Jika benar untuk tujuan keamanan, mengapa Pakistan yang notabene warganya paling sering melakukan teror di Amerika Serikat, tidak ikut diberi sanksi?
pinterpolitik.com – Senin, 30 Januari 2017.
Bukan Donald Trump jika hari-harinya tidak diwarnani kontroversi. Pada Jumat, 27 Januari 2017, Trump mengesahkan sebuah kebijakan eksekutif yang melarang warga dari beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk masuk ke Amerika Serikat (AS). Kebijakan yang berjudul ‘Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry into the United States’ atau yang populer dengan sebutan ‘Muslim Ban’ ini ditandatangani Trump dengan tujuan untuk membatasi masuknya gerakan Islam radikal ke negera tersebut – aturan yang oleh banyak pihak masih dipertanyakan relevansinya terhadap upaya preventif mencegah terorisme. Muslim Ban menambah daftar larangan masuk bagi pendatang yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat selama hampir 200 tahun.
Dalam pidatonya Trump mengatakan bahwa pemerintah hanya akan menerima orang-orang yang ‘mendukung Amerika Serikat dan secara dalam mencintai warga negara Amerika Serikat’. “We only want to admit those to our country who will support our country and love deeply our people,” demikian isi pidato Trump, ditemani oleh Wakil Presiden Mike Pence yang terus mengangguk sepanjang pidato tersebut. Kebijakan Muslim Ban ini berisi penangguhan program penerimaan pengungsi (U.S. Refugee Admission Program/ USRAP) selama 120 hari, serta memberlakukan larangan masuk bagi warga 6 negara (Irak, Iran, Somalia, Sudan, Libia, dan Yaman) untuk kurun waktu 90 hari, sementara satu negara lain, yakni Suriah, diberlakukan pelarangan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Protes bermunculan di mana-mana
Kebijakan ini menuai protes dari masyarakat Amerika Serikat sendiri. Demonstrasi dan aksi solidaritas terjadi di banyak wilayah di negara tersebut. Beberapa Senator bahkan ikut terlibat dalam aksi protes tersebut, misalnya Senator Elisabeth Warren (Partai Demokrat) berorasi bersama masyarakat di Boston, sementara Senator Cory Booker (Partai Demokrat) berorasi bersama masyarakat di New Jersey. Para pemrotes menganggap kebijakan Trump ini sebagai hal yang kejam dan tidak mencerminkan identitas Amerika Serikat sebagai negara yang menghormati kebebasan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Tidak heran jika angka ketidaksetujuan atau protes terhadap kebijakan Trump sudah terjadi hanya 8 hari sejak dirinya dilantik.
Protes juga terjadi di bandara dan pintu masuk Amerika Serikat. Di bandara John F. Kennedy, New York, ratusan orang melakukan protes terhadap kebijakan Trump ini. Selain melarang warga negara dari 7 negara tersebut untuk masuk ke Amerika Serikat, kebijakan ini juga berdampak pada para pemegang green card atau warga negara dari 7 negara tersebut yang sudah mendapatkan permanent residence atau status penduduk tetap. Beberapa orang bahkan sempat ditahan oleh otoritas di bandara walaupun menunjukkan green card.
Kabar terbaru, para Jaksa Agung dari 16 negara bagian di Amerika Serikat mengecam kebijakan Trump ini dan mereka bersepakat untuk melawan trump. Negara-negara bagian tersebut antara lain: New York, California, Pennsylvania, Washington, Massachusetts, Hawaii, Virginia, Oregon, Connecticut, Vermont, Illinois, New Mexico, Iowa, Maine, Maryland dan Washington, D.C. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 130 juta orang, ke-16 negara bagian tersebut jelas memiliki kekuatan untuk menekan Trump.
Protes-protes ini menyebabkan popularitas Trump terus menurun. Bahkan, Gallup Corporate, sebuah lembaga analisis di Amerika Serikat, mencatat angka ketidakpuasan terhadap Trump sudah mencapai angka 50% hanya dalam waktu 8 hari. Bandingkan dengan pendahulunya, George W. Bush misalnya yang butuh 3 tahun untuk mencapai persentase ketidakpuasan yang sama, Ronald Reagan butuh 727 hari, Bush senior butuh 1336 hari, Clinton 573 hari, dan Obama butuh 936 hari.
Days until achieving MAJORITY disapproval from @Gallup
Reagan: 727
Bush I: 1336
Clinton: 573
Bush II: 1205
Obama: 936Trump: 8. days. pic.twitter.com/kv2fy0Qsbp
— Will Jordan (@williamjordann) January 29, 2017
Hal ini tentu mengindikasikan penurunan popularitas yang signifikan yang dialami oleh Trump. Jika hal ini terus terjadi, bisa jadi ketidakpuasan terhadap Trump akan terus dan terus terjadi. Jika melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan sedang direncanakan oleh Trump, bisa dipastikan bahwa popularitasnya benar-benar akan terus merosot. Sebelumnya Trump juga merencanakan penguatan tembok perbatasan di antara Amerika Serikat dan Meksiko, serta membatalkan kerja sama perdagangan Trans-Pasifik.
Trump: Islamophobia atau business oriented?
Muslim Ban menguatkan fakta bahwa Trump benar-benar serius dengan Islamophobia yang selalu disebut-sebutnya selama masa kampanye. Persoalannya adalah apakah benar ketujuh negara tersebut adalah yang selama ini memberikan ancaman terbesar untuk keamanan dalam negeri Amerika Serikat? Apakah benar dengan melarang warga dari 7 negara tersebut, keamanan nasional Amerika Serikat akan meningkat? Apakah benar kebijakan ini semata-mata dilatari alasan Islamophobia?
Agaknya hal ini sedikit meragukan. Faktanya, sejak tahun 1975 sampai tahun 2015, tidak ada satupun teror fatal yang dilakukan oleh warga dari ketujuh negara tersebut di Amerika Serikat. Bahkan, Cato Institute – sebuah think tank libertarian di Washington D.C. – mencatat bahwa tak ada satu pun warga Amerika Serikat yang meninggal akibat ancaman teror dari warga negara-negara tersebut yang terjadi di wilayah Amerika Serikat.
Penembakan di San Bernadino menewaskan 14 orang misalnya, dilakukan oleh seorang warga negara kelahiran Amerika Serikat keturunan Pakistan. Penembakan klub malam di Orlando yang menewaskan 49 orang dilakukan oleh warga negara kelahiran Amerika Serikat keturunan Afganistan. Bom Boston dilakukan oleh seorang keturunan Kyrgyzstan. Penembakan anggota marinir di Tennessee dilakukan oleh seorang keturunan campuran Palestina dan Yordania. Tak ada satupun orang yang berhubungan dengan 7 negara yang terkena Muslim Ban.
Lalu, pertanyaannya: apa sebenarnya yang diinginkan oleh Trump? Jika tujuannya adalah untuk menciptakan keamanan dalam negeri, tunggu dulu, bukannya para pelaku teror yang selama ini terjadi di Amerika Serikat kebanyakan orang Pakistan. Lalu, mengapa Pakistan tidak ada di dalam list negara yang terkena Muslim Ban? Apakah Trump memang benar-benar Islamophobia? Atau jangan-jangan ada kepentingan bisnis di sana?
Who knows, dengan ketujuh negara tersebut, Amerika Serikat mungkin tidak mempunyai hubungan ekonomi, malah beberapa negara seperti Yaman justru mendapatkan sanksi perdagangan dari Amerika Serikat. Kalau seandainya Trump benar-benar ingin agar teror tidak lagi terjadi di Amerika Serikat, mengapa ia tidak berani memberikan Muslim Ban juga untuk Pakistan, Afganistan, atau bahkan Arab Saudi dan Indonesia? Atau jangan-jangan ia takut proyek-proyek bisnisnya di negara-negara tersebut terbengkelai?
Dengan Pakistan misalnya, Amerika Serikat memiliki kerja sama militer yang besar dan bernilai miliaran dollar. Pada tahun 2015, pemerintah Pakistan menghabiskan U$ 1,43 miliar dollar untuk membeli 18 pesawat tempur dari Amerika Serikat. Jumlah itu belum termasuk pembelian misil, senjata tempur, dan perlengkapan militer lainnya. Bandingkan dengan Yaman yang malah dikenakan sanksi ekonomi oleh pemerintahan Amerika Serikat, atau Somalia, Suriah, Irak dan Sudan yang penuh dengan konflik, serta Iran yang memang anti-Barat. Dengan demikian, tentu secara gamblang bisa dilihat komparasi ekonomis dari Muslim Ban ini. Jika benar untuk tujuan keamanan, mengapa Pakistan yang notabene warganya paling sering melakukan teror di Amerika Serikat, tidak ikut diberi sanksi?
Bukan saja aneh, kebijakan Trump ini juga ditakutkan akan semakin membenarkan klaim ISIS terhadap negara Barat sebagai negara anti Islam. Kebijakan ini justru akan menjadi bumerang bagi Amerika Serikat. Dengan melarang warga muslim dari negara-negara tersebut, Trump dengan sendirinya membenarkan klaim ISIS tentang perlakuan Barat yang anti-Islam. Kebijakan Trump ini secara tidak langsung memperparah konflik global yang saat ini terjadi.
Kepentingan politis dan cenderung ekonomis sangat nyata terlihat dari kebijakan Muslim Ban ini. Secara politis, Trump tentu tidak ingin dicap lip service lewat program-program anti-muslim yang digembar-gemborkannya saat kampanye. Namun, kebijakan politisnya ini terasa sangat ekonomis karena hanya berlaku untuk negara-negara yang tidak punya hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat. Iran misalnya puluhan tahun terkena sanksi ekonomi dari Amerika Serikat, artinya tidak ada dampak sama sekali untuk Amerika Serikat dengan menjatuhkan sanksi ini. Hal ini menjadi fenomena yang aneh, tetapi sekaligus juga menjadi tanda tanya besar: apakah Trump – seperti halnya para presiden Republikan lainnya – cenderung mencari keuntungan ekonomis dari konflik? Kita tentu tahu atau pernah mendengar soal industri militer dan segala yang berhubungan dengannya, yang tidak bisa hidup tanpa adanya konflik dan perang. Nah, kalau untuk hal ini, perlu ada kajian mendalam lagi yang harus dibuat.
Muslim Ban: sebuah paradoks
Muslim Ban yang diputuskan Trump merupakan sebuah paradoks: bertujuan untuk mencegah teror, tetapi cenderung tidak tepat sasaran. Paradoks karena hanya akan melahirkan gelombang baru Islam radikal yang semakin anti-barat. Paradoks karena bertentangan dengan semangat dalam konstitusi Amerika Serikat. Paradoks karena bertentangan dengan semangat kebebasan dan inti kepribadian Amerika Serikat sebagai negara bagi para pencari kebebasan, imigran, dan orang-orang yang tidak punya rumah.
Tentang inti diri Amerika Serikat itu, Emma Lazarus (1849-1887) – seorang penyair dan pujangga – menulis sebuah sajak yang menjadi semangat kebebasan Amerika Serikat. Sajak bersejarah yang ditulis pada tahun 1883 itu saat ini terpatri dalam sebuah plakat di patung Liberty, New York. Begini bunyi syair tersebut:
“Give me your tired, your poor, Your huddled masses yearning to breathe free, The wretched refuse of your teeming shore. Send these, the homeless, tempest-tost to me, I lift my lamp beside the golden door!”
Amerika Serikat, seperti semangat dalam patung Liberty, adalah negara untuk orang-orang terjajah yang mencari kebebasan, untuk orang-orang yang tertindas yang mencari keadilan, untuk orang-orang yang tidak punya rumah yang mencari perlindungan, dan untuk orang-orang yang berlindung dari badai. Itu jugalah semangat yang membentuk negara tersebut. Maka, seperti sosok seorang perempuan yang berdiri dengan lampu di depan pintu emas – pintu menuju kehidupan yang lebih baik, ia akan mempersilahkan siapa pun untuk datang ke tempatnya. Muslim Ban Trump ini merusak semangat kebebasan, merusak semangat patung Liberty, dan merusak sajak Emma Lazarus. Muslim Ban Trump – untuk motif apa pun itu – adalah paradoks untuk kepribadian Amerika Serikat.
Terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat mungkin merupakan kisah inspirasional bagi Frauke Petry, seorang nasionalis-konservatif yang anti imigran dari partai Alternative for Germany (AfD) di Jerman, atau bagi Geert Wilders dari Freedom Party yang anti-Islam di Belanda. Namun demikian, kisah Trump ini bisa melahirkan gelombang baru dalam politik internasional. Immanuel Wallerstein pernah mengemukakan pemikirannya tentang kebangkitan negara-negara tepi atau negara-negara marjinal dalam Teori Sistem Dunia.
Mungkin tesis tersebut mulai menunjukkan wajahnya: negara-negara di Asia Pasifik mulai perlahan banyak yang meninggalkan Amerika Serikat. Filipina mulai dekat dengan Tiongkok, Jepang bahkan mulai menggalang kekuatan sendiri di kawasan Asia-Pasifik. Negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Indonesia juga sudah mulai mendekat ke Tiongkok. Kebijakan-kebijakan Trump akan mulai berdampak bukan hanya bagi masyarakat Amerika Serikat Sendiri, tetapi juga terhadap dunia internasional. Jika Trump benar-benar menerapkan proteksi ekonomi, maka akan semakin banyak negara yang berkubu ke tempat lain, dalam hal ini Tiongkok atau Rusia. Ditambah dengan goyahnya Uni Eropa, maka Muslim Ban ini hanya akan menjadi jalan masuk kepada pergolakan baru dalam politik Internasional. Kapan hal itu akan terjadi? Mungkin kita perlu memikirkannya sambil ngopi-ngopi sore. (S13)