Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu bertemu dengan mantan Perdana Menteri (PM) Britania Raya (Inggris) Tony Blair dan membahas pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Mengapa peran Tony Blair bisa jadi penting di balik pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan?
Sebagai seorang Presiden, bertemu dengan para tamunya yang berasal dari negara-negara asing merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi). Pada akhir Januari 2022 lalu, misalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong guna membahas sejumlah isu dan kerja sama bilateral.
Wajar apabila pembahasan yang dilakukan terjadi seputar topik-topik yang berhubungan dengan diplomasi di antara dua negara tersebut. Namun, bagaimana bila pertemuan ini dilakukan antara seorang Presiden dan mantan kepala pemerintahan?
Tentu, mereka bisa saja melakukan diskusi mengenai isu-isu global yang sedang berlangsung. Siapa tahu bila Presiden perlu juga bertukar pikiran dengan mantan pemimpin negara lain perihal persoalan global seperti dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19?
Namun, uniknya, pertemuan antara Jokowi dan mantan PM Britania Raya (Inggris) Tony Blair justru bisa dibilang unik. Alih-alih membahas isu global secara khusus, mereka tampaknya lebih berfokus pada persoalan dalam negeri Indonesia – terutama pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Pembahasan bersama Blair soal pembangunan IKN Nusantara ini tentu bukan tanpa alasan. Mantan PM Britania Raya tersebut dipilih oleh pemerintahan Jokowi untuk menjadi salah satu dewan pengarah dalam pembangunan IKN Nusantara – selain Putra Mahkota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Mohamed bin Zayed (MBZ) dan CEO Softbank Masayoshi Son.
Meski begitu, sosok Blair bukanlah figur asing di mata masyarakat internasional. Mantan pemimpin Partai Buruh di Britania Raya tersebut dikenal dengan sejumlah kebijakan luar negerinya yang penuh kontroversi saat menjabat sebagai PM.
Salah satu kebijakan luar negeri dari pemerintahannya adalah keterlibatan Britania Raya dalam Invasi Irak pada tahun 2003 silam. Kala itu, bersama Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush, Blair memutuskan untuk melancarkan invasi ke Irak yang saat itu dipimpin oleh Saddam Hussein.
Blair dan Bush memiliki justifikasi tertentu, yakni dugaan bahwa pemerintahan Saddam Hussein di Irak tengah membangun senjata pemusnah massal. Namun, faktanya, keberadaan senjata tersebut tidak ditemukan.
Dengan kontroversi masa lalu ini, publik Indonesia pun bertanya-tanya. Mengapa Presiden Jokowi malah menggandeng Blair sebagai salah satu dewan pengarah bagi pembangunan IKN yang menjadi warisan yang diimpikan oleh pemerintahannya? Lantas, apa peran yang sebenarnya dimainkan oleh Blair dalam pembangunan proyek ambisius ini?
Jejak Blair Menuju Tampuk Kekuasaan
Seperti yang telah disebutkan di atas, Blair merupakan sosok PM Britania Raya yang cukup kontroversial. Persoalan Invasi Irak pada tahun 2003 silam, misalnya, menjadi salah satu noda besar dalam pemerintahannya.
Terlepas dari kebijakan luar negerinya yang problematik tersebut, Blair juga dikenal dengan kebijakan domestiknya yang berbeda dari PM Britania Raya lainnya. Salah satunya adalah konsep jalan ketiga (Third Way) yang diambil Blair – yakni dengan mempertemukan dua spektrum politik berseberangan antara sayap kanan dan sayap kiri.
Jalan ketiga ini dilaksanakannya dengan melakukan sejumlah reformasi sosial yang populer di masyarakat Britania Raya. Namun, di saat yang sama, Blair juga tetap mempertahankan sejumlah aturan bersayap kanan yang diberlakukan oleh pemerintahan Margaret Thatcher di masa lalu – sebuah masa yang dianggap mimpi buruk oleh kelompok sayap kiri dan buruh.
Meski Blair menjalankan politik jalan ketiga, mantan PM Britania Raya tersebut tidak senantiasa selalu berpikir untuk mengadopsi nilai-nilai politik sayap kanan. Ketika masih muda, Blair malah mengaku bahwa dirinya dulu terinspirasi oleh pemikiran kiri ala Leon Trotsky (Trotskyisme) yang mengusung revolusi permanen dari kalangan buruh.
Nilai-nilai pemikiran kiri inilah yang mungkin membantu Blair menemukan cintanya, Cherie Booth. Bahkan, Blair sendiri mengaku bahwa Cherie memiliki cara pandang yang jauh lebih kiri dibandingkan dirinya.
Pertemuan Blair dengan Booth pun tidak terjadi secara tiba-tiba. Blair memiliki latar belakang personal dan keluarga yang berisikan para pengacara dan hakim.
Ayahnya, Leo Blair, merupakan seorang advokat dan dosen hukum di Durham University. Saudara laki-lakinya yang bernama Sir William Blair juga akhirnya menjadi.
Blair sendiri merupakan seorang advokat Lincoln’s Inn – di mana dia bertemu dengan Booth. Perjalanannya untuk belajar hukum ini juga mengantarkannya bertemu dengan teman mahasiswanya, Peter Thomson, yang disebut mempengaruhi pemikiran Blair untuk menggunakan pendekatan agama dalam politik kiri.
Namun, cara pandang kiri Blair yang ekstrem ini berubah ketika dirinya bertemu dengan seorang mahasiswa pascasarjana asal India. Blair pun akhirnya sadar bahwa dirinya perlu merangkul kelompok-kelompok lain.
Di tengah perjalanan karier politiknya di Partai Buruh, Blair juga membangun persahabatan dengan politikus Partai Buruh yang kemudian juga menjadi PM setelah Blair lengser. Brown disebut Blair menjadi sosok yang berjasa dalam mengajarinya banyak hal, seperti cara menulis pidato yang baik.
Bahkan, kedekatan Blair dan Brown ini berujung pada Pakta Granita di antara keduanya. Pakta ini berisikan bahwa Brown tidak akan maju sebagai pemimpin partai dan mempersilakan Blair untuk terlebih dahulu maju.
Bisa jadi, lika-liku perjalanannya untuk menjadi PM Britania Raya ini membuat Blair menjadi lebih dikenal di kalangan yang lebih luas, termasuk untuk membangun koneksinya di tingkat internasional. Mungkinkah koneksi internasional inilah yang membuat Blair memiliki modal yang cocok untuk menjadi dewan pengarah di pembangunan IKN Nusantara?
Menguak Peran Blair di IKN
Menariknya, setelah tidak lagi menjabat PM pada tahun 2007, Blair mendirikan sebuah lembaga konsultan yang bernama Tony Blair Associates (TBA). Lembaga ini menjual jasa untuk memberikan nasihat dan saran strategis dalam hal politik, ekonomi, dan pemerintahan.
Bisnis yang dibangun oleh Blair ini membuatnya dirinya mampu bekerja dengan pemerintah-pemerintah negara lain. Salah satunya adalah pemerintah Kazakhstan yang mendapatkan sejumlah nasihat strategis dalam kebijakan hukum, politik, dan ekonomi.
Bukan tidak mungkin, melalui TBA, Blair mampu membangun jejaring relasi sosial di berbagai negara. Pada tahun 2014, TBA juga mulai membuka bisnis di Timur Tengah dengan mendirikan kantor di Abu Dhabi, UEA.
Namun, koneksi bisnisnya yang ada di Timur Tengah ini membuat Blair semakin disoroti. Pasalnya, mantan PM Britania Raya tersebut juga memiliki peran diplomatik sebagai utusan khusus untuk kawasan tersebut.
Selain itu, saran dan nasihat strategis yang diberikan Blair melalui TBA kepada pemerintah-pemerintah asing juga menimbulkan polemik. Kerja samanya dengan Presiden Kazakhstan Nursultan Nazabayev, misalnya, mendapatkan sorotan karena dianggap membantu pemerintahan tersebut untuk menutupi rapor buruk dalam perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Tidak hanya itu, laporan keuangan TBA yang tertutup disebut semakin menguatkan dugaan-dugaan ini. Blair sendiri tidak bersedia membuka informasi tersebut agar dapat menjaga rahasia para kliennya yang merupakan pemerintah di negara-negara asing.
Jaringan bisnis luar negeri ini bisa saja menjadi modal Blair untuk bisa terlibat di IKN Nusantara. Bagaimana pun, bila mengacu pada Kimberly Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital, modal sosial – berupa relasi yang terbangun – bisa menjadi modal yang menjanjikan dalam mempengaruhi dinamika politik.
Menariknya lagi, meskipun TBA telah bubar sejak tahun 2016, jaringan global yang dimiliki oleh Blair tetap saja memunculkan sejumlah teori konspirasi tentang dirinya. Salah satunya adalah teori yang menyebutkan bahwa Blair merupakan bagian dari kelompok kabal Yahudi.
Terlepas dari benar tidaknya teori-teori konspirasi tersebut, relasi Blair yang luas bisa jadi memang dibutuhkan oleh pemerintahan Jokowi. Apalagi, proyek ambisius IKN Nusantara juga merupakan proyek yang bergantung pada investasi dari banyak pihak asing dengan biaya yang sangat besar, yakni sekitar Rp501 triliun – yang mana 20 persennya akan mengambil dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, dengan pengalaman Blair sebagai penasihat yang penuh dengan kontroversi, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi perlu memberikan transparansi soal peran Blair dan pembangunan IKN Nusantara secara keseluruhan. Lagipula, IKN Nusantara merupakan warisan yang penting bagi Indonesia secara keseluruhannya – baik masa kini atau tahun-tahun mendatang. (A43)