Tiongkok memprioritaskan sejumlah negara untuk mendapatkan vaksin Covid-19 batch pertama. Di antara delapan negara yang dipilih, enam di antaranya merupakan negara Muslim. Apa kira-kira yang bisa dimaknai dari manuver Beijing tersebut?
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia kurang lebih 10 bulan terakhir memiliki dampak yang luar biasa terhadap aspek-aspek kehidupan manusia. Pagebluk yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok, itu memaksa manusia untuk terbiasa dengan protokol kesehatan seperti mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Terbatasnya ruang gerak selama pandemi juga berdampak pada aspek ekonomi. Akibatnya, banyak negara, baik maju maupun berkembang tak bisa mengelak dari jurang resesi.
Para ahli kesehatan di seluruh dunia kini tengah berlomba-lomba untuk mencari solusi mengakhiri penyebaran virus tersebut. Sejauh ini, vaksin dianggap sebagai solusi terbaik untuk mewujudkan hal tersebut.
Saat ini setidaknya ada lebih dari 200 jenis vaksin yang tengah dikembangkan para ilmuwan dunia. Dua puluh di antaranya sudah memasuki uji klinis tahap 3 atau terakhir.
Tiongkok, negara tempat pertama kali virus tersebut menyebar kini menjadi salah satu yang terdepan dalam pengembangan vaksin. Total negeri Tirai Bambu ini tengah mengembangkan 11 jenis vaksin di mana sembilan di antaranya telah memasuki tahap uji klinis.
Meski hingga kini belum ada satu pun kandidat vaksin yang telah lulus dalam semua rangkaian uji klinis, namun sejumlah negara sudah menyatakan ketertarikannya untuk membeli vaksin dari Tiongkok, termasuk Indonesia.
Merespons banyaknya permintaan, negeri pimpinan Xi Jinping itu pun berjanji akan memasarkan vaksin dengan harga wajar dan tersedia bagi semua negara, terutama negara-negara berkembang.
Baru-baru ini, otoritas Tiongkok membocorkan bahwa pihaknya akan memprioritaskan distribusi vaksin batch pertama kepada Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Peru, Maroko, Turki, Bangladesh, Brasil, dan Indonesia. Negara-negara tersebut memang menjadi tempat uji coba vaksin Tiongkok sejak Juli lalu.
Menariknya, dari delapan negara yang dipriotitaskan Beijing itu, enam di antaranya merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Lantas apa kira-kira yang bisa dimaknai dari manuver Tiongkok tersebut? Adakah maksud-maksud tertentu di balik terpilihnya negara-negara tersebut?
Diplomasi Vaksin
Meski Tiongkok menyebut bahwa daftar prioritas tersebut didasarkan pada negara-negara yang menjadi tempat uji coba vaksin, namun manuver ini rasanya layak untuk ditelisik lebih jauh. Hal ini lantaran sejumlah pihak menuding Tiongkok menggunakan vaksin Covid-19 untuk memperluas pengaruhya dalam skala global.
Sui-Lee Wee dalam tulisannya untuk The New York Times mengatakan bahwa Beijing memanfaatkan prospek penemuan vaksin Covid-19 untuk memperbaiki hubungan dan memperoleh ‘teman’ di wilayah yang dianggap krusial untuk kepentinganya.
Dalam tulisan yang berjudul From Asia to Africa, China Promotes Its Vaccines to Win Friends, Ia mencontohkan akses cepat yang diberikan Tiongkok kepada Filipina dalam pengadaan vaksin merupakan salah satu manuver Beijing dalam kepentingannya di Laut China Selatan (LCS).
Diplomasi vaksin ini nyatanya terbukti efektif. Tak lama berselang setelah Beijing menyatakan akan memprioritaskan permintaan Filipina terhadap vaksin, Manila memutuskan untuk tak bergabung dengan latihan bersama tentara Amerika Serikat (AS) di LCS pada awal Agustus lalu. Padahal selama ini diketahui bahwa Washington adalah sekutu dekat Manila.
Lalu jika memang strategi diplomasi vaksin ini dilakukan Tiongkok untuk memuluskan kepentingannya, kira-kira apa kepentingan Tiongkok memberikan prioritas vaksin kepada negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia?
M. Moniruzzaman dalam tulisannya yang berjudul The Rise of China and Its Implications for the Muslim World berusaha memetakan sejumlah kepentingan Tiongkok dalam beberapa kawasan di dunia. Dalam konteks negara-negara Muslim di Timur Tengah, Moniruzzaman menyebut Beijing berkepentingan untuk mengamankan kerja sama di bidang energi.
Hal ini tak bisa dilepaskan dari prediksi yang menyebut bahwa konsumsi energi Tiongkok akan berlipat ganda pada tahun 2030, menjadi setara dengan investasi senilai US$ 3,7 triliun. Dengan kebutuhan energi sebesar itu, maka menjadi penting bagi Tiongkok untuk menjaga hubungan baik dengan negeri petrodolar seperti UEA dan Bahrain.
Sementara dalam hubungannya dengan Bangladesh, Tiongkok pastilah memiliki kepentingan dalam konteks geopolitik, mengingat negara tersebut berbatasan langsung dengan India, di mana hubungan antara Beijing dan New Delhi memang tidak begitu baik belakangan ini.
Sementara bagi Indonesia, investasi Tiongkok di dalam negeri tak bisa dipungkiri memang tengah berada dalam perkembangan pesat. Sepanjang 2019, tercatat nilai investasi Beijing di Jakarta mencapai US$ 4,7 miliar atau setara Rp 65,8 triliun. Angka ini melonjak dua kali lipat dibandingkan realisasi investasi tahun sebelumnya.
Strategi diplomasi vaksin Tiongkok di Indonesia memang belum menunjukkan dampak yang signifikan. Namun mengingat kerja sama ekonomi di antara kedua negara tergolong intens, maka efek dari manuver tersebut pastinya sedikit banyak akan terasa dalam hal pembangunan proyek-proyek tertentu serta dalam bidang perdagangan ke depannya.
Meski secara umum Tiongkok memiliki kepentingan yang terlihat pragmatis dalam menjalin hubungan dengan negara-negara muslim, namun manuver tersebut bisa saja dilihat sebagai upaya Beijing dalam menghapus dominasi barat, terutama Amerika Serikat (AS) di negara-negara Islam.
Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilization menilai Islam dan Tiongkok merupakan dua peradaban tua yang mengalami asimiliasi budaya selama berabad-abad. Ia kemudian memprediksi menguatnya kedua peradaban tersebut bersama peradaban Hindu (India), Jepang, Budha, Afrika, dan Amerika Latin, akan saling berbenturan atau sebaliknya, akan menyatu menjadi pesaing utama dari dominasi peradaban Barat.
Dari berbagai peradaban tersebut, peradaban Islam dan peradaban Tiongkok, dianggap bisa mewakili peradaban Timur, yang karena sifat asimilatifnya akan bersaing merebut dominasi peradaban Barat. Islam dan Tionghoa, meski berbeda akar kulturalnya, tetapi saling memengaruhi hampir separuh penduduk dunia dan tersebar di berbagai negara dan bangsa. Hal itu minimalnya terlihat dari populasi umat Islam dan komunitas etnis Tionghoa di berbagai negara.
Berangkat dari tesis Huntington tersebut, maka upaya diplomasi vaksin Tiongkok dengan negara-negara mayoritas muslim, bisa saja dilihat sebagai upaya untuk merangkul kekuatan dunia Islam demi melawan dominasi AS, kekuatan terbesar yang bisa dianggap masih menjadi penghalang bagi Beijing untuk menjadi negara superpower.
Namun tak dapat dipungkiri, dinamika politik di negara-negara Muslim sendiri begitu kompleks dan beragam. Terlebih, di beberapa negara-negara tersebut, dominasi AS juga telah mengakar cukup lama. Lantas akankah strategi diplomasi vaksin Tiongkok tersebut akan berhasil?
Butuh Strategi Jangka Panjang?
Moniruzzaman juga memaparkan sejumlah alasan mengapa Tiongkok bisa dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari dunia Islam. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sikap Beijing yang tidak terlalu mencampuri urusan dalam negeri mereka.
Sebaliknya, interaksi dan kerja sama antara Tiongkok dan negara-negara Islam selama ini terjalin melalui kerja sama ekonomi dan pertukaran budaya. Hal inilah yang membuat sebagian negara Muslim melihat Tiongkok sebagai negara adidaya alternatif untuk melawan pengaruh Barat.
Namun tak bisa disangkal pengaruh AS di sejumlah negara Muslim, terutama di kawasan Timur Tengah tidaklah semudah itu dilunturkan. Hal ini lantaran AS telah lama menjadi sekutu penting bagi negara-negara teluk terutama dalam melawan dominasi Iran.
Adanya dilema keamanan kiranya bisa menjadi alasan mengapa pengaruh AS masih akan bertahan, setidak-tidaknya dalam beberapa waktu ke depan[A1] .
Lalu sekalipun strategi diplomasi vaksin Tiongkok memang ampuh untuk menjalin hubungan dengan negara-negara Muslim, namun agaknya manuver tersebut tak bisa diandalkan dalam jangka panjang lantaran vaksin adalah kebutuhan musiman.
Berbeda dengan diplomasi vaksin yang bersifat sementara, manuver yang dilakukan Tiongkok terhadap Turki terkait dana bailout sebesar US$ 1 miliar yang ditawarkan Beijing untuk menstabilkan perekonomian Turki yang bergejolak beberapa waktu lalu memiliki dampak yang lebih signifikan. Sebagian pihak menilai langkah itu berhasil membuat Presiden Recep Tayyip Erdogan tak lagi mengkritik krisis kemanusiaan di Xinjiang.
Namun pada akhirnya kecurigaan yang menyebut bahwa Tiongkok menggunakan vaksin untuk melunturkan pengaruh Barat di negara-negara Muslim hanyalah asumsi teoritis semata. Yang jelas, sebagai salah satu negara terdepan dalam pengembangan vaksin, Tiongkok pasti memiliki peran yang signifikan dalam peta politik global ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.