Kewaspadaan tetap harus ada, misalnya, pemantauan dan pengawasan dalam penghitungan suara, mulai dari di TPS, kelurahan, kecamatan, hingga diserahkan ke kantor KPU. Harus ada pengawalan ketat.
pinterpolitik.com
JAKARTA – Rabu, 15 Februari 2017 adalah hari di mana 101 daerah di Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi, bertajuk Pilkada Serentak 2017. Ini kesempatan bagi masyarakat untuk menggunakan haknya secara bebas untuk memilih pemimpin daerahnya.
Hari pemungutan suara itu sudah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai libur nasional, sesuai Keppres No 3 Tahun 2017 yang bunyinya, “Menetapkan hari Rabu 15 Februari 2017 sebagai Hari libur Nasional dalam rangka pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil secara serentak.
Pilkada selalu menarik untuk disimak, karena kesempatan bagi warga untuk betul-betul menggunakan hak pilihnya. Bagi pemula, yang telah berusia 17 tahun, merupakan kesempatan pertama untuk “mulai berpolitik”, berhak memberikan suaranya secara bebas, rahasia, tanpa tekanan, dan tanpa intimidasi dari pihak lain. Hal ini juga bisa sebagai pembelajaran berpolitik secara sehat sesuai peraturan yang dikeluarkan oleh KPU.
Di banyak lingkungan pemukiman didirikan tempat pemungutan suara (TPS), sebagai tempat pencoblosan secara bebas dan rahasia. Di sinilah setiap warga, dengan sepucuk surat C6 (surat panggilan untuk mencoblos), mempertaruhkan suara pilihannya untuk bisa ikut menyumbang bagi kemenangan pasangan calon (paslon) kepala daerah.
Tentu setiap warga menggantungkan harapan ideal untuk suksesnya pilkada serentak ini. Semoga berjalan aman, lancar, dan damai, tanpa gesekan, intimidasi, paksaan, politik uang, penggelembungan suara, dan sebangsanya.
Namun, kewaspadaan tetap harus ada, misalnya, pemantauan dan pengawasan dalam penghitungan suara, mulai dari di TPS, kelurahan, kecamatan, hingga diserahkan ke kantor KPU. Harus ada pengawalan ketat.
Mengapa hal ini menjadi sangat penting? Karena justru di tahap penghitungan suara ini kecurangan bisa muncul. Bisa saja ada oknum petugas atau figur yang disusupkan untuk berbuat curang untuk mendongkrak perolehan suara dari paslon tertentu. Kalau hal ini terjadi bisa menjadi masalah dan cacat demokrasi.
Setiap kubu kandidat melalui partainya bisa menjadi pengawas dalam penghitungan suara. Kalau terjadi masalah, petugas penyelenggara pilkada setempat bisa melaporkannya ke Panwaslu agar bisa diselesaikan dengan benar sesuai aturan. Hal ini tentunya untuk menghindari konflik dan cacat demokrasi dalam pemungutan suara yang sah. (G18)