Site icon PinterPolitik.com

Mengawal Pemilu Ala Hadi Tjahjanto

Foto : Tribunenews

Pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang menyebutkan bahwa pihak-pihak yang menganggu stabilitas politik dan jalannya demokrasi, serta menganggu NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, akan berhadapan dengan TNI menuai kontroversi. Bagaimanakah makna di balik pernyataan tersebut?


PinterPolitik.com

[dropcap]D[/dropcap]alam sebuah acara Latihan Gabungan Satuan Penanggulangan Teror (Latgultor) TNI di Ancol, Jakarta Utara, hari Selasa lalu, ada yang tak biasa dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Didampingi pasukan berbaret ungu dan berseragam loreng hijau, sang Panglima nampak tegas dalam memberikan sebuah pidato.

Sang Panglima menyatakan bahwa institusi yang dipimpinnya siap mengamankan  jalannya Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang jatuh pada tanggal 17 April mendatang.

Namun ada yang menarik dari isi pidatonya tersebut. Dengan nada tinggi dan terdengar tegas, sang Panglima menegaskan bahwa TNI siap membela Tanah Air jika terdapat potensi ancaman yang dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan negara.

Ia juga akan memastikan bahwa jika ada pihak-pihak yang menganggu stabilitas politik dan jalannya demokrasi, serta menganggu NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, maka pihak-pihak itu akan berhadapan dengan TNI.

Dalam kesempatan tersebut, Hadi juga menegaskan bahwa TNI akan netral dalam Pemilu kali ini. Ia menekankan bahwa politik TNI adalah politik negara.

Pidato sang Panglima pun disambut dengan seruan NKRI Harga Mati dari kepala staf angkatan, komandan pasukan khusus, hingga prajurit TNI yang berada di sekelilingnya.

Ketegasan sang Panglima dalam berpidato bahkan terkesan agak “garang” dan lebih terlihat sebagai pidato “gertakan” bagi siapa-siapa yang melihat secara langsung rekaman video tersebut.

Tentu menarik untuk menelaah ucapan dari sang jendral bintang empat tersebut, mengingat situasi politik dalam negeri menjelang Pemilu ini memang bisa dikatakan “agak panas” dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Lalu, mungkinkah ada makna lain di balik pidato yang diwacanakan oleh sang Panglima TNI?

Militer dalam Pemilu

Dalam konteks Pemilu di Indonesia, sejarah pernah mencatat bahwa intervensi militer dalam momentum transisi demokrasi pernah terasa menyakitkan di saat pecahnya tragedi di tahun 1998.

Dalam peralihan kekuasaan dari Orde Baru menuju reformasi, sayangnya sejarah mencatatkan bahwa perlakuan militer kepada rakyat sipil yang kala itu turun ke jalan untuk menuntut reformasi dan Pemilu secara langsung dapat dikatakan cukup mencederai HAM.

Salah satu yang mendukung tindakan represif militer itu tentu saja karena adanya Dwi Fungsi ABRI yang kala itu cukup memberikan legitimasi bagi militer untuk cawe-cawe ke ranah sipil.

Oleh karenanya, wilayah kerja TNI saat ini dibatasi dengan dihapuskannya undang-undang Dwifungsi ABRI yang menjadi warisan Orde Baru.

Dalam konteks politik Indonesia dewasa ini, sesungguhnya memang sudah kewajiban militer untuk menjaga ketertiban dan kedamaian dalam setiap momentum Pemilu. Hal ini disebabkan karena Pemilu memang merupakan sebuah momentum yang rawan untuk terjadinya konflik dan kerusuhan.

Sedangkan trauma terhadap peran militer dalam politik di masa lalu itulah yang membuat posisi militer dalam politik hingga hari ini begitu sensitif, utamanya menjelang kontestasi elektoral seperti sekarang ini.

Dalam ranah kerjanya setelah dihapuskannya Dwifungsi ABRI, kini TNI memang lebih dibatasi ruang geraknya di ranah sipil. Salah satunya melalui status Bawah Kendali Operasi (BKO) ketika militer bergerak menjauhi barak dalam misi yang bersifat non-operasi militer, misalnya memberikan bantuan kepada Polri untuk mengamankan Pemilu dari potensi kerusuhan.

Hal ini telah diatur dalam Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri serta tugas pokok dan fungsi TNI untuk memberi bantuan kepada Polri pada kondisi tertentu yang tertuang dalam Undang-undang RI Nomor 34/ 2004 tentang TNI, pasal 7 b poin 10.

Namun, ucapan Panglima TNI tentang yang mengganggu jalannya demokrasi dalam Pemilu akan berhadapan langsung dengan TNI tentu saja bukanlah sebuah gimmick belaka. Peringatan tersebut sayangnya memiliki sejuta makna untuk ditafsirkan, salah satunya dalam konteks politik praktis.

Menembak Oposisi?

Apa yang disampaikan Marsekal Hadi Tjahjanto tersebut memang terlihat seperti gertakan, khususnya pernyataan yang menyebut bahwa jika ada pihak-pihak yang menganggu stabilitas politik dan jalannya demokrasi akan berhadapan dengan TNI.

Diksi “berhadapan dengan TNI” ini begitu sensitif, mengingat menjelang 7 hari sebelum pencoblosan ini suasana politik memang nampak memanas. Lalu mungkinkah secara eksplisit ucapan sang Panglima ini memang ditujukan untuk oposisi?

Meskipun tidak mudah untuk menjawabnya, setidaknya ada beberapa gejala yang harus diperhatikan. Salah satunya adalah isu upaya delegitimasi Pemilu yang akhir-akhir ini berhembus kencang dan secara khusus, kubu oposisi yang memang kerap menggaungkannya.

Sebut saja tentang seruan people power Amien Rais yang cukup memberikan efek panik bagi siapapun yang mendengarnya. Sebelumnya, Amien juga mempersoalkan adanya 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah.

Ia juga sempat mempermasalahkan penghitungan hasil Pemilu yang selalu dilakukan di Hotel Borobudur dan menyebutnya rawan untuk dicurangi.

Selain itu, tudingan kedekatan Prabowo dengan kelompok-kelompok Islam konservatif selama ini juga menghidupkan kembali perdebatan tentang ancaman ideologi khilafah terhadap Pancasila yang cukup membuat aparat bersenjata bersikap ekstra hati-hati dan cenderung mengawasi.

Narasi ini juga sempat dilontarkan para pensiunan jenderal yang kini dekat dengan kekuasaan, misalnya Wiranto dan AM Hendropriyono.

Dalam konteks pernyataan Hadi, bisa saja apa yang diucapkan pria berkumis tersebut memiliki kekuatan politik yang juga besar.

TNI bisa menjadi jaminan terhadap keadaan negara di saat-saat pergantian kekuasaan mengingat kekuatan mereka yang tak bisa dianggap remeh. Hal ini sempat diungkapkan oleh Benjamin H. Beets dalam tulisannya yang berjudul The Political Influence of the Military.

Ia menyebut bahwa pasca lengsernya Soeharto dan direformasinya ABRI, militer tetap mendapat tempat di hati masyarakat karena lemahnya institusi-intitusi sipil – seperti DPR dan eksekutif. TNI juga masih memiliki posisi kuat dalam isu-isu keamanan domestik.

Dalam konteks ini, isu kedekatan Jokowi dengan sang Panglima juga tak bisa terhindarkan.

Seperti di kutip dari DW Indonesia, Hadi Tjahjanto diketahui telah menjadi mitra dekat Jokowi sejak tahun 2010-2011. Kala itu saat ia menjabat sebagai Komandan Lanud Adi Soemarmo dan Jokowi sebagai Wali Kota Solo.

Kedekatan ini berlanjut, ketika Jokowi duduk di Istana. Karier Hadi meroket menyalip seniornya, bahkan dalam waktu tiga tahun, Hadi tercatat dua kali dipromosikan hingga akhirnya menduduki posisi KSAU. Dua tahun setelahnya, Hadi didapuk sebagai Sesmil Presiden.

Kedekatan tersebut akhirnya mewujud ketika Gatot Nurmayanto digantikan oleh Hadi.

Sehingga, menafsirkan ucapan sang Panglima TNI sebagai sebuah bentuk gertakan bagi kelompok-kelompok yang telah dijelaskan di atas tentu bukanlah hal yang berlebihan.

Dalam konteks politik, hal ini bisa terjadi karena Jokowi adalah presiden sipil yang membutuhkan legitimasi kekuasaan militer. Ia bukan pimpinan partai, pun tak punya rekam jejak militer, sehingga dirinya harus melakukan konsolidasi dengan militer.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Leonard C. Sebastian, Emirza Adi Syailendra, Keoni Indrabayu Marzuki dalam jurnal yang berjudul Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period.

Adanya potensi delegitimasi Pemilu tentu menjadi ancaman tersendiri bagi petahana. Oleh karenanya, memiliki tameng untuk mengamankan posisi dan legitimasi kekuasaan melalui kekuatan militer menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

Lalu, mungkinkah gertakan Panglima TNI ini ampuh untuk membendung potensi kerusuhan di hari Rabu mendatang? Menarik untuk ditunggu. (M39)

Exit mobile version