Site icon PinterPolitik.com

Menguak Diskriminasi Bansos Corona Jokowi

Presiden Joko Widodo saat membagikan sembako dari dalam mobil kepresidenan.

Presiden Joko Widodo saat membagikan sembako dari dalam mobil kepresidenan. (Foto: Setpres)

Nada sumbang terdengar dari berbagai penjuru daerah di Indonesia atas bantuan sosial (bansos) yang dinilai jamak melenceng dari sasaran. Sontak hal tersebut menyiratkan eksisnya isu rendahnya koordinasi, ketidakadilan hingga diskriminasi. Benarkah fenomena “kikuk berjamaah” antar lembaga pemerintah dalam penyaluran bansos ini terjadi secara sistematis?


PinterPolitik.com

Entah sampai kapan persoalan klasik berupa distribusi berbagai hal di Indonesia yang mostly tidak tepat sasaran akan terjadi. Kali ini, problematika kronis tersebut terjadi pada penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang kesulitan akibat dampak Covid-19.

Pada sebuah kesempatan teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantang menyerukan “equal access” atau akses yang setara untuk mengatasi Covid-19 di depan pemimpin negara-negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) virtual Gerakan Non-Blok, Selasa kemarin.

Namun seruan Presiden Jokowi kemarin malam seolah berbanding terbalik dengan berbagai fakta yang telah terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Untaian fakta tersebut secara ironis dapat menyediakan jawaban dari berbagai pertanyaan mengenai apa saja bentuk skenario pilu atas ketidakadilan bantuan selama Covid-19.

Mulai dari seorang Ibu di Serang yang harus bertahan hidup dengan hanya meminum air isi ulang selama beberapa hari bersama anak-anaknya sebelum kemudian meninggal dunia. Sampai luapan amarah tak terbendung Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar yang tak kuasa melihat tangis warganya akibat tak kunjung menerima bantuan hanya dikarenakan hambatan birokrasi dari pemerintah pusat.

Dua kisah menggugah iba dan kegeraman atas ketidakadilan di saat yang sama tersebut cukup mewakili deretan fakta serupa di berbagai daerah di Indonesia lainnya. Mulai dari kota hingga desa, jamak warga tak beruntung yang luput dari keadilan atas janji manis bantuan pemerintah sebagai upaya penanganan dampak pandemi Covid-19.

Selain ketidakadilan, isu diskriminasi juga berhembus di tengah-tengah distribusi bantuan dampak Covid-19. Kartu Prakerja misalnya, dinilai tidak menjangkau fakta bahwa masih terdapat orang-orang dengan literasi teknologi yang belum memadai.

Lalu berbagai bantuan yang seolah belum hype rasanya jika tidak memberikannya kepada ojek online atau ojol di mana perusahaan milih negara Pertamina, seolah diskriminatif dengan hanya memberikan diskon pembelian bahan bakar kepada ojol. Padahal jenis transportasi lain bahkan banyak yang jauh lebih terpuruk karena pandemi Covid-19.

Kemudian ada pula isu beberapa waktu lalu di Bangka Belitung saat pra syarat penerima bantuan yang tertulis di surat resmi Dinas Sosial setempat haruslah beragama muslim. Meskipun selanjutnya diklarifikasi bahwa hal itu dilakukan atas rekomendasi pemberi bantuan, yakni Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyaratkan demikian dengan alasan tertentu, sebelum kemudian surat tersebut dicabut.

Namun begitu, publik terlanjur “menghirup” isu yang berhembus dan seketika bertaut mengejawantahkan rangkaian ketidakadilan dan diskriminasi bansos Covid-19 pemerintah lainnya. Lantas, dengan tren peningkatan fenomena tersebut, apakah masih ada bentuk diskriminasi lainnya di lapangan? Jika benar, apakah penyebab dan muaranya?

Konstruksi Dinamika Stigma

Daniel Farber dalam sebuah penelitian yang dikemas dalam sebuah publikasi berjudul “Disaster Law and Inequality” menyoroti adanya ketidakadilan distribusi bantuan di Amerika Serikat (AS) sejak Gempa San Fransisco 1906 hingga Badai Florence di Carolina dua tahun silam. Kelompok “berbeda” seperti keturunan Jepang, Tionghoa, Muslim, Afrika-Amerika, dan Hispanik mengalami kesulitan mengakses bantuan pasca terjadinya bencana.

Lebih lanjut, Farber menyatakan hubungan antara etnis atau ras, kemiskinan, dan risiko ketika terjadi krisis cenderung bersifat kompleks. Hal itu dipengaruhi oleh level risiko berdasarkan ekologi sosial dimana mereka tinggal serta stigma berdasarkan konstruksi dinamika sosial.

Konteks Farber yang sebutkan di atas, yang dikenal di tanah air sebagai isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), nyatanya telah terjadi pada berbagai momen kebencanaan selama lebih dari seabad di AS. Tendensi ini cukup mengindikasikan isu sensitif tersebut seolah mendarah daging dan terjadi lintas generasi, bahkan di negara dengan pemikiran maju. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Mengacu pada intisari kutipan tulisan Farber sebelumnya, isu SARA dinilai juga masih menjadi kendala peradaban tersendiri bagi bangsa yang mahsyur akan kohesivitas ketimurannya ini. Khususnya kala distribusi bansos Covid-19 belakangan ini.

Konteks ekologi sosial di Bangka Belitung menjadi salah satu problematika potret diskriminasi berdasarkan SARA. Baznas lokal di provinsi kepulauan itu, sebagai lembaga pemerintah nonstruktural, seolah seperti “anak kemarin sore” ketika menginstruksikan Dinas Sosial (Dinsos) setempat agar membuat aturan penerima bantuan adalah hanya bagi mereka yang beragama Muslim.

Keamatiran serupa diterjemahkan secara harfiah oleh Dinsos dengan menerbitkan surat resmi sebagai follow up pra syarat Baznas tersebut. Meskipun surat telah dicabut dan “kesalahpahaman” telah pula diluruskan, narasi gaduh demikian dinilai memberikan preseden stagnan bahkan degradatif terhadap progres upaya bangsa dalam mereduksi gesekan isu SARA di Indonesia yang Farber sebut sebagai konstruksi dinamika sosial.

Selain itu, ada pula bentuk diskriminasi lain terkait bansos Covid-19 yang “lucunya” sengaja dikonstruksi oleh pemerintah. Perkara itu ialah labelisasi. Hal ini rencanaya akan dilakukan oleh pemerintah Indramayu untuk mengantisipasi salah sasaran dan sebagai efek jera bagi “si pura-pura miskin”.

Meskipun jika dipahami secara lebih komprehensif, hal ini merupakan bagian dari efek domino ketidakadilan dan dikriminasi yang telah terjadi sejak di hulu, labelisasi semacam itu tentu mencoreng aspek kepantasan dan memperlebar jurang ketimpangan. Terlebih fenomena ini bukanlah kasus pertama terkait labelisasi berbagai atribut bantuan kepada mereka yang kekurangan.

Sementara di sisi lain, bansos Covid-19 yang dinilai penuh dengan ketidakadilan dan diskriminasi konkret ini juga berpeluang menjadi ranah abu-abu efek domino lain berupa penyimpangan utilisasi materiil hak rakyat. Apakah itu?

Aral Rasuah Melintang

Corruption in Natural Disaster Aid: The 2004 Indonesian Tsunami” menjadi sebuah publikasi acuan untuk menganalisa “tradisi” korup pihak-pihak berwenang dalam hal ini pemerintah terkait dana bantuan yang diselewengkan. Publikasi empirik yang ditulis oleh Nikole Brooks tersebut membuktikan bahwa korupsi telah menjadi budaya organisasi atau organizational culture di Indonesia, terutama ketika terjadi bencana atau krisis yang membutuhkan tindakan cepat.

Persoalan klasik yang diekspos Brooks antara lain berupa korupsi tender proses rekonstruksi, ketimpangan dan masalah moral, serta distribusi bantuan yang tidak adil dan efisien oleh pemerintah.

Bersendikan substansi tulisan Brooks tersebut, peluang terjadinya fenomena organizational culture korup dinilai berada di ambang pintu jika tidak ada elemen pengawasan dan perbaikan lebih lanjut atas ketidakadilan dan diskriminasi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Tradisi amoral tersebut disinyalir memiliki kecenderungan untuk terjadi dikarenakan dana bansos dari Jaring Pengaman Sosial (JPS) sebesar Rp 110 triliun merupakan angka yang “rawan”. Apalagi dengan tambahan suntikan pinjaman dana segar dari lembaga moneter internasional yang diperkirakan mencapai Rp 112 triliun, yang berbanding lurus dengan potensi aneka rupa bansos yang akan terus diupayakan menutupi narasi ketidakadilan dan diskriminasi.

Korupsi historis dana bencana terkini di Palu-Donggala dan Lombok juga menjadi refleksi riil yang selaras dengan apa yang disiratkan oleh Brooks dalam tulisannya. Lalu masalah pendataan, utamanya terkait program kartu-kartu bansos Presiden Jokowi, juga menjadi faktor suportif lain dan bahkan telah terindikasi sejak tahun lalu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) namun tak kunjung diperbaiki dan bermuara pada narasi ketidakadilan dan diskriminasi.

Tak cukup sampai disitu, faktor pemicu potensi tindakan penyelewengan juga berasal dari halangan birokrasi pemerintah pusat yang saling tumpang tindih, dan beberapa waktu lalu direfleksikan sebagai penyebab letupan kekecewaan paripurna Bupati Boltim, Sehan Salim Landjar.

Masalah lain  berupa kolusi juga seolah melekat ketika Kartu Prakerja yang juga menjadi bagian dari bansos terindikasi melibatkan “kawanku punya teman” dalam proyek bernilai triliunan rupiah tersebut.

Berbagai problematika klasik tersebut juga dinilai tidak akan menemui hambatan “protagonis” berarti, ketika publik berhadapan dengan fakta bahwa Presiden Jokowi merestui berlakunya regulasi kontroversial Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK)

Terbangunnya ruang abu-abu atas fenomena ketidakadilan dan diskriminasi belakangan ini seolah memberikan sinyal bahwa fenomena tersebut eksis secara sistematis. Hal yang dinilai terkonstruksi secara simultan dari waktu ke waktu ini, tak ayal akan membuat pesoalan ketidakadilan dan diskriminasi di berbagai aspek serta analisa semacam ini akan terus ada. Begitulah ironi yang terjadi saat ini. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version