menurutnya, menduetkan keduanya dinilai agak sulit dan berat.
Sandiaga Uno, misalnya, sebagai kader Gerindra sulit rasanya untuk dimajukan kembali dalam kontestasi Pilpres terlebih setelah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani pastikan partainya akan mengusung sang ketua umum dalam Pilpres 2024 nanti.
Dari sisi Anies, ini mungkin masih realistis – melihat peluangnya sangat besar untuk maju dalam kontestasi Pilpres mendatang tetapi dirinya belakangan ini justru lebih mendekat ke poros koalisi Nasdem. Hal ini juga bisa menjadi ganjalan PKS dalam mewujudkan koalisi ini.
Lebih lanjut, berbagai pihak menilai manuver ini hanyalah strategi politik PKS menjelang 2024. Lalu, jika benar demikian, strategi apa yang tengah dijalankan PKS? Apa sebenarnya kepentingan dan tujuan strategi ini?
PKS Ditikung Nasdem?
Jika ditelusuri pada berbagai kesempatan sebelumnya, Nasdem memang cenderung menampilkan kedekatan dan dukungan terhadap Anies. Terkait hal ini, banyak pengamat yang menilai bahwa konteks ini jelas terkait dengan Pilpres 2024.
Tentu, yang paling jelas dan menjadi awal sinyal kuatnya ialah saat pertemuan Anies dan Surya Paloh di kantor DPP Partai Nasdem pada penghujung Juli 2019 lalu. Ketika itu, Surya Paloh menilai Anies sebagai salah satu tokoh yang memenuhi kapasitas dan kapabel untuk Pilpres 2024 – plus sejalan dengan arah partai.
Baca Juga: Jokowi Dukung Anies-Puan di 2024?
Meskipun Anies saat itu menyebut akan terlebih dahulu fokus mengurus Jakarta, berbagai dinamika setelahnya tak dapat dipungkiri menunjukkan bahwa sinyal awal tersebut tak sekadar basa-basi politik belaka – termasuk yang tercermin pada dukungan moral Nasdem bagi Anies pada polemik Formula E baru-baru ini.
Menurut pakar politik LIPI, Aisah Putri Budiarti, terdapat dua alasan di balik inisiatif semacam itu, yakni, pertama, mereka agaknya ingin menjalin hubungan politik awal dengan calon-calon potensial untuk memenangkan pemilu sebelum partai besar lainnya merekrut tokoh-tokoh tersebut; dan, kedua, meningkatkan posisi political bid atau daya tawarnya dalam pencalonan, khususnya dalam konteks pilpres bersama partai besar lainnya.
Terkait hal ini Ulla Fionna dan Dirk Tomsa dalam Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical Legacies and Institutional Engineering mengatakan bahwa Nasdem dapat diklasifikasikan sebagai personalistic parties atau partai personalistik karena satu-satunya tujuan mereka yang tampak adalah untuk menjadi kendaraan elektoral bagi ambisi calon presiden dari tokoh-tokoh politik besar.
Di sisi lain, Anies pun terlihat memperlihatkan simbol positif atas “pendekatan” yang dilakukan Nasdem tersebut. Dalam beberapa kesempatan bahkan Anies melemparkan pujian langsung terhadap partai tersebut hal yang dirasa tak pernah ia lakukan kepada PKS.
Lalu, bagaimana seharusnya PKS menyikapi hal ini?
Strategi Survival Politik PKS?
Dari pemaparan di atas, kita bisa menilai bahwa PKS sebagai partai yang selama ini tampak loyal di belakang Anies mungkin sedikit banyak khawatir akan kedekatan sang Gubernur DKI Jakarta tersebut dengan partai Nasdem.
Manuver PKS kali ini yang telah sejak jauh-jauh hari mengklaim akan memajukan Anies dalam Pilpres bisa dimaknai sebagai strategi survival dari partai tersebut. Terkait hal ini, penting bagi PKS sebagai partai oposisi untuk terus menjaga eksistensi mereka agar tetap menjadi top of mind di publik.
Namun, di satu sisi, mereka tentu juga perlu realistis. Walaupun PKS terkenal akan gerakan kolektif yang kuat, mereka masih minim kader populer yang dapat menggebrak atau setidaknya menjaga eksistensi mereka di publik.
Apalagi, belakangan ini, suara PKS sebagai oposisi pemerintah semakin redup dan terkesan kurang signifikan. Tidak hanya karena koalisi pemerintah yang terlampau besar, melainkan juga mungkin akibat kalah bersaing dengan suara oposan atau lantunan kritik lain yang datang dari kanal di luar parpol – seperti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Front Pembela Islam (FPI), dan lain sebagainya
Dalam konteks ini, tujuan yang ingin direngkuh PKS dalam manuver untuk mengusung Anies boleh jadi berada dalam dimensi survival atau keberlangsungan politik mereka sendiri – baik di level daerah maupun proyeksi di level nasional. Langkah ataupun manuver yang dilakukan oleh parpol yang terkait dengan survival politik, disinggung dalam sebuah publikasi peneliti politik dari University of Essex, Britania Raya (Inggris), Roi Zur yang berjudul Party Survival in Parliament: Explaining Party Durability in Lower-House Parliament.
Zur dalam tulisan tersebut menyebutkan istilah distinguished ideological position yang mana ihwal ini cukup penting bagi kesuksesan parpol secara elektoral serta juga merupakan bentuk survival atau mempertahankan eksistensi parpol dalam perpolitikan karena secara khusus merepresentasikan segmen tertentu dengan jelas. Sejauh ini, tampaknya posisi ideologi semacam itulah yang mungkin dianut PKS di balik sokongannya pada Anies selama ini.
Baca Juga: Jokowi Lebih Hebat dari Anies?
Dengan mengusung Anies secara jauh-jauh hari PKS juga berharap akan mendapat coattail effect atau efek ekor jas dari Anies. Di sisi lain, kalaupun nantinya Anies akan berlabuh sebagai kader Partai Nasdem, PKS berharap tetap akan mendapat efek ekor jas yang tinggi karena telah jauh mengusung Anies sejak awal sehingga brand Anies akan tetap melekat ke PKS
Hal yang sama dilakukan Partai Nasdem ketika jauh-jauh hari sebelum Pilpres 2019 digelar – tepatnya pada tahun 2017. Partai yang dipimpin oleh Surya Paloh itu telah mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Jokowi untuk Pilpres 2019 sejak dua tahun sebelumnya.
Seperti yang diketahui, Partai Nasdem merupakan partai pertama yang mendukung presiden Jokowi untuk periode kedua. Hasilnya, menurut data dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Partai Nasdem merupakan partai yang mendapat efek ekor jas tertinggi di antara partai pengusung lainya bahkan diatas PDIP sebagai partai dari Jokowi.
PKS Serius?
Di sisi lain, manuver PKS ini juga bisa dimaknai sebagai sebuah langkah kalkulatif yang telah diperhitungkan sejak awal untuk mengusung Anies dalam Piplres. Terkait hal ini, Burhanudin Muhtadi dalam tesis yang berjudul Dilema PKS: Suara dan Syariah memaparkan bahwa PKS merupakan salah satu partai yang terorganisir rapi dan memiliki agenda politik yang diperhitungkan dengan jelas.
Wacana mengusung Anies ini bisa dilihat sebagai political booster atau piranti penguat dalam dunia politik – seperti yang disebutkan oleh Ken Hyland dalam tulisannya yang berjudul Boosting, Hedging, and the Negotiation of Academic Knowledge. Hyland mengatakan bahwa political booster mengacu pada strategi komunikatif – dalam hal ini digunakan untuk membuat rangkaian pernyataan maupun sikap politik menjadi bertaji atau powerful yang tujuannya agar dapat terartikulasi secara nyata.
Dalam kasus PKS, sikap optimisme atau keyakinan yang diekspresikan melalui keniscayaan mereka dalam mengusung Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 kemungkinan besar memang berperan sebagai booster atau pemacu untuk menunjukkan, serta mengembalikan impresi kekuatan potensial yang mereka miliki.
Anies Baswedan – sebagai satu-satunya sosok di luar pemerintahan yang selalu diperhitungkan dalam setiap survei dan kebetulan belum memiliki afiliasi politik dengan parpol mana pun – tampaknya menjadi sosok yang tidak ingin disia-siakan begitu saja oleh PKS. Terkait hal ini, salah satu pertimbangannya adalah PKS dinilai memiliki potensi besar menjadi partai yang akan berjaya di Pemilu 2024.
Survei Indo Barometer mengenai parpol pilihan publik pada Februari lalu misalnya, melejitkan PKS ke empat besar – padahal pada pemilihan legislatif (Pileg) lalu sendiri hanya ada di peringkat tujuh. Dengan presentase 7,8 persen, PKS berada di bawah PDIP, Gerindra, dan Golkar.
Terlebih, pengamat politik Universitas Padjajaran Muradi mengatakan bahwa PKS bisa “panen” di Pemilu 2024. Dengan konsistensi sebagai partai di luar pemerintahan, PKS punya modal besar mengulang suksesnya buah konsistensi PDIP di periodenya sebelum berkuasa.
Ada tiga hal menurut Muradi yang akan membuat PKS berjaya yaitu political endurance (ketahanan politik), political cost (biaya politik), serta delivery issuei (persoalan penyampaian). Meskipun secara cost dinilai terbatas, endurance PKS telah teruji ketika tidak lolos parlementary treshold (ambang batas) pada 1999 dan bangkit pada pemilu berikutnya. Sementara, dari delivery issue, sebagai partai di luar pemerintahan, PKS dinilai semakin punya banyak “bahan” saat ini sehingga bukan hal yang mustahil jika mereka ingin mengambil peran utama sebagai “pemimpin” dalam mengusung pasangan calon presiden nanti.
Pada akhirnya, menarik untuk melihat kelanjutan kiprah PKS dalam Pemilu 2024 nanti. Akankah dengan strategi ini mereka akan mengambil peran sebagai partai utama yang mengusung Anies Baswedan dalam pilpres Atau sekedar hanya berharap mendapat efek ekor jas dari “hype” Anies demi mempertahankan eksistensi dan strategi survival partai? (A72)
Baca Juga: PKS Rebut Takhta PDIP?