HomeNalar PolitikMenguak Strategi PDIP di Pembakaran Bendera

Menguak Strategi PDIP di Pembakaran Bendera

Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tampaknya berbuntut panjang. Demonstrasi yang memunculkan insiden pembakaran bendera partai membuat PDIP memberikan respons yang terkesan tegas.


PinterPolitik.com

“Unintentional flexin’, tryna send out a message’” – Slim Jxmmi, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Kisah drama memang terkesan tidak ada habisnya. Biasanya, dalam kisah drama yang terjalin di sebuah seri atau film populer, rentetan alur akan selalu bersambung meski satu masalah telah terselesaikan.

Pada akhirnya, masalah-masalah baru akan terus muncul kembali dan menciptakan konflik di antara para tokoh dalam kisah tersebut. Sebuah seri yang berjudul La Casa de Papel atau Money Heist (2017-sekarang) misalnya, terus berlanjut meski kisah perjuangan dalam perampokan Royal Mint of Spain telah suskes dijalankan.

Setelah sejumlah episode berjalan, upaya El Profesor dan teman-teman lainnya berhasil membuahkan kesuksesan yang akhirnya membuat mereka hidup bergelimang harta di berbagai negara lain. Denver misalnya akhirnya memutuskan untuk hidup di Pulau Jawa bersama anak dan istrinya.

Namun, menyusul insiden penangkapan rekannya yang bernama Rio, El Profesor dan kawan-kawan akhirnya kembali terlibat dalam sebuah “drama” perampokan yang baru. Tentunya, konflik-konflik baru antartokoh pun terjadi.

Mungkin, gambaran akan naik dan turunnya sebuah alur cerita di Money Heist ini turut menggambarkan situasi terbaru dari polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Pasalnya, sebelumnya, “konflik” di antara partai politik terkait RUU ini berputar soal polemik tidak dimasukkannya Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 – berhubungan dengan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kemudian, setelah polemik ini menyeruak, polemik lain pun mulai membayangi. Kali ini, kritik datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempersoalkan pemahaman Pancasila yang dipersingkat menjadi Ekasila dan Trisila.

Selanjutnya, bagaikan film seri yang terus bersambung dan tidak ada habisnya, polemik lanjutan mencuat dengan adanya demonstrasi yang dilakukan oleh Presidium Alumni (PA) 212 di sekitar Kompleks Parlemen, Senayan. Sayangnya, “konflik” kali ini semakin menyentuh klimaksnya.

Terjadinya insiden pembakaran bendera partai pada demonstrasi tersebut menuai respons keras dari PDIP. Tidak tanggung-tanggung, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri langsung mengeluarkan surat perintah agar para kader PDIP merapatkan barisan dan bersiap memproses insiden tersebut secara hukum.

Mengikuti surat perintah tersebut, sejumlah kader akhirnya turut menyuarakan respons yang keras. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo misalnya, langsung meminta para kader bersiap untuk bergerak.

Respons keras PDIP seperti ini bukan tidak mungkin membuat banyak pihak kaget dan bertanya-tanya. Mengapa PDIP merasa perlu memberikan respons tegas sedemikian rupa? Apakah ini berhubungan dengan strategi yang digunakan partai berlambang banteng tersebut?

Baca juga :  Sekolam Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Unjuk Kekuatan?

Seruan dari para petinggi partai agar para kadernya bergerak ini bisa jadi dipahami sebagai upaya PDIP untuk mengerahkan kekuatannya. Sebagai partai besar di Indonesia, bukan tidak mungkin Ketum PDIP Megawati ingin agar PDIP bisa menunjukkan kekuatannya.

Upaya semacam ini biasa dikenal dengan istilah “show of force” – atau “unjuk kekuatan”. Biasanya, strategi yang melibatkan unjuk kekuatan ini dilakukan guna memberikan pesan pada pihak lawan – atau aktor-aktor lainnya.

Show of force dilakukan guna memberikan pesan pada pihak lawan – atau aktor-aktor lainnya. Share on X

Dalam studi perang dan militer, taktik seperti ini kerap digunakan untuk memberitahu lawan bahwa dirinya tidak main-main apabila harus mengerahkan kekuatan yang dimiliki. Biasanya, taktik ini digunakan agar pihak lawan mengurungkan niatnya untuk memberikan perlawanan pada pengguna taktik dan strategi unjuk kekuatan.

Upaya unjuk kekuatan seperti ini sebenarnya kerap digunakan dalam politik dan hubungan antarnegara. Sebuah negara akan menunjukkan kemampuan militernya sebagai upaya deterrence agar negara sasaran menuruti kemauan negara pemberi deterrence, atau mengurungkan niatnya yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara pemberi deterrence.

Dalam studi Hubungan Internasional (HI), terdapat sebuah istilah yang disebut sebagai “gunboat diplomacy” atau “diplomasi kapal perang”. Salah satu diplomasi kapal perang yang paling bersejarah adalah Ekspedisi Perry di Jepang pada tahun 1853.

Kala itu, Jepang merupakan negara yang mengisolasi dirinya dari berbagai kekuatan asing – khususnya negara-negara Barat. Akhirnya, Amerika Serikat (AS) mengirimkan kapal-kapal perangnya yang dipimpin oleh Komodor Matthew C. Perry yang akhirnya membuat panik seantero Jepang. Ini kemudian berujung pada keputusan Jepang untuk membuka perdagangan dengan pihak asing.

Hal ini juga sejalan dengan penggunaan unjuk kekuatan di masa modern. Andrew Scobell dari University of Louisville, Kentucky, dalam tulisannya yang berjudul Show of Force menjelaskan bahwa taktik semacam ini pernah digunakan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap Republik Tiongkok (Taiwan) pada tahun 1995-1996.

Kala itu, Taiwan dianggap semakin menjauh dari kebijakan One-China policy yang digaungkan oleh RRT. Negara Tirai Bambu tersebut akhirnya menggunakan taktik unjuk kekuatan dengan melakukan tes-tes rudal di perairan dekat wilayah Taiwan.

Bukan tidak mungkin, bila berkaca pada apa yang dilakukan AS dan Tiongkok dalam politik internasional, PDIP juga tengah menggunakan taktik serupa dalam politik domestik. Pasalnya, PDIP yang menjadi partai pemenang suara terbanyak pada Pemilu 2019 ini, kini tengah disoroti di tengah polemik RUU HIP..

Namun, pertanyaan lain pun muncul. Bila PDIP merasa perlu menggunakan taktik serupa, untuk siapakah taktik itu diberikan? Peringatan apa yang ingin disampaikan oleh partai berlambang banteng tersebut?

Untuk Siapa?

Boleh jadi, seruan agar kader-kader PDIP bergerak ini bertujuan untuk memberikan deterrence pada PA 212 dan demonstran lainnya yang dianggap telah mengusik PDIP. Pasalnya, PA 212 sendiri merupakan kelompok yang kerap berseberangan dengan PDIP.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Mungkin, PDIP secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan pada penolak RUU HIP bahwa rancangan aturan itu penting baginya. Pasalnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto dikabarkan telah mengakui bahwa PDIP merupakan salah satu pengusul RUU tersebut.

Bisa jadi, dengan menunjukkan kekuatan semacam itu, PDIP ingin para penolaknya menyadari kekuatan yang dimilikinya sehingga aktor-aktor politik lainnya tak bermain-main dengan partai tersebut. Apalagi, PDIP juga menyatakan kekesalannya pada partai-partai lain yang tiba-tiba menolak RUU HIP meski mulanya mendukung.

Namun, di sisi lain, surat perintah Megawati untuk memobilisasi kader-kader PDIP ini juga dapat dipahami sebagai komunikasi politik. Pasalnya, Megawati juga pernah dianggap menggunakan bahasa politik kelas tinggi (high-level political language) guna menyampaikan pesan tertentu.

Bisa jadi, seruan bergerak dari PDIP ini juga dapat menjadi doublespeak dari Megawati dengan memunculkan makna lain di baliknya. Doublespeak sendiri dapat diartikan sebagai penggunaan bahasa dalam sebuah pernyataan atau ucapan yang ditujukan untuk menutupi, mendistorsi, atau mengubah makna sebenarnya.

Dari sini, bukan tidak mungkin upaya unjuk kekuatan dari PDIP ini ditujukan pada aktor politik lain selain PA 212 dan partai-partai politik lainnya, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi pun kerap dianggap mbalelo dan berbeda pandangan dengan PDIP.

Soal RUU HIP misalnya, Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP meski PDIP tampak menjadi partai politik yang ngotot mengusungnya. Bukan tidak mungkin, PDIP secara tidak langsung menyampaikan kepada Jokowi bahwa PDIP tidak ingin keinginannya diganggu.

Meski secara langsung tidak terlihat, adu kekuatan antara PDIP dan Jokowi mulai mengemuka. Soal kebijakan-kebijakan Jokowi di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) misalnya, politisi-politisi PDIP sendiri kerap memberikan kritik.

Apalagi, sebelumnya pernah muncul asumsi bahwa Jokowi tengah menyiapkan poros ketiga guna menghalau pengaruh PDIP yang besar pada Pemilu 2024 nanti. Berhubungan dengan kompetisi di masa mendatang tersebut, bukan tidak mungkin adu kekuatan di antara keduanya kini tengah terjadi.

Siapa tahu ancaman Jokowi soal reshuffle kabinet baru-baru ini juga berhubungan dengan jatah menteri PDIP? Tentu saja, hanya PDIP dan Jokowi saja yang tahu secara pasti jawaban dan kebenaran akan gambaran kemungkinan ini.

Mungkin, seperti lirik rap Rae Sremmurd di awal tulisan, kedua pihak tidak secara sengaja melakukan flexing yang akhirnya menyampaikan pesan bermakna tertentu. Kira-kira, upaya apa lagi yang akan digunakan untuk mengirimkan “pesan” oleh PDIP? Menarik untuk dinanti kelanjutan flexing ini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?