Sudah puluhan tahun perang antara Israel dan Palestina berlanjut. Sudah puluhan tahun pula masyarakat dunia dibuat sedih oleh kehancuran yang terjadi. Apa yang sebetulnya membuat perang ini meletus pada asal mulanya?
Perang antara Israel dan Palestina semakin mengkhawatirkan.
Laporan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Palestina menyebutkan per tanggal 10 November 2023 total kematian warga Palestina telah menembus angka 11.000. Sementara, di kubu Israel jumlah kematian diperkirakan 1.457 orang.
Memang sangat miris bila kita membahas tentang Perang Israel-Palestina. Sudah puluhan tahun tensi geopolitik ini menelan ribuan korban jiwa tanpa resolusi akhir yang jelas.
Namun, layaknya konflik-konflik lain di dunia, tentu Perang antara Israel dan Palestina juga memiliki akar yang menjadi pemicu dari kehancuran yang terjadi hingga sekarang. Tapi, apa yang kira-kira menjadi “genesis” dari perang Israel-Palestina?
Well, orang punya pandangan yang cukup variatif tentang itu, akan tetapi, ada satu jawaban yang sekiranya bisa kita anggap sebagai asal mula kuat dari perang yang berlanjut tiada henti ini. Jawaban tersebut adalah suatu surat pernyataan tua yang diterbitkan pemerintah Inggris pada tahun 1917, yang bernama “Deklarasi Balfour”.
Yang membuat Deklarasi Balfour lebih menarik lagi, alamat redaksi dari surat pernyataan tersebut bukan ditujukan kepada “pemerintah Palestina” atau entitas negara yang setara dengan pemerintah Inggris, melainkan ke satu orang yang mewakili anggota dari salah satu keluarga paling powerful dalam sejarah, yakni keluarga Rothschild.
Lantas, apa yang membuat Deklarasi Balfour begitu kontroversial? Dan, mengapa deklarasi yang bisa dianggap menjadi akar dari Perang Israel-Palestina ini ditujukan ke Keluarga Rothschild?
Perang Israel-Palestina, Hasil Cawe-cawe Rothschild?
Pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan sebuah pernyataan resmi yang menyatakan dukungan negaranya terhadap kaum Yahudi. Pernyataan tersebut menggarisbawahi hak etnis Yahudi untuk mendirikan suatu entitas yang disebut sebagai “rumah nasional” di wilayah tanah Palestina.
Meskipun bagi sebagian besar orang isi deklarasi ini terdengar biasa saja atau bahkan terhormat serta adil, namun pada kenyataannya, pernyataan dalam deklarasi ini justru menjadi titik awal dari ketegangan antara komunitas Yahudi Israel dengan etnis Arab yang berdiam di Palestina.
Permasalahan utamanya terletak pada ketidakjelasan makna dari istilah “rumah nasional” dalam Deklarasi Balfour yang memiliki banyak penafsiran. Apakah yang dimaksudkan sebenarnya dengan konsep “rumah nasional”? Apakah hanya berupa struktur bangunan atau gedung? Atau mungkin, dalam arti harfiahnya, suatu entitas berbentuk negara?
Karena kerancuan ini, Israel memiliki dasar diplomatis untuk mendirikan negara di Palestina. Banyak pihak menyalahkan pemerintah Inggris atas hal ini. Mereka mengkritik kecenderungan pemerintah Inggris yang terlalu menyederhanakan kompleksitas perbedaan budaya di wilayah Palestina.
Namun, menariknya, pemerintah Inggris sebetulnya tidak dapat kita salahkan secara sepenuhnya. Jika kita mencari pihak yang lebih bertanggung jawab, mungkin telunjuk kita lebih baik diarahkan kepada tokoh yang dituju dalam Deklarasi Balfour, yakni Lionel Walter Rothschild atau Lord Rothschild.
Rothschild bisa menjadi alamat redaksi dari Deklarasi Balfour semata-mata karena dia-lah yang memunculkan ide agar pemerintah Inggris memberikan dukungan diplomatis kepada kaum Yahudi di Palestina. Menurut arsip sejarah Al Jazeera, Rothschild, bersama dengan Zionis asal Rusia, Chaim Weizmann, mulai meformulasikan draft awal Deklarasi Balfour pada awal tahun 1917.
Awalnya, pemerintah Inggris menolak draft yang dibuat Rothschild dan Weizmann. Namun, karena tekanan ekonomi dan politik yang kuat, Menlu Balfour akhirnya setuju untuk membuat deklarasi dengan kata-kata yang lebih normatif.
Sebagai informasi, Rothschild memang memiliki hubungan yang kuat dengan pemerintah Inggris, ia pun pernah menjadi anggota parlemen di Inggris hingga tahun 1910. Dengan tambahan kekuatan ekonomi dan politik keluarganya, Rothschild mampu memberikan tekanan kepada pemerintah Inggris untuk mengeluarkan Deklarasi Balfour.
Setelah Deklarasi Balfour diterbitkan, Walter diketahui menjadi filantropis yang banyak membantu kepentingan Israel. Sementara, Weizmann menjadi presiden pertama negara Zionis tersebut
Dari sini, mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa Walter Rothschild ini begitu ambisius mendirikan Israel? Apakah itu semua untuk kepentingan bisnis pribadi?
Apa Yang Diinginkan Rothschild?
Tema tentang tujuan dari agenda politik keluarga Rothschild selalu menarik, namun sulit untuk memberikan jawaban pasti. Referensi pada biografi Walter Rothschild, seperti yang ditulis oleh Heinrich Ernst Karl Jordan, menyatakan bahwa hal ini sebagian dari upaya filantropi keluarga Rothschild.
Namun, jika kita ingin mengambil sikap yang lebih kritis, jawabannya mungkin terletak dalam dukungan mereka terhadap ideologi Zionisme, yang tampaknya menjadi poin penting bagi keluarga Rothschild. Zionisme, istilah yang muncul pada akhir abad ke-19, bertujuan untuk membentuk sebuah tanah air merdeka bagi bangsa Yahudi, serta untuk menghadirkan solusi terhadap tantangan dan penganiayaan yang selama ini dihadapi umat Yahudi di dunia.
Penting untuk menyadari bahwa sentimen negatif terhadap kaum Yahudi bukanlah hal baru yang hanya muncul dalam satu atau dua abad terakhir. Seiring sejarah umat manusia, kaum Yahudi telah menjadi sasaran perlakuan keras dari berbagai etnis di seluruh dunia.
Bahkan, dua ribu tahun lalu, pada masa kekuasaan Romawi, kaum Yahudi telah mengalami diskriminasi yang parah. Raja Yahudi Judea, seperti Herod, dianggap sebagai “raja boneka” oleh Kaisar Augustus, pemimpin Romawi pertama. Bahkan pada saat itu, Herod terpaksa menahan martabatnya karena Augustus mengharuskan warga Judea untuk menerima nilai-nilai dan norma Romawi.
Yap, pandangan Zionisme adalah pandangan politik hasil akumulasi kebencian yang dirasakan kaum Yahudi selama ribuan tahun.
Dengan latar belakang sejarah ini, tampaknya masuk akal jika keluarga Yahudi yang berpengaruh, seperti Rothschild, merasa perlu “memperjuangkan” balasan atas perlakuan diskriminatif terhadap etnis mereka dalam sejarah. Mungkin saja motif-motif bisnis pribadi turut berperan dalam pembentukan Deklarasi Balfour, namun tak bisa diabaikan bahwa agenda politik keluarga Rothschild secara nyata telah “membuahkan” suaka yang sekarang ditempati oleh ribuan orang Yahudi di Timur Tengah.
Sebagai catatan terakhir, bisa kita asumsikan bahwa konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina mungkin tidak akan terjadi tanpa ambisi politik yang didukung oleh keluarga Rothschild. Oleh karena itu, nampaknya wajar jika kita melihat bahwa keluarga yang sangat berpengaruh ini sesungguhnya berada di inti pusaran konflik yang belum terselesaikan di Palestina (D74)