HomeNalar PolitikMenggugat RUU Permusikan

Menggugat RUU Permusikan

“Memangnya musisi sekelas Thom Yorke dan Elvis Presley melakukan uji kompetensi RUU ini?” Danilla Riyadi


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ara musisi Indonesia kini tengah resah. Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan menjadi penyebab kegundahan para musisi tersebut.

Bukan tanpa alasan para musisi itu khawatir. RUU Permusikan yang tengah dibahas berpotensi menjadi pasal karet. Salah satunya tertuang dalam Pasal 5 RUU tersebut yang berisi beberapa larangan bagi para musisi dari mulai membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif.

Berbagai protes muncul dari kalangan seniman musik yang menganggap hal tersebut merupakan upaya pengekangan kebebasan para pekerja seni.

Meskipun RUU ini awalnya juga didukung oleh sebagian musisi ternama tanah air yang tergabung dalam Konferensi Musik Indonesia (KAMI) bersama Koalisi Seni Indonesia yang berfokus pada tata kelola industri musik, namun adanya pasal 5 yang tertuang dalam RUU tersebut dianggap mengancam kebebasan berekspresi bagi banyak musisi.

Misalnya saja tanggapan Cholil Mahmud, vokalis band Efek Rumah Kaca yang menyebut bahwa RUU ini terkesan mubazir karena sejumlah aturan yang terdapat dalam draf RUU itu sudah termaktub dalam regulasi lain.

Seperti dilansir Tirto.id, soal hak cipta dan royalti misalnya sebenarnya  sudah diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Selain itu, aturan musik tradisional akan tumpang tindih dengan UU No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.

Memang tak hanya sekali ini DPR terkesan grusa-grusu dalam membuat aturan. Yang lebih parah, DPR seolah sering kali berlebihan dalam membuat aturan tanpa memahami betul substansi dan konsekuensi aturan tersebut.

Lalu bagaimanakah seharusnya menyikapi rencana pengesahan RUU Permusikan ini? Siapakah yang akan untung dan rugi dari adanya UU ini jika memang berhasil disahkan?

The Power of Music

Sebagai sebuah seni, musik memiliki kekuatan yang cukup ditakuti. Di era 70an, musik punk lahir di Inggris dan Amerika sebagai respons terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang merugikan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Saat itu kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah Inggris dan Amerika sangat agresif, sebab di saat yang sama, krisis ekonomi juga melanda kedua negeri tersebut sehingga tingkat pengangguran menjadi tinggi dan pertentangan antar kelas dalam masyarakat.

Dalam kondisi itulah ekspresi budaya anak muda juga dikekang oleh korporat-korporat industri budaya yang membatasi akses dan partisipasi anak muda dalam ranah produksi musik.

Kemunculan The Beatles dalam industri musik di Inggris di era 60-70an juga menjadi simbol titik balik perlawanan politik melalui karya seni kala itu.

Grup band yang digawangi oleh John Lennon, Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr ini berhasil menjadi fenomena bagi kalangan pemuda di Inggris kala itu.

Virus The Beatles pun juga menyebar ke penjuru dunia lain, tak terkecuali Indonesia. Kemunculan Koes Plus di era Orde Lama pun tak luput dari adanya semangat perlawanan terhadap rezim yang kala itu berkuasa.

Mereka pada akhirnya harus merasakan dinginnya hotel prodeo karena dianggap terlalu merepresentasikan budaya kebarat-baratan yang kala itu memang tak sejalan dengan pemerintahan Soekarno yang cenderung anti-Barat.

Mark Pedelty dan Linda Keefe dalam artikelnya juga membenarkan bahwa lagu-lagu dapat digunakan untuk menggambarkan pesan politik tertentu. Dalam konteks tersebut, musik menjadi sebuah bahasa universal yang tak hanya bermakna estetika tetapi juga memiliki kuasa atas perubahan politik.

Selanjutnya, sifat pesan itu juga tergantung pada tujuan musik itu sendiri apakah lagu yang hanya sebagai ekspresi pengamatan subyek politik, lagu yang menawarkan pendapat partisan politik, atau lagu yang mengadvokasi aksi politik tertentu.

Pada titik tersebut, musik memiliki dua fungsi secara sosiologis maupun politis yakni sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran kolektif dan sebagai media advokasi. Dalam konteks ini, musik sarat akan perkawinan antara bahasa perlawanan dan gerakan masyarakat sipil.

Berdampak Buruk

Dalam proses pengambilan kebijakan, grusa-grusu RUU Permusikan ini sepertinya tak menunjukkan kapabilitas yang mumpuni para perumusnya.

Jika dibandingkan dengan berbagai prolegnas yang lebih substansial, pengambil kebijakan kini sering hanya berkutat pada sensasi bukan substansi.

Memang, bagi para musisi, RUU Permusikan pada kadar tertentu mungkin perlu untuk menjamin eksistensi mereka secara hukum. Akan tetapi, rancangan aturan tersebut justru kini terkesan berlebihan dan mengancam kebebasan berekspresi dari pada memberi manfaat bagi para pelaku musik.

Hal ini juga menjadi paradoks bagi adanya fakta bahwa juga banyak anggota dewan yang kini duduk di Senayan adalah musisi dan pegiat seni.

Katakanlah Anang Hermansyah, yang merupakan kader PAN ini, dulunya memiliki visi tentang mengembangkan industri musik di Indonesia ketika ia mencalonkan diri menjadi wakil rakyat dari Dapil Jatim IV tersebut. Namun musikus sekaliber Anang masih saja tak tahu bagaimana membuat kebijakan publik yang tepat sasaran bagi kaum yang ia wakili.

Adanya realitas ini juga semakin menunjukkan bahwa negara akan selalu berusaha untuk mengontrol masyarakatnya dengan menggunakan pasal-pasal hukum.

Maka wajar jika para musisi kini harus gundah gulana dengan adanya RUU ini. Pasal yang berbunyi akan mengatur tentang budaya Barat, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi hingga membuat musik provokatif tentu akan  semakin membatasi ruang gerak para musisi ini.

Dalam konteks kebebasan berekspresi, jika rakyat dihadapkan pada state control atau kontrol dari negara, melalui undang-undang misalnya, yang lahir bukanlah kesadaran yang muncul dari diri sendiri, melainkan rasa taat, tunduk dan takut. Hal ini yang sempat disinggung oleh Tom Palmer dalam buku  yang dieditnya berjudul Self Control or State Control? You Decide.

Oleh karenanya, keberadaan UU Permusikan nantinya akan berpotensi membuat para musisi untuk menjadi takut untuk berkarya menyuarakan ketidakadilan di sekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa karena khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik.

Jika RUU ini benar-benar disahkan, nasib para perjuangan para musisi Bali layaknya grup band Superman Is Dead, Navicula, yang memperjuangkan penolakan reklamasi Teluk Benoa juga akan kehilangan lahan aktivisme mereka dan memaksa mereka harus tunduk pada kekuasaan rezim.

Atau grup musik Silampukau dengan lirik kritik yang menggambarkan realitas sosial Surabaya di mana grup yang beranggotakan duo musikus ini mengangkat tema tentang Dolly, pengangguran di Surabaya, dan beberapa bait untuk mengkritik penguasa.

Adanya RUU Permusikan pasal 5 ini juga semakin menunjukkan pembatasan kebebasan berekspresidan adanya kritik melalui lagu. Meskipun di era reformasi kini para musikus tak memiliki musuh rezim sekeras Iwan Fals di zaman Suharto misalnya, atau Koes Plus di zaman Orde Lama, namun suara-suara sumbang dari musik sebagai perlawanan politik tetap akan relevan.

Jika merujuk pada sejarah perlawanan melalui musik, bermusik yang bebas adalah syarat mutlak bagi eksistensi demokrasi di suatu negara.

Sebagai bagian dari instrumen kontrol untuk kekuasaan dalam negara demokratis, eksistensi musik idealnya didukung melalui kebebasan-kebebasan berimajinasi dan berekspresi. Seperti ungkapan pepatah lama, kreativitas akan mati dibawah represi.

Dalam konteks ini, musik memang membawa spirit idealisme dan realisme yang tidak saja sebagai urusan bunyi dan nyanyi, tetapi juga sikap dan keberpihakan.

Terlepas polemik yang terjadi, dalam konteks ini para pembuat kebijakan harus lebih tahu diri dalam membuat peraturan undang-undang. Meskipun isu musik merupakan hal yang sangat populer dalam politik, namun tak seharusnya pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkannya untuk menciptakan sensasi dan mengabaikan apa yang seharusnya diprioritaskan. (M39)

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...