Site icon PinterPolitik.com

Menggugat Logika Denny Siregar

Denny Siregar

Denny Siregar (Foto: Detik/Screenshoot 20detik)

Denny Siregar menuduh kehadiran para pelajar di demonstrasi 11 April 2022 sebagai cara oposisi untuk meningkatkan tensi politik dari aksi protes tersebut. Ia juga spesifik menunjuk pelibatan pelajar ini mirip dengan peristiwa yang terjadi di Mesir kala Arab Spring bergejolak sejak tahun 2010 lalu. Di akhir, ia menyebut para pelajar seharusnya fokus belajar dan tak perlu ikut aksi yang membuat khawatir orang tua mereka.


PinterPolitik.com

“To sin by silence, when we should protest, makes cowards out of men”.

::Ella Wheeler Wilcox (1850-1919), penyair asal Amerika Serikat::

Demonstrasi 11 April 2022 memang meninggalkan banyak cerita. Walaupun fokus isunya kemudian teralihkan akibat adanya peristiwa pengeroyokan terhadap dosen sekaligus pegiat media sosial Ade Armando, demonstrasi yang sempat berujung kericuhan ini memang menjadi ajang penyampaian kritik kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sayangnya, tak semua orang sepakat demontrasi yang dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa itu menjadi sebuah hak politik yang sangat penting untuk dijalankan – terutama oleh para pelajar. Pandangan ini salah satunya disampaikan oleh pegiat media sosial Denny Siregar.

Lewat video yang dipublikasikan oleh channel YouTube CokroTV, Denny menyebut demonstrasi yang “menggunakan” pelajar – misalnya anak-anak STM atau kini SMK – sebagai penggerak utamanya, mirip dengan fenomena yang terjadi saat Arab Spring yang berujung pada revolusi di beberapa negara Timur Tengah sejak tahun 2010 lalu.

Ia menunjuk secara spesifik kelompok macam Ikhwanul Muslimin di Mesir yang menggunakan pelajar sebagai pendorong narasi protes. Ikhwanul Muslimin memang menjadi organisasi global yang pengaruhnya sudah ada di banyak negara, termasuk Indonesia.

Ujungnya, ketika ada korban jiwa yang jatuh dari kalangan pelajar ketika demonstrasi dilakukan, efek politiknya menjadi sangat hebat dan menyebabkan revolusi di Mesir. Denny kemudian menyinggung gerakan Ikhwanul Muslimin ini diduga sebagai induk semang Partai Keadilan Sejahtera alias PKS di Indonesia.

Hal itulah yang menurut Denny, menyebabkan rezim kepemimpinan selanjutnya di Mesir menetapkan bahwa demonstrasi mahasiswa yang merusak gedung atau fasilitas umum akan diadili lewat mahkamah militer. Ia kemudian merefleksikan fenomena itu terhadap aksi-aksi protes di Indonesia.

Denny juga menyebutkan bahwa para pelajar ini masih muda, masih dalam proses pencarian jati diri dan emosi mereka masih labil. Para pelajar juga dijadikan sebagai pertahanan karena aparat atau polisi menjadi kebingungan ketika mengamankan aksi demonstrasi. Ini mengingat status para pelajar itu yang masih anak-anak.

Denny kemudian menyebutkan bahwa pelibatan anak-anak STM dalam demo di Indonesia “sudah pasti” pekerjaan Ikhwanul Muslimin. Ini karena pola yang digunakan identik dengan gerakan di Mesir. Ia menyebut khawatir jika para pelajar ini kemudian dijadikan sebagai alat agar eskalasi demo menjadi semakin bisar, katakanlah jika ada pelajar yang menjadi korban dalam aksi.

Di akhir, Denny meminta para pelajar untuk fokus belajar dan memikirkan bagaimana orang tua mereka sudah susah payah membiayai sekolah mereka dan sudah sewajarnya mereka tidak membuat pusing orang tua dengan ikut-ikutan aksi serta demonstrasi.

Secara keseluruhan, bangunan rasionalitas yang dibuat oleh Denny Siregar memang meyakinkan. Tapi, apakah benar demikian?

Logika Konflik dan Pelajar

Dari penjelasan yang panjang lebar, perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud Denny sebagai pelajar adalah anak sekolah. Dalam KBBI, pelajar diartikan terutama untuk anak sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dengan demikian, ini membedakan statusnya dengan mahasiswa.

Nah, inti dari garis pemikiran yang dibangun oleh Denny Siregar adalah ingin membangun argumentasi bahwa para pelajar atau anak STM seharusnya tidak ikut demonstrasi. Mengapa?

Alasan pertama karena demonstrasi yang melibatkan pelajar seperti anak STM hanyalah agenda politik dari kelompok tertentu – dalam hal ini kelompok Ikhwanul Muslimin – yang ujung-ujungnya hanya akan memperkeruh suasana.

Alasan kedua adalah karena para pelajar yang masih muda dan mencari jati diri, lebih baik fokus belajar di sekolah dan tak ikut aksi-aksi di jalan.

Memang, kalau kita telusuri banyak kasus aksi demonstrasi yang melibatkan anak-anak STM di Indonesia, berawal karena ingin “meramaikan” situasi. Karena ada pesan berantai di media sosial atau lewat WhatsApp misalnya, para pelajar ini seolah menganggap demonstrasi yang ada “kekacauannya” adalah ajang untuk menunjukkan kebolehan.

“Gua kemarin ikut demo di DPR. Anjir, ikut berantem sama polisi juga ampe dikejar-kejar”, demikian kira-kira kalau ada yang bercerita soal pengelaman ikut demo tersebut. Cerita-cerita yang demikian ini tentu menjadi semacam narasi untuk mendapatkan pengakuan di antara teman-teman sebayanya.

Apalagi, anak-anak STM kerap diidentikkan sebagai para pelajar yang suka tawuran. Ini menjadi semacam stereotip yang melekat di masyarakat, mengingat dulu kebanyakan anak STM adalah laki-laki. Dengan demikian, memang fenomena keterlibatan pelajar yang sekedar ikut ramai tanpa tahu intisari dari demonstrasi yang dilakukan menjadi hal yang memprihatinkan. Benar poin Denny di sini.

Namun, apakah dengan demikian semua keterlibatan pelajar dalam demonstrasi menjadi hal yang salah? Tentu saja tidak. Faktanya, sejarah pergerakan dan perubahan yang terjadi di masyarakat banyak negara sering melibatkan pelajar.

Di Amerika Serikat misalnya, ada nama Barbara Rose Johns Powell yang ketika berusia 16 tahun memimpin aksi protes pelajar untuk kesetaraan pendidikan pada tahun 1951. Aksi Powell ini menjadi simbol dari keseluruhan gerakan protes pelajar di AS yang ikut memperjuangkan kesetaraan di masyarakat negara tersebut.

Profesor Ilmu Sejarah dari Indiana University Bloomington, Dionne Danns, dalam salah satu tulisannya di Historians juga menyebutkan bahwa para pelajar ini memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan protes dan aktivisme, misalnya terkait isu rasial dan kesetaraan kesempatan.

Lalu di tahun 1968 ada aksi “Black Monday” yang diprakarsai oleh aktivis-aktivis pelajar di Chicago yang memprotes isu-isu diskriminasi. Di tahun yang sama, protes-protes juga dilakukan oleh para pelajar di berbagai kota di Eropa, misalnya di London, Paris, Berlin dan Roma. Mereka memprotes Perang Vietnam yang di tahun-tahun tersebut sedang jadi isu utama.

Di Singapura, pada tahun 1950-an terjadi protes para pelajar terkait National Service Ordinance yang berujung pada peningkatan simpati pada perjuangan melawan pemerintahan pendudukan Inggris. Peristiwa ini menandai babak baru di masyarakat Singapura dan menjadi momentum menguatnya pengaruh Lee Kuan Yew yang di kemudian hari menjadi pemimpin negara tersebut.

Dengan demikian, agaknya kurang tepat untuk menggeneralisir bahwa para pelajar tidak punya hak untuk mengemukakan pendapat dan melakukan protes karena mereka masih muda dan masih mencari jati diri seperti yang dibilang oleh Denny Siregar. Pasalnya, sebagai negara demokrasi, sudah seharusnya hak setiap orang dilindungi untuk berpendapat, termasuk bagi para pelajar.

Justru harus menjadi catatan bahwa dalam keluarga dan sekolah misalnya, prinsip-prinsip berdemokrasi harus didorong agar tumbuh kembang anak dan pelajar yang berani berpendapat dan tampil memperjuangkan nilai-nilai yang penting bisa didorong dengan sepenuhnya.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Denny adalah sebuah generalisasi yang keliru. Karena ada anak STM yang sekedar gaya-gayaan berdemo dan merusuh, bukan berarti semua pelajar kemudian harus melepaskan hak politiknya dan sekedar fokus belajar serta diam saja jika ada hal-hal yang dirasa tidak benar. Sejarah sudah membuktikan bagaimana demo pelajar menjadi bagian dari perkembangan peradaban.

Denny Siregar Simbolisme Post-Truth?

Kemudian, tuduhan soal adanya keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam menggerakkan pelajar untuk berdemo seperti yang disebut oleh Denny Siregar, sifatnya masih sebatas asumsi. Denny sekedar membandingkan fenomena yang terjadi di Mesir dengan konteks di Indonesia tanpa memberikan bukti relasi Ikhwanul Muslimin dengan para pelajar itu riil-nya seperti apa.

Denny mengambil kesimpulan bahwa menggunakan pelajar sebagai bagian dari demo adalah pola yang sama dengan yang terjadi di Mesir. Dengan demikian, menurut Denny, sudah pasti yang terjadi di Indonesia adalah aksi Ikhwanul Muslimin seperti yang terjadi di Mesir. Padahal, ia tak menyertakan bukti relasi para pelajar Indonesia tersebut dengan Ikhwanul Muslimin seperti apa. Ia sekedar menunjukkan pola yang terjadi di Mesir dan fenomena yang terjadi di Indonesia.

Pada titik ini, Denny sebetulnya terjebak dalam kekeliruan berpikir atau fallacy kategori generalisasi. Tidak ada kesesuaian antara hal yang ia sebut sebagai “kebenaran soal Ikhwanul Muslimin di Indonesia” dengan fakta-fakta yang ia sampaikan. Padahal, jika merujuk pada Aristoteles, kebenaran harus ada di sekitaran fakta. Dalam bentuk teori, hal ini sering disebut sebagai correspondence theory of truth.

Fakta dan kebenaran itu sendiri adalah dua hal yang berbeda. Fakta adalah sesuatu yang 100 persen tidak bisa dibantah kebenarannya. Sementara kebenaran adalah persepsi mengenai fakta.

Contoh, Ketua Umum PDIP Megawai Soekarnoputri berusia 75 tahun. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan jika menghitung dari tanggal lahir yang tertera dalam akta lahir Bu Mega. Sedangkan menyebut “Bu Mega sudah tua” adalah sebuah kebenaran karena usia 75 tahun umumnya dianggap sudah sepuh dan masuk kategori lanjut usia dalam UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

Intinya, fakta dan kebenaran harus selalu beriringan.

Dengan demikian, tanpa menyertakan bukti dan fakta, pernyataan Denny soal Ikhwanul Muslimin seolah menjadi tuduhan tak berdasar. Hal ini kemudian menjadi makin kuat indikasinya jika melihat track record sikap Denny terhadap kelompok-kelompok yang kerap dianggap “garis keras”.

Sebagai sosok influencer, Denny jelas punya pengikut. Dengan demikian, boleh jadi Denny sedang membuat apa yang disebut sebagai alternative fact atau fakta alternatif. Terminologi ini marak diperbincangkan sejak era Donald Trump memimpin AS dan kerap dianggap sebagai salah satu hal yang mendefinisikan era post-truth atau era pasca kebenaran.

Post-truth adalah era ketika penilaian atau perasaan atau agenda pribadi mempengaruhi seseorang membentuk persepsi terkait apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Tidak salah menyebut Denny menjadi simbol dari era ini karena seperti itulah pertarungan yang terjadi di era ini.

Dalam bahasa yang berbeda, Profesor Tone Kvernbekk dari University of Oslo menyebut istilah war narrative atau narasi perang sebagai intisari dari pertempuran di ranah kognitif. Mungkin, inilah yang sedang dijalankan oleh Denny Siregar.

Pada akhirnya, yang terpenting bagi masyarakat adalah untuk selalu bersikap kritis. Sebab, apa yang Denny Siregar di kesempatan kali ini adalah sebuah kekeliruan berpikir yang bisa menyesatkan.

Yang jelas jangan sampai kebebasan orang-orang untuk berpendapat direbut hanya karena alasan: “Kamu masih belum cukup dewasa untuk berbicara”. (S13)

Exit mobile version