Site icon PinterPolitik.com

Mengenang Marsinah, Mengenang Perlawanan

Marsinah

Pernah dengar nama Marsinah? Hari ini, 24 tahun yang lalu, ia ditemukan meninggal mengenaskan di dalam Hutan Jati Wilangan. Tubuhnya memar hancur hanya karena meminta kenaikan upah dari Rp. 1.700 ke angka Rp. 2.250.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]T[/dropcap]untutan tersebut bisa dipenuhi oleh perusahaan, bahkan turut membahas hak-hak buruh yang lain seperti cuti haid, cuti hamil, uang lembur, dan uang transport. Namun, tetap saja hal tersebut tak gratis, Marsinah membayar dengan nyawanya.

Semua bermula pada awal tahun 1993. Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992, berisi imbauan agar perusahaan menaikan kesejahteraan karyawan dengan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Sangat disayangkan, karena tidak semua perusahaan mau menaati kebijakan gubernur tersebut. Salah satu perusahaan yang mangkir adalah PT. Catur Putra Surya (PT. CPS), tempat Masinah bekerja.

Marsinah dan teman-temannya tak terima dengan perlakuan perusahaan, akhirnya buruh memutuskan mogok kerja pada 3 dan 4 Mei 1993. Tuntutannya adalah, menaikan upah dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.250 per hari. Sekitar 5000 buruh ikut turun ke jalan, bahkan Marsinah ikut menyampaikan orasinya di barisan paling depan. Perusahaan menyanggupi tuntutan Marsinah dan kawan-kawannya. Bahkan, turut membahas penghitungan upah lembur, uang transport, cuti haid, dan cuti hamil.

PT. Catur Putra Surya saat ini sudah terendam lumpur Lapindo (foto: Liputan6)

Namun, di hari yang sama, 13 temannya dipanggil oleh Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo atas laporan perusahaan, sebagai dalang kerusuhan dan mogok kerja. Marsinah mengancam, akan membawa kasus ke meja hukum jika teman-temannya dianiaya saat interogasi di Markas Kodim Sidoarjo. Marsinah tak tahu, keberaniannya itu, akan berdampak buruk di malam berikutnya.

Ternyata dugaan tersebut tak meleset, keesokan harinya, 10 temannya dipecat secara sepihak oleh perusahaan. Alasannya, perusahaan sedang dalam keadaan fnansial yang tak menentu. Surat pemecatan sudah disiapkan dan tinggal ditandatangani saja. Ketika tahu hal ini, Marsinah langsung menunjuk perusahaan melanggar kesepakatan butir ke-10 yang menyebutkan, perusahaan tidak akan melakukan intimidasi atau mencari kesalahan karyawan terkait unjuk rasa PT.CPS. Berbekal surat tersebut dan lembaran berkas surat panggilan Kodim Sidoarjo, ia melenggang meninggalkan Tugu Kuning, Desa Siring untuk protes ke perusahaan. Setelahnya Marsinah hilang bak ditelan bumi.

Pada hari Minggu, 9 Mei 1993, jasadnya ditemukan di dalam hutan jati Wilangan, Dusun Jegong, Desa Wilangan. Tubuhnya sudah penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet, tulang panggul hancur, dan di bagian vaginanya terdapat bercak darah. Hasil otopsi menyatakan hasil lebih mengiris hati lagi, yakni luka pada pipi, siku, lengan, perut, luka robek di perut, tulang punggung depan hancur, memar di kandung kemih, pendarahan pada rongga perut, serta penembakan dengan senjata tajam di bagian vagina.

Siapakah Marsinah?

Marsinah bukan berasal dari kalangan yang berada. Ia dilahirkan di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, pada 10 April 1969. Anak kedua dari tiga bersaudara ini, ditinggalkan ibunya meninggal ketika usianya baru menginjak tiga tahun. Ayahnya menikah lagi dengan perempuan dari desa lain, sehingga ia diasuh oleh neneknya yang bernama Paerah. Mungkin karena kehidupan subsisten pedesaan, membuat dirinya terbiasa bekerja di usia yang sangat dini. Mulai dari menjual gabah dan jagung, hingga bersepeda mengantarkan gabah.

Ia menamatkan SD di dua sekolah berbeda, yakni SDN Nglundo sampai kelas V, dan SDN Karangsemi, ketika menginjak kelas VI. Setelah menyelasikan bangku Sekolah Menengah Pertama, ia semakin mantap untuk berkuliah. Maka dari itu, ia ingin masuk SMA Negeri, namun saying sekali gagal. Dengan bantuan keuangan dari pamannya, ia mengenyam pendidikan di SMA Muhammadiyah.

Kebiasaan membacanya semakin menjadi-jadi ketika berada di SMA. Kesukaan itu, membawanya pada mimpi berkuliah di fakultas hukum nantinya. Tetapi sekali lagi, pil pahit harus kembali ditelannya. Karena ketiadaan biaya, ia tidak bisa melanjutan kuliah ke bangku perkuliahan.

poster Marsinah (foto: Antara)

Pilihan yang tersedia untuknya hanyalah bekerja saat itu, maka dirinya merantau ke kota besar Surabaya dan menumpang tinggal di rumah kakaknya yang sudah menikah, Marsini. Marsinah dari sana diterima bekerja di pabrik plastik SKW Kawasan industri Rungkut. Namun, gajinya sangat kurang sehingga ia menjejal pekerjaan lain dengan berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp. 150. Tahun 1990, ia bekerja di PT. Catur Putra Surya. Proses berpindah-pindah ini, dan sambilan yang terus dikerjakannya dilakukan untuk mengantisipasi upah yang kecil. Betapa klasik kisah buruh perempuan yang tinggal di Pulau Jawa ini.

Di sinilah ia mulai berorganisasi, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal (SPSI). Tuntutan ini membuatnya dipindahkan (mutasi) pihak manajemen, dari Rungkut ke Porong, Sidoarjo di awal tahun 1992. Di tempat ini, ia bekerja sebagai operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700 dan uang hadir Rp. 550 per hari.

Drama Penangkapan Pelaku

Selepas kematiannya yang tragis dan mengenaskan, pemberitaan nasional tertuju pada Marsinah. Hampir seluruh lapisan masyarakat menuntut dibukanya kasus dan segera ditangkapnya pembunuh sadis itu. Namun, proses pengadilan tersebut malah diwarnai drama, ketika dibumbui isu cinta segitiga, perebutan warisan, hingga perkosaan, yang tak bisa dibuktikan.

Dari sidang yang dipenuhi kejanggalan, mulai dari pencabutan BAP, bantahan kesaksian, minimnya saksi yang tahu kejadian, kentalnya keterlibatan militer, pengamanan di ruang sidang yang berlebihan, hingga aksi buka baju mewarnai catatan persidangan. Puncak keanehan tersebut adalah, saat tiap terdakwa mendapatkan hukumannya dan mengajukan banding di MA.

Akhirnya, para terdakwa dinyatakan pengadilan bersalah membunuh Marsinah. Pihak manajemen PT. CPS yang ditangkap, yakni Yudi Susanto (pemilik PT. CPS), Judi Astono (Pimpinan Pabrik PT. CPS Porong), Suwono (Kepala Satpam PT. CPS Porong), Suprapto (Satpam PT. CPS Porong), Bambang Wuryantoyo (karyawan PT CPS Porong), Widayat (karyawan dan sopir PT CPS Porong), Achmad Sutiono Prayogi (satpam PT CPS Porong), Karyono Wongso alias Ayip (Kepala Bagian Produksi PT CPS Porong). Termasuk Mutiari (Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong), yang menjadi satu-satunya perempuan yang ditangkap.

Keadaan sidang pembunuhan Marsinah, 1993 (foto: Dokumentasi Tempo)

Satu per satu dijatuhi vonis. Yudi Susanto, misalnya, divonis 17 tahun penjara. Sedangkan Mutiari dihukum 7 bulan karena dianggap hanya mengetahui rencana pembunuhan. Sedangkan sejumlah staf PT CPS lainnya dihukum berkisar empat hingga 12 tahun.

Tak puas dengan hukuman itu, para terdakwa kemudian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Di tingkat ini, Yudi Susanto dibebaskan, sedangkan vonis terdakwa lainnya dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya. Untuk mendapatkan keadilan, sembilan terdakwa lainnya mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

Hampir dua tahun setelah ditemukannya jasad Marsinah di hutan jati Wilangan, tepatnya pada 3 Mei 1995, majelis hakim kasasi membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau bebas murni. Putusan inilah yang meyakinkan banyak pihak bahwa sejak awal penyidikan kasus ini memang sudah kental dengan aroma rekayasa.

Misteri Kematian Marsinah, Abadi?

Saat ini, kemungkinan kasus ini untuk dibuka kembali tentu akan semakin sulit. Setelah 24 tahun berlalu, daya ingat pun mulai lemah. Selain adanya kemungkinan para saksi kunci yang sudah meninggal dunia, mereka yang masih hidup pun besar kemungkinan sudah mulai lupa dengan detail peristiwa.

Selain itu, karena pembunuhan Marsinah terjadi 24 tahun lalu, maka batas kedaluwarsa kasus ini telah dilewati, karena secara hukum kasus pembunuhan menjadi kedaluwarsa setelah 20 tahun dan tak bisa lagi dilakukan penuntutan.

(foto: aktual.com)

Walaupun begitu, masih banyak lapisan masyarakat yang mengingat perjuangannya, mulai dari mahasiswa, aktifis, dan kaum buruh sendiri. Hari ini, mari kita kenang keberanian Marsinah dan mulai ceritakan pada kerabat yang belum pernah mendengar namanya. Lantas, kita bisa tanyakan, apa yang sebenarnya terjadi dengan Marsinah setelah meninggalkan Tugu Kuning di Desa Siring pada Rabu malam itu? Banyak jawaban, tapi tak akan pernah ada yang pasti. Marsinah dan penemuan jasadnya di hutan jati Wilangan akan tetap menjadi misteri. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version