Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Seruan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada TNI dan Polri agar tidak mengintimidasi rakyat agaknya terkait dengan asumsi dan persepsi keberpihakan di Pemilu dan PIlpres 2024. Namun, jika ditarik urutan peristiwa dan maknanya, seruan itu kiranya tak dapat dilepaskan dari khazanah “relasi” angkatan bersenjata dengan politik dan kekuasaan di Indonesia.
Jelang kian dekatnya Pemilu dan Pilpres 2024, narasi dan isu persinggungan di antara angkatan bersenjata serta aparat penegak hukum dengan politik dan kekuasaan agaknya terasa lebih panas.
Terbaru, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-33 dan ke-35 Jenderal TNI (Purn.) Dudung Abdurachman dan Jenderal TNI Maruli Simanjuntak kompak menampik arah netralitas TNI yang dipekikkan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri pada Sabtu, 4 Februari lalu.
Dalam agenda kampanye akbar Ganjar-Mahfud di Jakarta tersebut, Megawati awalnya menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi bangsa.
Menurut Megawati, kekuasaan justru digunakan untuk mengintimidasi sesama rakyat Indonesia. Padahal, lanjut Presiden ke-5 RI, rakyat mempunyai hak yang sama di dalam konstitusi.
“Ingat, hei polisi jangan lagi intimidasi rakyatku. Hei tentara jangan lagi intimidasi rakyatku. PDI Perjuangan adalah partai sah di republik ini artinya diizinkan untuk mengikuti yang namanya Pemilu, Pemilihan umum langsung adalah hak rakyat bukan kepunyaan kalian, ingat,” begitu transkrip pekikan Megawati dengan suara berapi-api.
Jika Dudung yang kini telah bergabung dengan TKN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 menyebut pernyataan Megawati tendensius, Jenderal Maruli tampak menanggapi dengan santai.
Dirinya berkomitmen akan menindaklanjuti jika ada laporan intimidasi tanpa pandang bulu.
Selain itu, menantu Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan itu menyebut pihaknya sudah cukup tegas dalam merespons prajurit yang bermasalah atau melanggar aturan terkait Pemilu 2024.
Menariknya, Jenderal Maruli mengungkit kasus Sorong. saat viral dokumen pakta integritas antara Pj. Bupati Sorong Yan Piet Mosso dengan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Barat Brigjen TNI Tahan Sopian Parulian untuk memenangkan Ganjar di Pilpres 2024.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Bahaya Geber Politik Knalpot Brong Hasto?, telah dijelaskan betapa berbahayanya framing yang dikaitkan dengan kekerasan dan mengarah pada penafsiran bahwa TNI, maupun Polri, tak netral di Pemilu dan Pilpres 2024.
Dan saat seruan larangan dengan frasa “intimidasi” muncul dan Megawati, kembali memahami interaksi militer serta kepolisian dengan politik dan kekuasaan kiranya menjadi penting. Mengapa demikian?
Mustahil Profesional?
Dalam publikasi berjudul The Army and Politics in Indonesia, Harold Crouch menyebut bahwa sejak awal, angkatan bersenjata Indonesia memang tak dibekali dan memiliki nilai-nilai militer yang profesional.
Kondisi itu dipantik oleh sejumlah faktor seperti peran, konsesi, dan kontribusi militer, termasuk kepolisian, yang berkelindan dengan politik kekuasaan sejak era kemerdekaan, selama Orde Lama, serta Orde Baru.
Itu kiranya membuat batasan-batasan posisi serta fungsi TNI-Polri dengan politik dan kekuasaan cukup rancu dalam dimensi tertentu, bahkan hingga saat ini.
Akar persoalan itu sendiri disebutkan oleh Bono Budi Priambodo dalam Alasan mengapa dwifungsi ABRI masih relevan bagi demokrasi Indonesia.
Diilhami oleh konsep broad front yang dicetuskan oleh Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution, disebutkan ada gagasan bahwa terdapat partisipasi militer di luar persoalan pertahanan dan keamanan.
Hal itu tak lain terkait paradigma untuk terlibat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan negara secara keseluruhan.
Namun, gagasan tersebut tidak serta merta membuat militer harus terjun aktif ke dalam politik. Menurut Bono, konsep tersebut menegaskan bahwa militer Indonesia tidak akan memainkan peran politik langsung guna mencegahnya menjadi alat politik untuk merebut kekuasaan.
Kendati militer – dan mungkin juga kepolisian – Indonesia yang berkarakteristik pretorian lebih cenderung berpolitik, impresi dimasukinya peran-peran non-TNI dan Polri kiranya lebih diakibatkan oleh ketidakstabilan sistem dan kegagalan para aktor dalam menjamin ditaatinya norma dan proses politik.
Dengan kata lain, terkecuali yang negatif dan bersifat transaksional, militer dan kepolisian seyogianya tidak akan mencampuri urusan politik atau meluaskan peran-peran di luar koridornya jika sistem “dianggap” berfungsi baik.
Megawati Harusnya Tau?
Berada di tengah proses politik, pernyataan Megawati mengenai larangan intimidasi rakyat oleh TNI-Polri kemungkinan besar memang bertendensi politis.
Padahal, jika diurai kembali sejarahnya, karier politik Megawati hingga bisa berada di posisi saat ini tak dapat dilepaskan dari peran dan simbiosis dengan aktor-aktor di militer dan kepolisian, baik di era Orde Baru maupun pasca Reformasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagaimana dikuak Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru, Mayjen TNI A.M. Hendropriyono saat menjabat sebagai Pangdam Jaya terkesan melakukan “pembiaran” Musyawarah Nasional (Munas) penetapan Megawati sebagai Ketum PDI di Kemang, Jakarta Selatan pada Desember 1993.
Sampel satu mata rantai peristiwa itu disebut-sebut memperkuat posisi politik Megawati. Bahkan semakin kuat, seiring melemahnya kekuasaan Soeharto hingga tumbangnya sang Smiling General pada tahun 1998.
Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, Megawati pun dianggap turut berkontribusi signifikan bagi langgengnya soliditas di antara kekuasaan dan kepolisian. Utamanya sejak terdapat nama mantan ajudan Megawati, Jenderal Pol (Purn.) Budi Gunawan di BIN.
Secara praktik, intimidasi aparat pun memang kerap eksis. Baik yang sifatnya spontanitas maupun yang tampak dilakukan dengan tujuan tertentu. Termasuk dalam konteks nonpolitik, seperti dalam konflik agraria yang terjadi di sejumlah daerah misalnya.
Bagaimanapun, pernyataan Megawati mengenai larangan intimidasi aparat dan netralitas mereka memang seharusnya menjadi perhatian serius dan wajib untuk diaktualisasikan.
Akan tetapi, satu hal yang harus dihindari adalah jika pernyataan itu digaungkan hanya saat para aktor politik membutuhkan atau kehilangan kepentingan tertentu yang dianggap terkait dengan instrumen penggerak seperti TNI maupun Polri. (J61)