Dengarkan artikel ini:
Publik dan media baru-baru ini dibuat heboh dengan pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait konflik Palestina-Israel. Mungkinkah siasat ini diperuntukkan untuk Prabowo Subianto?
“I think the whole world’s addicted to the drama” – will.i.am, “Where Is the Love?” (2003)
Melihat apa yang terjadi di Gaza pasti membuat banyak hati hancur. Bagaimana tidak? Perang berkecamuk tiada hentinya, memakan banyak nyawa anak-anak yang masih begitu belia.
Mungkin, sembari mendengarkan lagu dari Black Eyed Peas yang berjudul “Where Is the Love?” (2003), diri serasa turut mempertanyakan. Mengapa semua ini dibiarkan terjadi? Di mana cinta dan kasih sayang berada?
Dalam lagu itu, Black Eyed Peas membahas bagaimana umat manusia kini kesulitan menciptakan perdamaian. Malahan, yang ada, banyak individu, kelompok, hingga negara lebih memilih untuk merawat konflik dibandingkan merawat pedamaian.
Banyak korban berjatuhan. Banyak bom dijatuhkan. Bahkan, banyak anak-anak menjadi korban. Lirik-lirik lagu ini menjadi pengingat akan gambaran peristiwa-peristiwa yang kini tengah terjadi di Gaza.
Motivasi dan pertanyaan yang sama juga mendasari tindakan dan kebijakan yang diambil oleh para pejabat. Salah satunya adalah Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi.
Pada Jumat (23/2) kemarin, menteri yang memimpin para diplomat Indonesia itu memutuskan untuk berdiri di hadapan para diplomat dan ahli hukum yang berasal dari berbagai negara. Retno memutuskan untuk berdiri di podium yang ada di Den Haag, Belanda, tepatnya di Mahkamah Internasional (ICJ).
Retno menuntut keadilan untuk ditegakkan terhadap Israel yang dianggap telah melakukan kejahatan-kejahatan perang di Gaza. “Harapan ada pada Mahkamah ini karena Mahkamah ini adalah penjaga keadilan,” tegas Retno.
Aksi Retno inipun menuai reaksi positif dari warganet. Banyak dari mereka menganggap apa yang dilakukan sang Menlu merupakan sikap yang tegas dan berani di saat banyak negara cenderung melakukan pembiaran terhadap apa yang terjadi di Gaza, Palestina.
Well, terlepas dari itu, mungkinkah Retno memiliki kepentingan politis di balik manuver-manuver diplomatiknya – tentu selain kepentingan nasional Indonesia yang dibawanya? Mengapa bisa jadi terdapat siasat tertentu?
Retno Merasa Terancam?
Menjadi sifat alamiah manusia untuk menjadi selalu waspada bila ancaman hadir. Dan, bukan tidak mungkin, inipun terjadi dalam dunia politik dan pemerintahan.
Seperti yang selalu banyak orang bilang, politik selalu bicara mengenai sumber. Jabatan juga bisa menjadi sumber.
Mendekati akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), perubahan bisa dibilang sudah berada di depan mata. Pemerintahan baru yang kemungkinan besar akan dipimpin oleh Prabowo Subianto bisa saja memiliki preferensi tersendiri dalam menyusun pemerintahannya.
Setelah hasil hitung cepat (quick count) menunjukkan bahwa pasangan calon nomor urut dua, Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, banyak rumorpun turut beredar. Salah satunya adalah komposisi dari kabinet pemerintahan selanjutnya.
Menariknya, layaknya nama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan nama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, nama Retno tidak disebutkan.
Anggapan seperti ini bisa saja benar. Pasalnya, politik domestik dan politik luar negeri memang saling berkaitan.
Mengacu pada teori dua tingkat permainan (two-level game theory) dari Robert D. Putnam dalam tulisannya yang berjudul “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games”, dua dimensi politik ini, yakni politik domestik dan internasional, menjadi dua tingkatan permainan yang dimainkan bersamaan oleh para pengambil kebijakan.
Misal, publik menginginkan pemerintah Indonesia untuk membela Palestina dalam konflik ini. Maka, tidak mengherankan apabila pemerintahan Jokowi menjalankan kebijakan luar negeri yang mendukung Palestina.
Namun, tidak hanya faktor publik saja yang bermain. Mengacu ke tulisan Aaron David Miller yang berjudul “No Leader Makes Foreign Policy Decisions Without Considering Domestic Politics” di Carnegie Endowment for International Peace, para pemimpin juga membuat kebijakan luar negeri berdasarkan para politisi lain dan juga berdasarkan prioritas-prioritas yang saling berkompetisi.
Bukan tidak mungkin, politik antar-politisi juga bermain dalam kebijakan Retno untuk membela Palestina dengan upaya yang lebih. Kompetisi antar-individu dalam politik bisa turut mempengaruhi.
Apalagi, dalam bocoran yang beredar, nama yang muncul jadi Menlu justru adalah Rosan Roeslani, seorang pengusaha yang pernah menjabat sebagai Duta Besar (Dubes) RI untuk Amerika Serikat (AS) pada tahun 2021-2023.
Bukan Retno, Tapi Rosan?
Mungkin, setelah sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi, menjadi aneh untuk memiliki Menlu lain yang bukan seorang Retno. Bila bocoran yang beredar benar adanya, nama Rosan akan menjadi hal yang unik bagi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI yang sejak tahun 2001 selalu memiliki Menlu yang merupakan diplomat karier, yakni sejak Hassan Wirajuda, Marty Natalegawa, hingga Retno.
Rosan sendiri merupakan seorang pengusaha. Usahanyapun dimulai dan banyak berkecimpung di dunia keuangan (financial). Usahanya bersama Sandiaga Uno yang kini menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), misalnya, bernama Recapital yang dirintis sejak tahun 1996-1997.
Dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, tentu sosok Rosan bukanlah sosok pejabat yang dikenal di kalangan para diplomat. Namun, namanya mulai semakin dikenal di dunia pemerintahan kala dirinya menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada tahun 2015 hingga tahun 2021.
Boleh jadi, nama Rosan mulai terdengar dalam radar Presiden Jokowi di saat-saat ini. Pasalnya, Rosan adalah salah satu sosok yang mendorong agar Indonesia melakukan negosiasi dengan pemerintah AS yang kala itu dipimpin oleh Presiden Donald Trump.
Trump memiliki kebijakan luar negeri yang lebih mementingkan kepentingan AS sendiri. Salah satunya adalah mengurangi kerja sama perdagangan yang dianggap tidak menguntungkan bagi AS secara keuangan.
Pemerintah AS memiliki apa yang disebut sebagai Generalized System of Preferences (GSP) yang memberikan preferensi khusus dalam hal perdagangan dengan negara-negara lain, termasuk dengan Indonesia. Namun, Trump ingin menghilangkan GSP yang dianggap hanya menguntungkan negara lain, termasuk Indonesia yang justru memiliki surplus nilai perdagangan dengan AS.
Boleh jadi, atas kepentingan untuk menjaga kerja sama perdagangan dengan Paman Sam, Rosan akhirnya ditunjuk oleh Jokowi untuk menjabat sebagai Dubes RI untuk AS.
Lantas, mengapa Rosan bisa menjadi pilihan tepat untuk posisi Menlu ke depannya? Jawabannya terletak pada siapa yang akan menang di Pilpres AS 2024 nanti.
Saat ini, nama Presiden Joe Biden tidak memiliki elektabilitas yang tinggi. Banyak pihak memprediksi bahwa Presiden Donald Trump akan memenangkan kontestasi menuju Gedung Putih pada pilpres kali ini.
Bukan tidak mungkin, dengan faktor ini, Rosan bisa menjadi orang yang lebih sesuai. Apalagi, dengan kehadiran Trump yang kerap berfokus pada kebijakan perdagangan, peran apa yang disebut sebagai diplomasi perdagangan (trade diplomacy) oleh Tissa Rajapakse dalam tulisannya yang berjudul “The Evolving Role of Trade Diplomacy in Multilateral Trade Negotiations” bisa saja menjadi lebih signifikan dalam beberapa tahun ke depan.Well, pada akhirnya, pilihan dan pertimbangan untuk sosok pengisi posisi ini kembali berada di tangan presiden selanjutnya. Namun, layaknya lirik lagu Black Eyed Peas di atas, publikpun tertarik dengan drama dan, bukan tidak mungkin, juga dengan drama kursi Menlu ini. (A43)