Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus menyoroti ancaman krisis pangan global yang dapat berdampak pada Indonesia. Jika terjadi, itu dinilai dapat memantik masalah sosial dan politik. Namun, isu krisis pangan dinilai hanya bagian dari skenario demi kepentingan tertentu. Benarkah demikian?
Krisis pangan bisa saja memantik masalah sosial dan politik. Begitu kira-kira yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara yang dihadiri para menteri pada hari Selasa, 6 November kemarin lusa.
Kepala negara lantas memerintahkan agar para menteri berhati-hati dan melakukan kalkulasi cermat dalam merumuskan kebijakan mengenai pangan.
Adapun penekanan Presiden Jokowi itu jelas bukan datang dari ruang hampa. Probabilitas paling masuk akal agaknya dipicu oleh kontradiksi pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) dengan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Belum lama ini, dua awak Kabinet Indonesia Maju seolah tidak kompak dalam menyikapi urusan beras. Awalnya, Mendag Zulhas mengatakan cadangan beras pemerintah telah menipis. Oleh karena itu, pihaknya tengah bersiap melakukan impor untuk menghindari kenaikan harga.
Akan tetapi, Mentan SYL merespons dengan bersikeras menyebut bahwa Indonesia sedang tidak kekurangan beras dan tak perlu melakukan impor.
Politikus Partai NasDem itu bahkan menganalogikan impor beras dengan membeli baju.
“Kau kalau sudah punya baju, harus beli baju lagi? Untuk apa? Kecuali kalau mau gaya,” begitu sanggahan Mentan SYL yang seolah membantah dengan satir narasi impor beras Mendag Zulhas.
Dia mengklaim produksi beras di tahun 2022 ini adalah yang terbesar sebagaimana data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Tak hanya data BPS, kolega Mentan SYL di Ragunan yang juga Koordinator Data Evaluasi dan Pelaporan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Batara Siagian pun mendukung statement sang “komandan”.
Berdasarkan data yang ada, sebanyak 610.632 ton beras di penggilingan yang tersebar di 24 provinsi siap diserap Bulog untuk memenuhi cadangan beras pemerintah maupun komersial.
Namun, kontradiksi itu seolah cukup sengit saat kembali merujuk pada pernyataan Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) pada Rabu, 23 November lalu.
Menurut mantan Kabareskrim Polri itu, rencana impor telah direstui oleh para menteri yang menjadi stakeholder urusan beras dalam rapat koordinasi terbatas (Rakortas).
Intrik pendapat di level tertinggi pemerintahan mengenai hajat hidup mendasar rakyat Indonesia itu tentu janggal. Lantas, mengapa kontradiksi itu dapat terjadi? Mungkinkah ada kepentingan tertentu dari klaim masing-masing pihak?
Ekonomi-Politik Pangan?
Keterkaitan antara diskursus mengenai politik dan pangan, terutama makanan pokok, tampaknya mustahil dipisahkan. Sejak menjadi urusan vital atas hajat hidup setiap orang, penciptaan ketahanan pangan oleh pemerintah dipengaruhi oleh dinamika politik yang ada dan bermuara pada kompleksitas dan urgensi isu itu sendiri.
Peringatan dan kekhawatiran krisis pangan Presiden Jokowi yang dikatakan dapat memantik masalah sosial dan politik kiranya merupakan refleksi masa lalu, yang mana itu dapat sekaligus menjadi acuan untuk memahami konstruksi secara umum mengapa pangan menjadi salah satu aspek determinan dalam politik.
Jika ditelaah substansinya, pangan memang selalu memiliki fungsi simbolis. Hal itu selaras dengan yang dikemukakan oleh Alison Perelman dalam disertasinya Political Appetites.
Perelman berangkat dari teori strukturasi Anthony Giddens tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis struktur dan agen.
Pada intinya, pangan atau utamanya makanan pokok, sebagai kebutuhan dasar memiliki kaitan erat dengan selera dan konsumsi yang mencerminkan identitas individu dan sosial.
Ihwal yang kemudian dikenal sebagai pola konsumsi itu kemudian memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas bersama, serta struktur yang kemudian terbentuk dari interaksi identitas tersebut.
Esensi tersebut berkembang hingga peradaban masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya. Interaksi identitas pada konteks pangan itu disebut Perelman bertransformasi menjadi simbol komunikasi politik.
Salah satu sampel konkretnya tampak tercermin dari realita yang terjadi di negara-negara Asia Barat dan Afrika bagian Utara. Bahkan sebelum Arab Spring, roti sebagai makanan pokok telah menjadi simbol atau variabel spesifik ketika terjadi gejolak sosial dan politik.
Lebih fundamental lagi, ajaran Konfusius juga menyebut kecukupan makanan sebagai satu dari tiga hal pokok yang perlu diperhatikan oleh seorang raja demi stabilitas pemerintahannya, selain kepercayaan rakyat dan tentara yang kuat.
Khusus pada diskursus mengenai food security atau ketahanan pangan saat ini, agaknya tidak bisa diabaikan sedikitpun, khususnya di tengah krisis multidimensi seperti Pandemi Covid-19.
Terlebih, proyeksi ketersediaan beras sebagai makanan pokok kerap menjadi kesimpulan dan peringatan yang “kurang menyenangkan” dari analisa para pakar.
International Rice Research Institute (IRRI), juga sempat mempublikasikan policy brief-nya, yang berjudul Safeguarding Food System in Southeast Asia Amid Covid-19, yang kembali menjadi pengingat akan ancaman kerentanan pangan di kawasan Asia Tenggara.
IRRI memprediksi terjadinya kerawanan pangan dalam jangka panjang di Filipina dan Indonesia. Ketahanan pangan terancam karena mata rantai pasokan beras, khususnya impor mengalami gangguan serius.
Negara-negara eksportir beras, seperti Vietnam dan Thailand, kesulitan memasok beras karena ada persoalan di dalam negeri maupun di sisi perdagangan antar negara.
Namun demikian, permasalahan beras saat ini kiranya tak hanya dipantik oleh persoalan itu saja. Mengacu pada sejumlah variabel, terdapat faktor “mencurigakan” lain yang agaknya memperburuk konteks ketersediaan beras dan intrik Mendag Zulhas dan Mentan SYL. Apakah itu?
Krisis Pangan Hanya Retorika?
Dalam publikasinya di New Mandala yang berjudul Indonesia’s rice racket, Colum Graham menjabarkan bagaimana beras memang menjadi variabel dalam perpolitikan di Indonesia bahkan dalam konteks politik level tertinggi.
Naik-turunnya harga hingga ketersediaan beras sejak era mantan Presiden Soeharto yang memang berkorelasi erat dengan dinamika dan intrik politik yang sedang terjadi.
Terdapat hubungan khusus antara kekuatan politik elite dan para rice trader atau para “pedagang” beras yang mendefinisikan stok dan stabilitas harga makanan pokok negeri +62.
Sementara itu, C. Peter Timmer dalam jurnal berjudul Food Security in Indonesia: Current Challenges and the Long-Run Outlook menjelaskan bahwa ketahanan pangan selalu menjadi masalah emosional, karena kelaparan kronis, kekurangan pangan lokal, dan lonjakan harga pangan yang tiba-tiba semuanya menggerakkan sentimen publik untuk “melakukan sesuatu”.
Ketahanan pangan dikatakan sebagai sebuah konsep yang abstrak namun tetap kuat secara emosional tentang apa yang diinginkan publik sehubungan dengan masalah ini.
Bagaimanapun definisinya, Timmer menyebut ketahanan pangan yang berkorelasi dengan “bom waktu” aspek minor tata kelola pangan domestik Indonesia jika impor beras tidak dikurangi atau dilarang sama sekali, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat umum bahwa negara ini entah bagaimana kehilangan pijakan dalam upaya jangka panjangnya untuk mempertahankan pertumbuhan produksi beras lebih cepat daripada sebelumnya permintaan dalam negeri.
Retorika politik kemudian disebut cenderung mendukung harga beras yang lebih tinggi.
Partai politik (parpol) di Indonesia, seperti di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang, bersaing untuk mendapatkan dukungan petani atas nama ketahanan pangan dan pendapatan yang lebih tinggi untuk pertanian keluarga. Biaya persaingan ini sangat menghebohkan bagi konsumen, pembayar pajak, atau keduanya.
Akan tetapi, terdapat momentum ketika parpol dan para elite merubah haluan kepentingan mengenai urusan beras saat “waktunya tiba”, terutama kebijakan impor yang kontradiktif dengan para petani.
Lektor Kepala bidang Ilmu Politik di National University of Singapore Jamie S. Davidson dalam Why rice self-sufficiency has such a grip on the Indonesian public imagination menyiratkan diskursus impor terkadang bagai pisau bermata dua bagi politisi.
Mengambil case sebelum Pilpres 2019 lalu, Davidson mengatakan kubu calon presiden (capres) Prabowo Subianto mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014 sebagai pengimpor beras terbesar sejak rezim Orde Baru.
Menariknya, Davidson mengamati bahwa tidak ada pejabat di pemerintahan Jokowi yang membantah “tuduhan” yang menjurus pada unsur-unsur dalam pemerintahan Jokowi diuntungkan secara finansial dari impor beras.
Penelitian dan analisis dari Graham, Timmer, dan Davidson itu kiranya dapat mengurai intrik Mentan SYL dan Mendag Zulhas yang sampai memantik peringatan dari Presiden Jokowi.
Di titik ini, diharapkan krisis pangan tidak benar-benar terjadi dan pemerintah tak lagi disibukkan oleh perdebatan tak perlu. Tata ulang pendataan ketersediaan beras yang akurat dan berkelanjutan diharapkan dapat terwujud dan diiringi dukungan terhadap infrastruktur pangan yang begitu kompleks. (J61)