Site icon PinterPolitik.com

Menguak Permainan Kekuatan di Balik IKN

ikn

ilustrasi IKN (Foto: MNC Media)

Rusia belakangan ini mengatakan akan membantu merealisasikan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Negeri Beruang Putih itu menjadi satu dari sekian negara yang digemborkan akan membantu proyek IKN. Apa kira-kira makna politik sebenarnya di balik janji-janji investasi ini? 


PinterPolitik.com 

Kelanjutan proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim) masih menjadi bahan perbincangan yang menarik untuk dibahas. Tentunya, itu karena lika-liku dinamika IKN tidak hanya berpengaruh pada kelangsungan proyek itu sendiri, tetapi juga bagi Indonesia. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan mega-project ini membutuhkan dana sekitar Rp460 triliun. Angka yang tinggi ini jelas menuntut adanya peran investasi asing yang besar, karena disebutkan Indonesia hanya akan menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 20 persen dari total pembiayaan IKN. 

Setelah mengalami sejumlah gejolak dalam mendapatkan investor untuk IKN, menurut kabar terbaru, Indonesia kini mendapat janji manis dari negara yang saat ini menjadi sorotan dunia, yaitu Rusia. Ya, negeri yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu dikabarkan akan turut membantu pembangunan IKN. 

Diungkapkan oleh Menteri Pengembangan Ekonomi Rusia, Maxim Reshetnikov, setelah bertemu dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi di sela-sela pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Rusia menyebut akan memberi bantuan dari segi pengalaman dan teknologi yang dimilikinya. Sayangnya, belum dijelaskan lagi detailnya akan seperti apa. 

Sontak, kabar ini memantik perbincangan warganet di berbagai media sosial. Tidak sedikit yang menyimpulkan ini adalah upaya Rusia untuk mendapatkan “teman baru” di panggung internasional, karena tidak dipungkiri, mereka saat ini memang tengah mendapatkan tekanan ekonomi dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS), dan memperoleh kecaman dunia. 

Di sisi lain, banyak yang mencurigai motif sebenarnya di balik intensi Rusia. Ada kecurigaan bahwa bantuan yang dibahas dengan Indonesia tidak akan diberikan secara cuma-cuma. Bisa jadi, Rusia menuntut Indonesia untuk membuka hubungan yang lebih mendalam dengan mereka dan menjauhi kubu Barat. 

Well, dugaan-dugaan ini bisa saja benar, tetapi masih ada satu pertanyaan menarik yang jarang dibahas oleh publik namun memiliki peran penting, yakni kenapa kabar tentang janji investor di IKN selalu dijadikan sorotan besar media?  

Dan yang menariknya, mengapa pemerintah lebih sering menggemborkan kabar tentang potensi investasi ketimbang perkembangan teknis dari IKN itu sendiri? 

Nusantara, Ibu Kota Permainan Kekuatan? 

Sejak pertama kali IKN digunjingkan, pemerintah selalu mengapresiasi nama-nama negara dan perusahaan besar yang pernah diajak membahas IKN layaknya upaya endorsement yang kerap kita lihat di akun-akun penjual barang dan jasa online di platform e-commerce

Selain Rusia, pemerintah sempat mempromosikan kabar bahwa IKN telah mendapatkan perhatian dan bantuan dari Uni Emirat Arab (UEA), Jerman, dan Jepang.  

Kemudian, muncul juga pemberitaan tentang ketertarikan individu besar, seperti Elon Musk, pimpinan perusahaan teknologi besar SpaceX dan Tesla yang beberapa waktu lalu sempat disebut “tertarik” berinvestasi di IKN dalam bentuk proyek landasan pesawat super cepat. Padahal, dari sisi Elon Musk atau dari pemberitaan di AS sendiri, sangat jarang ada artikel berita yang membahas hal itu. 

Kembali membandingkannya dengan fenomena endorsement, mungkin kita akan paham kenapa pemerintah perlu melakukan promosi semacam ini. Tetapi, karena IKN adalah sebuah mega-project negara, kita tidak hanya bisa mengandalkan konteks IKN layaknya suatu barang dagangan yang perlu dipromosikan. Ada sesuatu yang lebih penting di balik promosi IKN selain sekadar endorsement

Joseph S. Nye dalam bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics, menjelaskan bahwa di era modern ini, lanskap politik internasional sangat kental menggunakan apa yang disebutnya sebagai soft power atau kekuatan lunak. Ini adalah kemampuan yang dimiliki negara untuk membangun interaksi politik dengan negara lain tanpa perlu menggunakan paksaan atau kekuatan keras (hard power) seperti tenaga militer.  

Soft power ini umumnya berupa hal-hal yang sifatnya mampu menarik perhatian negara lain, sehingga mereka merasa memiliki kepentingan yang sama dengan negara yang memiliki soft power tadi. Umumnya, soft power sering dikaitkan dengan kerja sama dan kebijakan luar negeri yang terjalin. Dengan demikian, IKN pun merupakan salah satu soft power yang dimiliki Indonesia. 

Nye juga menjelaskan, soft power telah berkembang menjadi alat yang sangat powerful dalam politik internasional setelah Perang Dunia 2 dan Perang Dingin karena dapat menawarkan satu sumber daya yang sangat langka akibat peperangan yang selama ratusan tahun dialami umat manusia, yakni kredibilitas. 

Sebagai mega-project yang membutuhkan waktu dan dana yang luar biasanya, kita bisa mengartikan IKN sebagai soft power Indonesia telah menjadi manifestasi komitmen dan kepercayaan yang ingin dibangun Indonesia dengan negara lain. 

Terkait hal ini, Gerardo del Cerro Santamaria dalam tulisannya Megaprojects, Development and Competitiveness, menilai bahwa mega-project belakangan memang telah menjadi tren retorika politik internasional.  

Dalam risetnya, Gerardo menyimpulkan bahwa negara yang menciptakan suatu mega-project bisa dipastikan tidak hanya bertujuan untuk membenahi administrasi atau ketata-kotaan domestiknya, tetapi juga memiliki agenda internasional.  

Salah satunya adalah untuk dijadikan alat soft power demi menarik kerja sama dengan negara lain yang kerap tujuan utamanya justru bukan untuk bersama-sama membangun mega-project itu sendiri, tetapi hal-hal lain yang lolos dari perhatian publik. Contohnya seperti transfer teknologi dan penguatan sistem digital. 

Dengan pandangan ini, bisa kita simpulkan bahwa adalah hal yang keliru bila kita terlalu berkutat di permasalahan teknis IKN. Di balik dana dan waktu fantastis yang dibutuhkan untuk merealisasinya, perlu disadari bahwa ada sebuah permainan kekuatan atau power play politik internasional yang bisa jadi justru memang dijadikan alasan utama kenapa proyek besar itu perlu diciptakan. 

Lantas, jika IKN memang hanya digunakan sebagai panggung power play internasional, bagaimana dampaknya pada kelangsungan proyek itu sendiri? 

Perangkap Power Play 

Tidak seperti negara besar layaknya AS, Indonesia tidak memiliki hard power untuk menekan kebijakan luar negerinya ke dalam kolam kepentingan yang kita sebut sebagai politik internasional.  

Jika kita lihat negeri Paman Sam, tanpa menggunakan banyak basa-basi, mereka bisa menuntut negara lain untuk bertindak sesuatu. Jelas, itu karena mereka memiliki kekuatan ekonomi dan pertahanan yang sangat besar. 

Tiongkok pun bisa menjadi contoh. Dengan menggunakan agenda Belt and Road Initiative (BRI), mereka bisa dengan agresif melakukan pendekatan ke negara-negara lain dan menciptakan relasi ekonomi yang begitu besar. 

Faktor ini menjadi pendorong kuat kenapa Indonesia perlu menggunakan soft power dalam mengeksekusi kepentingan nasionalnya. Namun, melihat bagaimana IKN telah dijadikan alat untuk power play, ada sebuah potensi bahwa ini akan menjadi perangkap yang berbahaya bagi Indonesia. 

Bent Flyvbjerg dalam tulisannya Underestimating Costs in Public Works Projects: Error or Lie?, menyebutkan bantuan yang berasal dari konteks politik internasional dalam mega-project kerap menjadikan proyek tersebut hanya sebagai panggung kontemporer yang fungsinya tidak lain hanya sebagai kampanye di tataran politik internasional.  

Hal ini karena para politisi dan birokrat kerap fokus pada upaya mendapat dukungan politik saja, sementara komitmen dan pelaksanaan pembangunannya itu sendiri kerap diabaikan. 

Bisa disederhanakan, mega-project menurut Flyvbjerg seringkali hanya menjadi agenda yang membuang banyak waktu dan uang. Dan kalau dilihat dari historisnya, apa yang dikatakan Flyvbjerg tidak berlebihan, banyak contoh kasus proyek besar yang kini ditinggalkan. Sebutlah proyek Pelabuhan Hambanthota di Sri Lanka, Ibu Kota Baru Naypidaw di Myanmar, dan Forest City di Malaysia. 

Tentu kabar masuknya kembali Rusia ke proyek IKN bisa kita lihat sebagai hal yang positif. Tetapi di samping itu, perlu ada pandangan baru di publik bahwa janji-janji investasi di IKN bukanlah tujuan utama mengapa proyek itu diciptakan.  

Sederhananya, IKN telah menjadi “bahan obrolan” Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki hard power untuk memulai hubungan yang intensif dengan berbagai negara di dunia.  

Semoga saja, IKN tidak berakhir seperti mega-project gagal yang pernah ada di negara-negara tetangga kita, yang hanya berfungsi sebagai topik pembuka obrolan dengan para pemain besar dunia. (D74) 

Exit mobile version