Selaku lembaga yang didirikan agar kasus Bank Century tidak terulang kembali, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menjadi sorotan publik perihal kasus Jiwasraya yang bahkan disebut mengalami kerugian yang ditaksir hampir dua kali lipat dibandingkan kasus Bank Century. Di tengah berbagai sorotan tersebut, terdapat celetukan yang mempertanyakan masihkah lembaga independen ini patut untuk dipertahankan?
PinterPolitik.com
“OJK dibentuk agar kejadian semasa krisis yang lalu tidak terjadi dan tidak akan terulang. Pengalaman tahun 1998 kemarin kita harus membayar mahal, dan terakhir Century-pun harus dibayar mahal. Untuk saat ini OJK merupakan pilihan terbaik.”
Begitulah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo pada 2010 lalu agar semua pihak mendukung rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setahun kemudian atau pada tahun 2011, lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, OJK kemudian resmi dibentuk.
Atas landasan historis tersebut, OJK memiliki tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Kini, berbagai pihak kemudian menyoroti lembaga independen ini menyusul pada gagalnya perusahaan asuransi pelat merah, Jiwasraya dalam membayar polis nasabah.
Pasalnya, kegagalan tersebut disebut karena Jiwasraya melakukan investasi di saham-saham berisiko, di mana hal ini sudah seharusnya mendapatkan peringatan dari OJK.
Ini pula yang disorot oleh pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng. Ia menyebutkan bahwa OJK pastilah mengetahui aliran dana investasi yang dilakukan oleh Jiwasraya. Bahkan menurutnya, dalam kelembagaan keuangan yang ada sekarang, semua kejahatan dapat dimulai dari OJK dan dapat juga diakhiri “damai” di lembaga tersebut.
Artinya, Daeng memiliki kecurigaan tersendiri bahwa telah terjadi intrik politik tertentu, sehingga terdapat unsur pembiaran dari OJK terkait Jiwasraya yang melakukan investasi di saham berisiko, ataupun terkait produk investasinya, JS Saving Plan yang memberlakukan bunga tinggi.
Bukti atas kecurigaan Daeng tersebut terlihat jelas dari OJK yang sebenarnya telah mengetahui potensi gagal bayar Jiwasraya pada Januari 2018 lalu. Namun, sampai Oktober 2018, OJK nampak bersikap pasif dan terkesan membuang badan.
Selaku lembaga yang raison d’etre atau alasan keberadaannya agar kasus Bank Century yang menelan kerugian sebesar Rp 7 triliun tidak terulang kembali, tentu menjadi pertanyaan tersendiri bahwa kasus Jiwasraya yang taksiran kerugiannya hampir dua kali lipat dari kasus Bank Century atau mencapai Rp 13,7 triliun justru dapat terjadi.
Mengacu pada hal tersebut, tentu saja kita dapat menyimpulkan bahwa OJK telah gagal dalam menjalankan perannya. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut terjadi?
Mengapa OJK Gagal?
OJK sendiri sebenarnya adalah lembaga serapan dari Financial Service Authority (FSA) yang pertama kali secara resmi didirikan di Inggris oleh Financial Services and Markets Act pada tahun 2000. Namun, lembaga ini sebenarnya telah ada di Inggris sejak tahun 1985 dengan nama Securities Investment Board, dan baru pada tahun 1997 berubah nama menjadi FSA.
Setelah terjadinya krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008, pemerintah Inggris kemudian memutuskan untuk merevisi peraturan struktur keuangan pada tahun 2012, dan berimbas pada pembubaran FSA pada April 2013. Untuk melanjutkan kebutuhan regulasi keuangan, dua lembaga kemudian dibentuk, yakni Financial Conduct Authority dan Prudential Regulation Authority.
Tidak seperti FSA yang memiliki fungsi dan tujuan yang begitu luas, pembentukan dua lembaga tersebut membuat fungsi dan tujuan FSA terbagi menjadi dua.
Financial Conduct Authority dibentuk untuk mengatur pasar keuangan, memberikan perlindungan bagi konsumen dan mendorong integritas pasar dalam sistem keuangan Inggris, serta memfasilitasi persaingan untuk melayani kepentingan konsumen dengan lebih baik. Menariknya, lembaga ini didanai oleh 58.000 perusahaan yang dinaunginya.
Sementara itu, Prudential Regulation Authority memiliki peranan yang meliputi regulasi bank, koperasi kredit, perusahaan asuransi, dan perusahaan investasi. Lalu terkait sumber dananya, lembaga ini sepenuhnya didanai oleh Bank of England yang merupakan bank sentral di Inggris.
Melihat pembelahan lembaga dan fungsi FSA yang dilakukan oleh pemerintah Inggris, kita mungkin sudah dapat menebak bahwa hal tersebut dilakukan karena menilai FSA tidak mungkin akan efektif dalam melaksakan perannya apabila memiliki tujuan dan fungsi yang begitu luas. Tidak hanya itu, sumber dana yang berbeda sepertinya didesain agar tiap lembaga memiliki tanggung jawab masing-masing terhadap ranah yang dinaunginya.
Apa yang terjadi di Inggris tersebut, sepertinya menjadi bantahan atas tulisan Robert J. Dijkstra yang berjudul Accountability of Financial Supervisory Agencies: An Incentive Approach. Dalam tulisan tersebut, Dijkstra mengemukakan bahwa kegagalan pengawasan keuangan yang menjadi penyebab krisis keuangan, sering terjadi karena tidak adanya insentif yang memadai untuk pengawas keuangan.
Di Indonesia sendiri, konteks insentif untuk pengawas keuangan diakomodir oleh negara dan bentuknya bisa dilihat dari besaran penghasilan yang didapatkan oleh komisioner dan pegawai di lembaga ini.
Bayangkan saja, gaji Ketua Dewan Komisioner OJK bahkan mencapai Rp 300 juta per bulan. Angka ini jauh di atas gaji Gubernur Bank Indonesia (BI) yang hanya mencapai Rp 200 juta per bulan. Padahal, selama ini BI yang merupakan bank sentral di Indonesia dikenal sebagai salah satu lembaga dengan gaji tertinggi di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi pada tahun 2010 lalu, telah menjelaskan mengapa gaji komisioner OJK jauh lebih tinggi dari BI ataupun lembaga lainnya. Menurutnya, OJK selaku lembaga pengawas keuangan tidak mungkin memiliki gaji yang lebih kecil dari lembaga yang diawasinya. Artinya, pemikiran Qosasi tersebut tentu seirama dengan Dijkstra yang menilai insentif sangat penting untuk menjaga baiknya kinerja pengawas keuangan.
Akan tetapi, sebagaimana diketahui, kendati telah diberikan insentif yang begitu besar, nyatanya OJK dituduh gagal menjalankan perannya di kasus Jiwasraya. Jawaban atas hal ini mungkin merujuk pada pengamatan Salamuddin Daeng yang menyebutkan OJK memiliki kewenangan yang terlalu besar karena menaungi seluruh kegiatan di sektor keuangan.
Dengan kata lain, karena tidak terdapat lembaga yang mengawasinya, kemungkinan besar intrik politik terkait adanya pembiaran di aktivitas investasi Jiwasraya sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Menimbang pada dua konteks masalah tersebut, mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa kegagalan OJK terjadi karena lembaga tersebut memiliki kewenangan yang terlalu besar sehingga perannya justru menjadi tidak efektif, seperti yang terjadi pada FSA di Inggris. Atas besarnya kewenangan itu pula, melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kuasa sangat dimungkinkan terjadi di OJK.
Apa yang Dapat Dilakukan?
Merespon kegagalan OJK dalam mengawasi Jiwasraya ataupun tidak dihentikannya produk investasi JS Saving Plan, kemudian membuat banyak pihak menuturkan harus adanya Dewan Pengawas (Dewas) yang memonitori dan mengevaluasi kinerja OJK.
Hal ini misalnya dikemukakan oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo yang menegaskan tidak boleh terdapat lembaga yang tidak memiliki Dewas. Bahkan menurutnya, lembaga penegak hukum seperti KPK juga telah memiliki Dewas.
Usulan adanya Dewas OJK ini tentu dapat menjadi masukan yang layak untuk dipertimbangkan oleh pemerintah, khususnya bagi lembaga legislatif (DPR) selaku perumus produk hukum.
Akan tetapi, mengacu pada apa yang terjadi pada FSA di Inggris, mungkin sudah seharusnya terdapat perombakan di tubuh OJK itu sendiri. Cukup radikal memang, tapi sepertinya kewenangan OJK perlu dibagi seperti FSA di Inggris agar tidak terlalu besar. Tidak hanya untuk meningkatkan efektivitas kerja, ini juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kuasa oleh OJK.
Konsep terkait pendanaan FSA di Inggris yang tidak terpusat atau hanya bersumber dari pemerintah juga layak untuk dipertimbangkan. Misalnya, sebagian dana OJK mungkin dapat diambil dari perusahaan-perusahaan yang dinaungi, sehingga OJK akan memiliki tanggung jawab kepada perusahaan-perusahaan tersebut.
Di luar itu semua, tentu saja kita berharap kasus Jiwasraya dapat segera terselesaikan dan tidak terulang kembali. Dan terkait langkah apa yang akan dilakukan pemerintah untuk membenahi OJK, ini tentu bergantung atas kebijaksanaan pemerintah terkait. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.