Alih-alih mengedukasi masyarakat menyoal pilihan politik dan pentingnya partisipasi politik, lembaga ini pada akhirnya bisa jadi menggugurkan kewajiban partai politik yang selama ini menjadi aktor yang seharusnya bertanggung jawab atas edukasi politik terhadap masyarakat
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ada hari minggu kemarin, aktivis pro demokrasi sekaligus mantan juru bicara presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi bersama tiga tokoh lainnya yakni Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih, Ahli hukum tata negara Refli Harun, dan tokoh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Bagdja, menggagas terbentuknya perkumpulan swing voters atau PSV dalam rangka menyambut Pilpres 2019.
Menurut para penggagasnya, PSV dibentuk sebagai respons untuk meningkatkan kualitas demokrasi, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan menekan angka golput serta mengurangi dampak polarisasi atau pengkubuan yang selama ini menjadi ciri khas menjelang Pilpres 2019.
Dengan jumlah swing voters yang diperkirakan mencapai 30 persen pemilih dengan komposisi 19,4 persen belum menentukan pilihan, 9,7 persen menjawab rahasia, dan 1,4 persen menjawab golput, benarkah PSV adalah representasi lembaga demokratis yang terlepas dari kepentingan politik transaksional menjelang Pilpres 2019 ? Dan mungkinkah PSV berhasil mewujudkan peningkatan partisipasi politik masyarakat Indonesia?
PSV, Political Free Agents?
Swing Voters adalah jenis pemilih yang selalu menjadi ceruk suara yang diperebutkan dalam setiap perhelatan pesta demokrasi lima tahunan karena kecenderungan mereka sebagai penentu suara pada detik-detik terakhir pemilu. Di Amerika Serikat misalnya, Sekitar 40 persen pemilih independen ini memegang kekuasaan untuk menentukan hasil pemilu.
Swing voters sering diasosiasikan sebagai pemilih independen dan kecenderungan beberapa tahun ini mengalami peningkatan jumlah di Indonesia.
Samara Klar and Yanna Krupnikov dalam tulisanya Independent Politics: How American Disdain for Parties Leads to Political Inaction membagi pemilih independen dalam dua kelompok. Pertama adalah kelompok independen murni yang sebanyak 25 persen jumlahnya sama sekali tidak tertarik pada politik dan pada pemilu AS 2016 memilih untuk golput. Sementara kelompok satunya disebut independent leaners dengan jumlah sekitar 75 persen memiliki kecenderungan preferensi terhadap partai politik.
Di AS sendiri, sebanyak 46 persen dari golongan independent leaners lebih condong berafiliasi ke partai Demokrat, dan sebesar 32 persen ke Partai Republik.
Menurut Klar dan Krupnikov, pada titik tertentu independent leaners ini juga dapat berperilaku seperti partisan politik. Pada Pilpres AS 2016 misalnya, sebanyak 68 persen dari independent leaners Partai Republik pada akhirnya memilih Donald Trump. Demikian juga sebanyak 65 persen independent leaners Partai Demokrat memilih Hillary Clinton.
Meskipun memiliki perbedaan dalam prioritas politiknya dengan partisan politik – orang yang menjadi pengikut partai politik-, independent leaners ini mampu menuntun banyak orang yang tadinya apatis untuk berpartisipasi dalam politik dan peluang mereka mempengaruhi orang awam untuk menjadi “leaners” cukup besar.
Selain itu, tipe independent leaners yang berpendidikan dan berpengetahuan akan cenderung lebih tertarik pada politik daripada kelompok partisan politik yang lemah.
Namun independent leaners juga memiliki karakteristik berbeda dari partisan. Tipe kelompok ini terkadang merupakan mantan anggota atau partisan partai politik yang biasanya tidak puas dengan dinamika politik melalui partai.
Swing voters sering diasosiasikan sebagai pemilih independen dan kecenderungan beberapa tahun ini mengalami peningkatan jumlah di Indonesia. Share on XDalam konteks pemilu di Indonesia, kehadiran PSV ini bisa jadi merupakan pengejewantahan gerakan politik dari para independent leaners tersebut. Hal ini dipekuat dari latar belakang para pendirinya yang sebagian adalah mantan aktor politik dan orang-orang yang konsen terhadap agenda perubahan politik di Indonesia.
Adhie M. Massardi misalnya, merupakan mantan juru bicara Presiden ke 4 RI Abdurrahman Wahid. Ia juga dikenal sebagai kritikus pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sering menuangkannya dalam bentuk tulisan dan puisi.
Demi memperjuangkan idealismenya, wartawan senior ini juga memiliki historis bergabung di gerakan Komite Bangkit Indonesia dan Gerakan Indonesia Bersih yang pernah digagas ekonom dan politisi Rizal Ramli.
Mas @AdhieMassardi meluncurkan PSV Indonesia, Perkumpulan Swing Voters pertama di Indonesia, tujuannya agar swing voters bisa diarahkan. Nah bila tujuan Perkumpulan ini berhasil artinya swing voters di Indonesia adalah swing voters pertama di dunia yang bisa diarahkan #Hensat
— hendri satrio (@satriohendri) October 15, 2018
Selain itu juga terdapat Refly Harun yakni seorang ahli hukum tata negara dan pengamat politik Indonesia. Ia pernah ditunjuk oleh Mahfud MD sebagai Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi.
Ada juga sosok Yenti Garnasih yang merupakan seorang Dosen hukum pidana Universitas Trisakti dan dikenal sebagai Doktor bidang pencucian uang pertama di Indonesia. Terakhir, ada mantan Ketua PBNU Ahmad Bagja.
Bisa diasumsikan bahwa terbentuknya Perkumpulan Swing Voters ini adalah perwujudan dari adanya political free agent yang bebas dari afiliasi politik kubu manapun karena lembaga ini lahir dari keprihatinan para independent leaners tentang kondisi politik yang tak memberikan edukasi terhadap pemilih.
Lalu seberapa efektif PSV akan menekan angka golput menjelang Pilpres 2019? Dan bagaimana bargaining position lembaga ini terhadap dinamika politik nasional yang sedang karut-marut ini?
Ilusi Merebut Hati Swing Voters
Di Amerika Serikat, tingginya angka golput menyebabkan sejumlah kelompok pada akhirnya mengambil tindakan untuk mendongkrak partisipasi politik masyarakatnya. Salah satunya adalah organisasi nirlaba bernama My Faith Votes yang didirikan oleh kelompok independen yang bekerja memobilisasi orang-orang Kristen di gereja-gereja, di kampus-kampus dan di tempat kerja untuk memberikan hak suara mereka di setiap pemilihan dengan memanfaatkan teknologi mutakhir untuk menjangkau pemilih agama.
Gerakan tersebut lahir dari adanya keprihatinan bahwa sebanyak 35 juta dari 90 juta umat Kristen evangelis Amerika memutuskan untuk tidak memilih menjelang pemilu AS 2016. My Faith Votes bekerja meningkatkan partisipasi pemilih dengan cara memberikan kemudahan akses bagi para pemilih untuk mendaftar serta hal-hal lain secara teknis.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Gerakan ini mampu mendorong sebanyak 85 persen Kristen Evangelis Amerika akhirnya benar-benar memilih, 44 persen lebih tinggi dari rata-rata partisipasi nasional.
Upaya serupa nampaknya juga menjadi konsen PSV dalam menanggapi tingginya angka swing voters di Indonesia. Dari data yang dimiliki PSV, disebut bahwa angka swing voters mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Indonesia butuh orang-orang dgn image kuat, jejam rekam bersih, & sertakan argumentasi logis utk promosikan (hal positif & yg msh jd kelemahan kandidat2 capres & cawapres 2019—utk bs memengaruhi swing voters. Gimana pun, mayoritas dari kita calon pemilih msh demikian adanya.IMHO
— Aisyah Hilal (@AisyahHilal) October 21, 2018
Dimulai dari 7,3 persen pada Pemilu 1999, 15,9 persen pada Pemilu 2004, 21,8 persen pada Pilpres putaran I tahun 2005, dan 23,4 persen pada Pilpres putaran II tahun 2005. Sedangkan pada Pileg 2009 terdapat 29,3 persen golput, sebanyak 28,3 persen pada Pilpres 2009, 24,8 persen pada Pileg 2014, dan 29,1 persen pada Pilpres 2014.
Menurut PSV, kondisi tersebut terjadi karena masyarakat tidak sepenuhnya memahami tingkah laku para politisi partai. Dan kini menjelang Pilpres 2019, masyarakat harus dihadapkan pada realitas terjadinya sikap saling ejek antara dua kubu pasangan calon yang akan bertarung. Faktor tersebut yang pada akhirnya membuat swing voters muak dan enggan menentukan pilihan.
Namun seberapa efektifkah peran PSV dalam mendongkrak partisipasi politik swing voters? Apakah ia akan seberhasil My Faith Votes di Amerika?
Melihat realitas politik Indonesia, nampaknya usaha tersebut membutuhkan upaya yang cukup besar dan waktu yang panjang. Hal tersebut tidak terlepas perbedaan budaya politik dan karakter demografi pemilih yang sangat berbeda dengan pemilih di AS.
Menurut Lembaga Survei KedaiKOPI, jumlah swing voters yang dapat dipengaruhi oleh PSV hanya berkisar 5 persen, karena karakter pemilih ini yang cukup sulit dipengaruhi oleh kelompok lain terkait preferensi pilihanya.
Bahkan, hasil survei terbaru Alvara Research Center terkait pemilih dari generasi milenial menunjukkan bahwa generasi ini rada cuek dengan politik dan bukan tidak mungkin pemilih milenial enggan menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019 nanti. Dari survei tersebut, hanya sebesar 22 persen generasi millenial yang menyukai pemberitaan politik.
Sementara sisanya, mereka yang berusia 21 hingga 35 tahun tersebut lebih menyukai pemberitaan lifestyle, musik, teknologi dan film. Tentu kondisi tersebut bukan perkara mudah bagi PSV dalam upaya mendorong sense of politics para swing voters.
Di sisi lain, jika ditelaah, cita-cita PSV memang sangat visioner. Namun setidaknya dalam konteks demokrasi di Indonesia, kehadiran PSV bisa jadi malah menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi, kehadiran lembaga ini adalah secercah harapan bagi edukasi politik di tengah kondisi masyarakat kita yang mengalami political illiteracy.
Namun di sisi lain, alih-alih mengedukasi masyarakat menyoal pilihan politik dan pentingnya partisipasi politik, bisa jadi partai politik tertentu akan diuntungkan dari gerakan ini.
Alih-alih mengedukasi masyarakat menyoal pilihan politik dan pentingnya partisipasi politik, bisa jadi partai politik tertentu akan diuntungkan dari gerakan ini. Share on XLembaga ini pada akhirnya bisa jadi menggugurkan kewajiban partai politik yang selama ini menjadi aktor yang seharusnya bertanggung jawab atas edukasi politik terhadap masyarakat.
Padahal, tingginya angka golput merupakan ekspresi kemuakan masyarakat terhadap ketidakbecusan partai politik dalam melakukan edukasi politik. Seharusnya, dalam konteks menuju Pilpres 2019, partai-partai politik yang berkewajiban memperbaiki gaya kampanye dan visi misi serta melakukan pendekatan lebih massif kepada swing voters.
Jika di biarkan begitu, partai politik tidak akan berbenah terhadap kesalahan yang mereka perbuat terhadap masyarakat. Secara tidak langsung, kualitas partai politik sebagai representasi kepentingan rakyat akan terus mengalami degradasi dan tentu saja justru membahayakan demokrasi. Lalu masihkah Perkumpulan Swing Voters penting? (M39)