HomeNalar PolitikMenguak Manuver Terawan di KKI

Menguak Manuver Terawan di KKI

Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto kembali dihantui kontroversi akibat polemik Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan sejumlah asosiasi profesi kedokteran lainnya mengkritik pilihan anggota KKI baru yang dilantik Jokowi.


PinterPolitik.com

“The beef is bubblin’, it’s no discussion” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Para penggemar musik rap dan hip-hop pasti sudah tidak asing lagi dengan nama-nama penyanyi rap (rapper) besar asal Amerika Serikat (AS) seperti Eminem, JAY Z, Drake, Kanye West, dan sebagainya. Mereka bisa dibilang merupakan nama-nama yang kerap mengisi tangga lagu di genre musik ini.

Namun, nama-nama mereka juga kerap mengisi berita-berita hiburan di AS. Pasalnya, tidak jarang persaingan turut mengisi hubungan antar-penyanyi rap ini.

Salah satu pertengkaran populer yang beberapa waktu lalu mencuat ke publik terjadi antara Drake dan Kanye West. Suami Kim Kardashian yang sempat mengklaim akan menjadi calon presiden AS di tahun 2020 itu disebut-sebut merasa terancam dengan kemampuan dan popularitas Drake.

Meski kerap saling sindir, Drake dan Kanye tidak selamanya selalu bermusuhan. Pada tahun 2016, misalnya, mereka berkolaborasi untuk memproduksi sebuah lagu yang berjudul “Pop Style” bersama JAY Z.

Bahkan, Kanye sendiri sempat mengatakan bahwa ia ingin selalu mendukung karier sesama artis, khususnya Drake. Bahkan, mereka sempat akan membuat sebuah album bersama. Namun, takdir berkata lain dan hubungan keduanya memburuk pada tahun 2018.

Mungkin, apa yang terjadi antara Drake dan Kanye ini mirip juga dengan hubungan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agung Putranto dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pasalnya, setelah beberapa kali adu pendapat – seperti terkait metode “cuci otak”, keduanya juga sempat menyatakan damai pada tahun 2019 lalu.

Namun, tidak berselang setahun, polemik di antaranya kini kembali terjadi. Kali ini, kontroversi mencuat akibat adanya dugaan bahwa rekomendasi anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang baru dari IDI dan asosiasi kesehatan lainnya tidak digubris oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Bahkan, anggota baru KKI yang terpilih untuk periode 2020-2025 disebut-sebut berasal dari rekomendasi Terawan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beralasan bahwa nama-nama yang diusung oleh IDI dan organisasi-organisasi lainnya dianggap tidak lolos berdasarkan persyaratan yang ada.

IDI dan organisasi-organisasi profesi kesehatan pun melayangkan protes kepada pemerintahan Jokowi. Bagi mereka, sulit untuk menjalankan koordinasi dengan KKI apabila nama-nama yang dipilih bukanlah orang-orang yang mereka kenal.

Tentu saja, polemik ini pun menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat. Mengapa polemik KKI antara Terawan dan IDI ini dapat terjadi? Lantas, adakah alasan politik di balik polemik ini?

Politik Regulasi Kesehatan

Polemik yang terjadi terkait anggota KKI ini bisa saja dapat memengaruhi dunia kedokteran Indonesia. Pasalnya, organisasi otonom yang bertanggung jawab kepada presiden ini memiliki wewenang yang cukup luas.

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"

Kewenangan dari lembaga otonom ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Setidaknya, KKI memiliki kewenangan dalam menentukan standar pendidikan dan lisensi kedokteran di Indonesia.

Bukan tidak mungkin, apa yang diatur oleh KKI ini menjadi penting dalam regulasi medis. Namun, dinamika politik ternyata juga dapat memengaruhi kewenangan tersebut.

Dinamika politik dalam regulasi medis ini turut dijelaskan oleh Brian Salter dari University of East Anglia dalam tulisannya yang berjudul Medical Regulation. Dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa politik kekuatan di dunia medis banyak berada pada lingkup akses dan regulasi pengetahuan kedokteran.

Kontrol akan sumber pengetahuan medis ini – seperti penelitian, pendidikan, dan kinerja – bukan tidak mungkin bersinggungan dengan lingkungan ekonomi dan politik. Negosiasi dengan lingkungan ini dapat menciptakan otonomi ekonomi dan politik.

Salter pun mencontohkan negosiasi politik di regulasi medis ini dengan sebuah polemik kedokteran yang terjadi di Inggris pada tahun 1998-1999. Negosiasi politik ini berakar dari kesalahan-kesalahan yang diduga dilakukan beberapa dokter – hingga mendapatkan perhatian publik dan media.

Alhasil, pemerintah dan kalangan profesi medis Inggris menuntut sejumlah reformasi terhadap General Medical Council (GMC). Beberapa hal yang dianggap perlu untuk diatur adalah validasi, sertifikasi, birokrasi klinis, audit medis dan klinis, pelaporan insiden, dan kepastian kualitas.

Apa yang terjadi pada GMC ini berkaitan dengan kontrol pengetahuan akan dunia medis. Bukan tidak mungkin, polemik yang terjadi antara Terawan dan IDI di KKI merupakan upaya negosiasi dan perebutan lingkup politik di regulasi medis.

Mungkin, negosiasi ini terjadi dalam lingkup penelitian medis. Pasalnya, Terawan dan IDI pernah terlibat beda pendapat terkait polemik metode “cuci otak” beberapa tahun lalu.

Hal ini bisa jadi benar karena ada anggota baru KKI yang merupakan pendukung dari metode yang diprakarsai oleh Terawan tersebut. Nama tersebut adalah Bachtiar Murtala yang mengaku dimintai oleh Kemenkes untuk menjadi anggota KKI periode 2020-2025.

Namun, pertanyaan lain juga bisa timbul. Terlepas dari perbedaan metode medis tersebut, apakah mungkin ada alasan politik di balik polemik KKI ini?

Ancaman Krisis Dokter?

Bukan tidak mungkin, dinamika politik turut melandasi polemik KKI. Pasalnya, pemerintah sendiri berencana untuk menjalankan kebijakan tertentu terkait regulasi kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini.

Salah satu rencana kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah adalah untuk memudahkan perizinan bagi dokter asing. Wacana ini sempat diusulkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang dipimpin oleh Luhut Binsar Pandjaitan.

Alasan mereka adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Pasalnya, masih banyak orang Indonesia yang memutuskan untuk bepergian ke luar negeri untuk berobat.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Selain itu, dokter asing ini dianggap krusial dalam rencana pemerintah untuk mengembangkan wisata medis sehingga mereka yang berasal dari negara lain dapat berobat di Indonesia. Layaknya industri, pemerintah juga berharap agar transfer pengetahuan (knowledge transfer) dapat terjadi di dunia medis.

Namun, rencana ini mendapatkan penolakan dari IDI. Organisasi profesi kedokteran ini menganggap Indonesia telah memiliki cukup sumber daya manusia di dunia kedokteran.

Bisa jadi, manuver Terawan di polemik KKI ini bertujuan untuk melancarkan rencana pemerintah tersebut. Pasalnya, lembaga otonom itu juga berwenang dalam menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter-dokter yang merupakan warga negara asing.

Sebenarnya, kehadiran dokter asing dalam kalangan kedokteran di suatu negara bukanlah hal asing. Amerika Serikat (AS), misalnya, menjadi salah satu negara yang memperbolehkan dokter imigran untuk praktik di wilayahnya.

Hampir 29 persen dokter di negara Paman Sam bukanlah individu yang lahir di wilayah AS. Tidak hanya dokter, sebesar 22 persen perawat dan 38 persen tenaga medis lainnya juga bukan kelahiran AS.

Bahkan, otoritas imigrasi AS (USCIS) juga mulai meringankan pembatasan visa untuk dokter asing di tengah pandemi Covid-19. Mereka ditempatkan di komunitas yang tengah kesulitan menghadapi virus ini.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia juga tengah membutuh dokter asing?

Bisa jadi, pemerintah kini merasa perlu untuk mendatangkan dokter-dokter asing yang cakap di bidang tertentu. Pasalnya, banyak dokter senior Indonesia – sebagian juga merupakan ahli yang jumlahnya sedikit – gugur dalam menghadapi Covid-19.

Salah satunya adalah dr. Sulis Bayusentono, M. Kes, SpOT. Beliau merupakan salah satu dari sedikit dokter Indonesia yang ahli di bidang orthopedi. Apalagi, jumlah dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan mengalami penurunan di tahun 2019. Bukan tidak mungkin, kondisi-kondisi seperti ini mendasari pentingnya kehadiran dokter asing di Indonesia.

Mungkin, manuver yang Terawan lakukan terkait KKI bisa jadi merupakan upaya negosiasi politik guna mendapatkan kontrol atas lembaga otonom kedokteran tersebut. Apalagi, IDI sendiri juga menyatakan sikap menolak terhadap rencana Luhut untuk mendatangkan dokter asing.

Lagi pula, seperti apa yang dijelaskan oleh Jan Zielonka dalam tulisannya di Open Democracy, dokter memang merupakan profesi yang penting dalam penanganan pandemi terkini. Namun, asumsi ini tidak menjadi penghalang untuk tetap mempertanyakan tekanan politik dan ekonomi yang ada di belakang para pengemban profesi itu.

Meski begitu, gambaran kemungkinan yang dijelaskan di tulisan ini belum tentu benar menjadi dasar atau alasan akan manuver politik Terawan di kisruh KKI. Hal yang terlihat kini adalah negosiasi politik yang ada di balik polemik ini, entah kepentingan apa yang melandasi negosiasi ini. (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

More Stories

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?