Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan bahwa gelombang protes terkait Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) atau omnibus law disebabkan oleh disinformasi atau hoaks yang tersebar di masyarakat. Apakah pemerintahan Jokowi kini menggunakan strategi ikan haring merah (red herring)?
“Try and talk and they ain’t listenin’ but they’ll point it out when you get ignorant” – Dreezy, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Siapa yang tidak suka dengan film-film kartun seperti yang dibuat oleh Walt Disney Pictures dan Pixar Animation Studios? Film-film animasi yang mereka buat – selain memiliki estetika visual yang baik – juga menyematkan sejumlah pesan-pesan kehidupan yang bermakna.
Salah satu film kartun yang sempat ‘meledak’ pada tahun 2017 yang berjudul Coco (2017), misalnya, merupakan film yang bisa dibilang meninggalkan kesan yang mendalam bagi para penontonnya. Bagaimana tidak? Animasi ini menceritakan perjalanan seorang bocah kecil yang bernama Miguel.
Miguel ini memiliki mimpi untuk menjadi musisi besar suatu hari nanti. Namun, mimpi ini tampaknya tidak sejalan dengan keinginan keluarga yang lebih menekankan pada bisnis produksi sepatu.
Sontak saja, Miguel yang merasa tidak dipahami oleh keluarganya akhirnya melangkah sendiri demi menemukan jati dirinya sebagai musisi – seperti dengan mengunjungi makam musisi yang diidolakannya. Namun, perjalanannya ini mengantarkannya ke tempat yang tidak ia duga dan memunculkan konflik-konflik baru dalam hidupnya.
Meski begitu, di penghujung film, Miguel diperbolehkan mengejar mimpinya di bidang musik. Pasalnya, nenek moyangnya yang melarang keluarganya bermain musik telah memahami bahwa musik bukanlah hal yang salah, melainkan situasi lah yang membuat masa lalu keluarganya memburuk.
Mungkin, upaya menyalahkan hal yang sebenarnya tidak berhubungan langsung seperti di film Coco (2017) ini tengah dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam menanggapi gelombang demonstrasi yang ditujukan untuk menolak Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) – atau biasa dikenal sebagai omnibus law.
Bagaimana tidak? Alih-alih membahas dan mendengarkan hal-hal apa yang dikeluhkan oleh masyarakat, pemerintahan Jokowi tampak berfokus pada asumsi bahwa demonstrasi didasarkan pada disinformasi atau berita bohong (hoaks) yang tersebar.
Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, misalnya, menyebutkan bahwa biang kerok dari kekacauan yang ditimbulkan oleh gelombang protes omnibus law adalah disinformasi yang tersebar di masyarakat. Asumsi yang sejalan juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menuding bahwa demonstrasi beberapa waktu lalu merupakan upaya mobilisasi oleh pihak tertentu.
Tentu, asumsi yang disodorkan oleh pemerintahan Jokowi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa pemerintahan Jokowi menebarkan narasi bahwa ada disinformasi dan penumpang gelap di balik gelombang protes lalu? Strategi apa yang tengah diterapkan?
Straw Man atau Red Herring?
Boleh jadi, asumsi yang diungkapkan ini merupakan bagian dari upaya argumentatif dari pemerintahan Jokowi. Argumen bahwa terdapat disinformasi dan penumpang gelap ini bisa saja muncul sebagai informal fallacy.
Christopher W. Tindale dari University of Windsor dalam bukunya yang berjudul Fallacies and Argument Appraisal menjelaskan bahwa fallacy semacam ini biasa disebut sebagai ignoratio elenchi atau irrelevant conlusion (kesimpulan yang tidak relevan).
Tindale menjelaskan bahwa ignoratio elenchi merupakan salah satu dari 13 jenis fallacy yang pernah disebutkan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Sophistitical Refutation. Inti dari ignoratio elenchi sendiri adalah sebuah label yang disematkan pada sesuatu yang perlu dibuktikan tetapi tidak dibuktikan.
Ignoratio elenchi sendiri biasa digunakan untuk menjelaskan argumen dalam sebuah debat yang tidak membuktikan argumen sebelumnya. Dalam hal ini, proposisi baru yang tidak relevan justru dimunculkan.
Menurut Tindale, ignoratio elenchi sendiri dapat dibagi menjadi sejumlah fallacy yang berbeda berdasarkan karakteristiknya. Beberapa di antaranya adalah manusia jerami (straw man fallacy) dan ikan haring merah (red herring).
Red herring sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan upaya pengalihan perhatian pada ikan haring yang telah dibakar (berubah warna menjadi merah) agar pihak yang disasar – anjing – tidak lagi fokus mengejar kelinci (hare) yang diinginkan.
Bila manusia jerami dilakukan dengan memberikan distorsi dan upaya melebih-lebihkan (exaggerating) makna dari proposisi awal, red herring lebih menekankan pada adanya penambahan isu baru yang tidak relevan meski masih berada pada topik yang sama. Dalam arti lain, manusia jerami memberikan misrepresentasi terhadap proposisi sedangkan red herring mengalihkan (divert) perhatian.
Penggunaan fallacy berupa manusia jerami ini kerap dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Salah satunya adalah ketika mengkritik Partai Demokrat AS yang menolak kebijakan imigrasi Trump karena persoalan hak asasi manusia (HAM).
Alih-alih berfokus pada persoalan yang dikritisi oleh Partai Demokrat AS, Trump dan Partai Republik malah membuat distorsi straw man dengan membuat klaim yang berlebihan bahwa Partai Demokrat ingin AS menjadi suaka bagi kriminal-kriminal asing.
Selain manusia jerami, Trump juga dinilai pernah menggunakan fallacy ikan haring merah pada tahun 2017. Kala itu, Presiden AS tersebut tengah disoroti terkait koneksi tim kampanyenya dengan Rusia.
Kala itu, alih-alih memberikan penjelasan terkait isu tersebut, Trump malah menyediakan red herring berupa isu penyadapan oleh mantan Presiden Barack Obama terhadap dirinya. Isu ini diangkatnya dari sebuah artikel di situs yang dianggap biasa memberitakan berita konspiratif.
Berkaca pada apa yang dilakukan Trump ini, apakah Jokowi juga menggunakan salah satu fallacy tersebut dalam menanggapi gelombang demonstrasi omnibus law? Lantas, bila benar, apa yang ingin dicapai oleh pemerintahan Jokowi dari fallacy itu?
Berujung Pengalihan?
Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi juga menggunakan salah satu fallacy yang memunculkan proposisi atau kesimpulan yang tidak relevan dengan persoalan awal. Pasalnya, alih-alih membahas permintaan dan tuntutan demonstrasi, pemerintah malah mengungkap persoalan-persoalan lain, seperti disinformasi (hoaks) dan adanya penumpang gelap di balik gelombang demonstrasi omnibus law.
Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, misalnya, menduga akan adanya penumpang gelap yang berasal dari kekuatan negara asing di balik gelombang protes tersebut. Selain isu penumpang gelap, Presiden Jokowi sendiri juga malah menekankan adanya disinformasi daripada membahas poin-poin omnibus law yang dinilai bermasalah.
Bukan tidak mungkin, apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi ini merupakan upaya penggunaan red herring fallacy. Meski masih berada dalam topik yang sama, pemerintah bisa saja menyajikan isu-isu – seperti misteri penumpang gelap dan disinformasi – yang tidak relevan dengan tuntutan demonstran.
Dengan penyajian red herring ini, perhatian demonstran dan publik bisa saja menjadi teralihkan pada isu-isu tersebut. Alhasil, persoalan yang sebenarnya akan mendapatkan perhatian yang lebih sedikit dari yang seharusnya.
Tai-Quan Peng, Guodao Sun, dan Yingcai Wu dalam tulisan mereka yang berjudul Interplay between Public Attention and Public Emotion toward Multiple Social Issues on Twitter menjelaskan bahwa perhatian atas isu-isu sosial yang ada berjalan layaknya zero-sum game theory. Ketika sebuah isu baru dimunculkan, perhatian (attention) publik akan terbagi seiring isu baru menjadi perdebatan.
Selain itu, bukan tidak mungkin adanya pengasosiasian gerakan demonstrasi terhadap penumpang gelap dan disinformasi dapat memunculkan transfer propaganda terhadap kelompok demonstran. Magedah E. Shabo dalam bukunya yang berjudul Techniques of Propaganda and Persuasion menjelaskan bahwa teknik propaganda ini dilakukan dengan menyematkan perasaan dan asosiasi dari suatu gagasan, simbol, atau seseorang terhadap hal lain – baik bersifat positif maupun negatif.
Boleh jadi, penyematan label penumpang gelap akan membuat gerakan demonstrasi menjadi luntur akibat asosiasi dan perasaan negatif yang dimunculkan dari label tersebut. Asosiasi negatif ini bisa saja memengaruhi persepsi publik terhadap para demonstran secara kognitif.
Secara lebih lanjut, penyematan label seperti ini – mengacu pada penjelasan Hans-Peter van den Broek dalam tulisannya yang berjudul Labelling and Legitimization – juga dapat memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang dianggap perlu untuk mendisiplinkan kelompok yang disasar karena dianggap tidak sesuai dengan kerangka normatif masyarakat.
Pada intinya, berkaca dari tulisan-tulisan ini, bukan tidak mungkin red herring yang dimunculkan oleh pemerintahan Jokowi bertujuan untuk mengalihkan perhatian publik pada ikan haring merah yang lebih ‘menyengat’ baunya. Namun, konsekuensi lain seperti pelabelan bisa juga muncul akibat red herring fallacy yang digunakan.
Meski gambaran kemungkinan di atas terdengar masuk akal, pemerintahan Jokowi belum tentu benar-benar secara sengaja menggunakan fallacy tersebut. Yang jelas, polemik disinformasi atas draf RUU Ciptaker ini tidak akan selesai dalam waktu dekat dengan simpang siurnya informasi yang benar. (A43)