Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung bahwa kondisi pada tahun 2023 mendatang diibaratkan gelap. Ini bukan pertama kalinya RI-1 menyampaikan “aura negatif” ke hadapan publik. Lalu, mengapa itu dilakukannya?
Gelap. Frasa itu digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggambarkan keadaan negara-negara di tahun 2023 mendatang.
Itu disampaikan kepala negara saat memberikan sambutan dalam Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) 2022 di Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Jumat, 5 Agustus.
Penggambaran tersebut dikemukakan berdasarkan diskusinya dengan sejumlah sosok penting seperti Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres, petinggi lembaga-lembaga internasional seperti International Montary Fund (IMF) dan Bank Dunia, serta pemimpin negara-negara G7 dalam kunjungan kerjanya beberapa waktu lalu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta menyatakan semua negara saat ini berada pada keadaan yang tidak mudah.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi menuturkan bahwa lembaga terkemuka seperti PBB, IMF, hingga Bank Dunia menyampaikan terdapat 66 negara yang akan ambruk ekonominya akbat ketidakpastian situasi global.
Fenomena kelaparan, laju inflasi, hingga anjloknya tingkat ekonomi negara seperti Singapura, Australia, dan sejumlah negara Eropa turut dibubuhkan sebagai sampel konkret pernyataan Presiden Jokowi yang kembali ditutup dengan frasa kurang mengenakkan, yakni “mengerikan”.
Yang menarik, narasi negatif semacam itu bukan pertama kalinya disampaikan kepala negara dihadapan publik Indonesia.
Warganet +62 agaknya dapat dengan mudah mencari terminologi dengan “aura negatif” yang sering dikemukakan Presiden Jokowi.
Meskipun dalam beberapa kesempatan, sejumlah narasi disampaikan dalam forum dengan audiens yang spesifik, tetap saja salah satu putra terbaik Solo itu tentu memahami bahwa pernyataannya akan dikonsumsi dan dicerna masyarakat melalui publikasi media.
Hal itu kemudian menimbulkan perntayaan sederhana, mengapa Presiden Jokowi justru membawa narasi dengan tendensi pesimistis itu di hadapan khalayak?
Anomali Jokowi?
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi tampak menjadi anomali tersendiri dalam sebuah kepemimpinan level tertinggi.
Dikatakan anomali mengingat seorang pemimpin idealnya akan berusaha “menenangkan” masyarakat ketika dihadapkan pada situasi sulit dengan menghindari frasa-frasa pesimistis, seperti yang acapkali disampaikan Presiden Jokowi.
Tujuannya tentu untuk menjaga kondusivitas di berbagai aspek yang berpotensi terdampak seperti stabilitas pasar, investor, menjaga daya beli, hingga mempertahankan serta meningkatkan optimisme masyarakat secara umum.
Kepemimpinan semacam itu tampak dari banyak negara, salah satunya Perdana Menteri (PM) Justin Trudeau yang terkenal dengan pilihan katanya yang bijak di hadapan publik Kanada.
Tak hanya itu, negara tetangga Singapura pun saat ini dipimpin oleh Lee Hsien Loong yang memiliki karakteristik serupa dengan Trudeau di saat berhadapan dengan situasi sulit.
Selain itu, dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Misteri Statistik PDB Sri Mulyani, dijelaskan bahwa pemimpin-pemimpin negara seperti India, Tiongkok, hingga Argentina justru berupaya menyembunyikan “aura negatif” statistik Produk Domestik Bruto (PDB) mereka agar tidak mendapat sentimen negatif publik.
Sentimen negatif publik itu selaras dengan disrupsi yang dijelaskan oleh Francis Fukuyama. Dalam bukunya The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Fukuyama mempopulerkan istilah great disruption untuk menggambarkan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akibat dari kemajuan pesat teknologi informasi.
Fenomena itu berakar dari eksistensi nyata atas ketimpangan ekonomi di masyarakat, menurunnya tingkat perekonomian negara, pengangguran, PHK, inflasi, hingga kenaikan harga yang secara otomatis membawa sentimen negatif.
Lalu, apakah narasi “gelap” yang disampaikan Presiden Jokowi benar-benar mengkhawatirkan dan akan menjadi nyata?
Sebuah Kontradiksi?
Meski kerap dikritik akibat riwayat minor sebagai pemberi hutang, proyeksi lembaga moneter internasional atau IMF maupun Bank Dunia kiranya tetap relevan untuk menjadi rujukan atas gambaran perekonomian dunia.
Dalam laporan World Economic Outlook edisi Juli lalu, IMF memang memprediksi bahwa ekonomi global akan semakin suram pada tahun 2022 lantaran munculnya berbagai risiko.
Inflasi global, pengetatan aturan Covid-19 maupun penyakit menular lain yang mulai merebak seperti monkeypox atau cacar monyet, hingga perang Rusia vs Ukraina menjadi variabel pemantik kesuraman itu.
IMF kemudian memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 3,2 persen pada 2022. Proyeksi tersebut terus turun dari perkiraan sebelumnya, yakni sebesar 3,6 persen pada April dan 4,4 persen pada Januari.
Sementara itu, Bank Dunia turut memprediksi bahwa pada tahun 2023 mendatang kondisi sulit kemungkinan besar akan terjadi.
Di samping masih disibukkan mengatasi dampak pandemi Covid-19, tren inflasi, ketidakpastian kebijakan, hingga pengeluaran pemerintah dan abu-abunya kebijakan moneter tiap negara menjadi pemicunya.
Negara-negara berkembang kemudian disebut menjadi yang paling terancam seiring meningkatnya harga makanan dan energi, serta ketidakseimbangan pasokan-permintaan.
Walaupun selaras dengan apa yang dikemukakan, narasi “gelap” Presiden Jokowi tampak tidak diiringi dengan kebijakan nyata untuk paling tidak mengantisipasinya sejak dini.
Bahkan, sejumlah agenda sekunder maupun tersier seperti proyek mercusuar Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara serta kereta cepat Jakarta-Bandung terus dikebut dan belakangan menyedot Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Padahal, sejumlah analis telah mewanti-wanti bahwa proyek-proyek itu kontraproduktif dengan ketidakpastian perekonomian dunia yang saling ketergantungan.
Asisten Professor Ilmu Politik dari North Carolina State University Dr. Jessica C. Liao misalnya, menyiratkan peringatan itu melalui publikasinya yang berjudul Easy Money and Political Opportunism: How China and Japan’s High-Speed Rail Competition in Indonesia drives financially risky projects.
Ambisi politik dan iming-iming kemudahan pencairan dana dari Tiongkok dinilai mendistorsi Presiden Jokowi dari implikasi multi-aspek akibat pandemi Covid-19 yang sukar pulih, cepatnya laju penurunan nilai tukar rupiah, serta dampak minor hutang luar negeri.
Sementara peneliti senior di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Richard Borsuk menyoroti agenda sekunder Indonesia yang terus dikebut Presiden Jokowi di saat negara masih susah payah bangkit dari efek pandemi Covid-19.
Dalam analisisnya yang berjudul Indonesia’s New Capital: Can Jokowi Find the Money?, Borsuk mempertanyakan bagaimana Presiden Jokowi menghimpun dana pembangunan IKN di tengah kondisi sulit saat ini.
Selain itu, ambisi IKN juga dinilai akan terus melemahkan anggaran negara, membuat lonjakan inflasi, dan seiring waktu akan dihadapkan pada kepastian pembengkakan biaya pembangunan.
Seolah belum cukup, narasi “gelap” Presiden Jokowi juga tidak diiringi dengan komitmen nyata untuk setidaknya meringankan beban masyarakat.
Meskipun secara konkret memang cukup dilematis untuk merumuskannya, kebijakan menaikkan sejumlah tarif dan harga komoditas esensial belakangan ini seperti BBM, sekilas cukup bertolak belakang dan justru tampak semakin mendekatkan masyarakat dengan kondisi “gelap” tersebut.
Selain dari data dan analisis di atas, penyampaian narasi minor juga kiranya menimbulkan pertanyaan terhadap aspek kepemimpinan Presiden Jokowi. Mengapa demikian?
Jika diamati, pernyataannya mengenai kondisi gelap di tahun 2023 diungkapkan di hadapan para pensiunan tentara. Dalam dunia kemiliteran dan rantai komando, apa yang disampaikan Presiden Jokowi agaknya sangat keliru.
Seorang pemimpin atau komandan semestinya dapat mendengarkan sekaligus memberikan jalan keluar bagi keluhan anggotanya, bukan sebaliknya.
Filosofi ideal itu tercermin misalnya dalam film berjudul Saving Private Ryan. Kapten John Miller yang diperankan Tom Hanks dalam sebuah adegan menegaskan bahwa pemimpin tidak boleh mengeluh di hadapan anggotanya.
“Gripes go up, not down,” begitu kalimat terkenal yang diucapkan Miller.
Hal itu sepertinya luput dari perhatian Presiden Jokowi selama ini. Keluhannya dengan pilihan kata seperti “gelap”, “sulit”, “susah”, “berat”, dan sebagainya kiranya pantang terlontar dari sosok pemimpin yang semestinya hadir memberikan solusi konkret dalam kebijakannya, termasuk di hadapan masyarakat Indonesia secara umum.
Kendati demikian, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi kritis semata. Namun diharapkan, Presiden Jokowi ke depannya dapat membawa aura yang jauh lebih baik, plus diiringi dengan kebijakan yang membangktkan optimisme masyarakat. (J61)