Dengarkan artikel ini:
Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Beijing, Tiongkok, usai dilantik kembali menjadi presiden untuk kelima kalinya. Di sana, Putin disambut dengan megah oleh “situationship-nya,” Presiden Tiongkok Xi Jinping.
“I don’t like anyone except sometimes you” – NIKI, “Backburner” (2022)
Mungkin, sebagian besar sudah tidak asing dengan potongan lirik di atas. Kutipan ini berasal dari salah satu lagu NIKI, seorang penyanyi kelahiran Indonesia, yang berjudul “Backburner” (2022).
Boleh jadi, lagu ini menjadi semacam lagu kebangsaan bagi mereka yang terjebak dalam cinta satu sisi, yang mana hanya salah satu pihak yang memiliki rasa sedangkan pihak lainnya tidak. Bahkan, saking cintanya, pihak yang mencinta ini sampai rela hanya dijadikan backburner, istilah yang menggambarkan bagaimana sesuatu hanya menjadi pilihan terakhir meski berguna.
Lirik NIKI ini bisa dibilang sangat menggambarkan situasi yang kerap disebut sebagai situationship. Dalam sebuah situationship, terdapat dua orang yang saling berbagi waktu bersama tetapi tidak memiliki ikatan pasti seperti sebuah hubungan.
Biasanya, tidak jarang salah satu pihak akhirnya merasa jatuh cinta. Sementara, pihak lainnya hanya merasa diri mereka tidak lebih, tidak memiliki hubungan atau ikatan cinta yang berarti.
Hmm, boleh jadi, populasi para backburner di luar sana sangatlah banyak. Bahkan, lagu ini sempat disebut menjadi anthem bagi kaum backburner.
Mungkin, anthem ini juga cocok untuk menggambarkan hubungan dua pemimpin negara, yakni Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping.
Bagaimana tidak? Keduanya bisa dibilang tengah menjalin hubungan yang mirip-mirip dengan situationship. Terkadang, Rusia dan Tiongkok tampak dekat. Namun, terkadang juga, dua negara ini tidak memiliki ikatan secara pasti.
Hmm, memangnya, bagaimana sebenarnya hubungan kedua negara ini? Bukannya Putin dan Xi bahkan begitu kompak hingga mengeluarkan pernyataan bersama yang mengutuk Amerika Serikat (AS) pada pertemuan tingkat tinggi yang digelar pada 16-17 Mei 2024 lalu? Mengapa mereka bisa dibilang sedang berada dalam “situationship”?
Putin “Sayang” Xi Jinping
Baik Tiongkok maupun Rusia sama-sama memiliki ketidakpuasan terhadap apa yang dilakukan oleh AS selama ini. Bisa dibilang, mereka menemukan teman yang merupakan musuh dari musuhnya.
Seperti yang diketahui, situationship bisa berlangsung sangat lama. Kedua belah pihak biasanya selalu membagi dan menghabiskan waktu bersama. Sering kali, ini karena mereka merasa cocok dengan satu sama lain dalam banyak hal.
Hal yang mirip juga terjadi antara Xi dan Putin. Lebih dari kepala negara atau pemerintahan lainnya, Xi dan Putin disebut sudah bertemu, baik secara langsung maupun secara virtual, lebih dari 40 kali.
Mungkin, bila secara virtual, ini mirip dengan konsep sleep call dalam situationship. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam di telepon pada malam hari bila tidak bertemu.
Kecocokan bisa jadi memang hadir di antara Xi dan Putin. Keduanya merupakan dua individu yang memimpin dua negara yang sama-sama tidak puas dengan tatanan dunia yang dibangun oleh negeri Paman Sam.
Dengan menurunnya dominasi AS di panggung global, negara-negara yang tidak puas ini akhirnya menjadi penantang potensial. Ini sejalan dengan teori pergeseran kekuatan (power transition theory) yang dicetuskan A.F.K. Organski dalam bukunya yang berjudul World Politics.
Organski menilai bahwa, bila kesenjangan kekuatan antara negara dominan dengan negara penantang semakin kecil, maka konflik bisa saja terjadi antara keduanya. Kemungkinan konflik akan menjadi semakin besar bila negara potensial adalah negara yang tidak puas dengan tatanan dunia yang dibangun negara dominan.
Meski begitu, tetap saja, Tiongkok belumlah setingkat dengan AS meski disebut-sebut bisa menjadi hegemon global. Maka, bagaimana cara yang paling masuk akal bagi Tiongkok untuk bisa menantang hegemoni AS?
Caranya adalah dengan mengumpulkan kekuatan bersama negara-negara lain yang juga tidak puas dengan AS. Salah satunya adalah Rusia.
Ini terlihat dari bagaimana Beijing akhirnya berusaha menjaga hubungan dekatnya dengan Moskow. Dalam banyak inisiatif, seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), keduanya juga tampil bersama layaknya dua champions yang siap memimpin negara-negara berkembang untuk melawan hegemoni Barat.
Well, bila benar keduanya sudah cocok, mengapa mereka tidak langsung saja “jadian,” misal dengan membangun aliansi layaknya AS dengan negara-negara Eropa melalui North Atlantic Treaty Organization (NATO)? Mengapa pilihan ini tidak menjadi keputusan yang jelas bagi Xi dan Putin?
Xi “Ragu” dengan Putin?
Meski keduanya memiliki kesamaan dalam memandang ke depan, Rusia dan Tiongkok belum tentu punya tujuan yang sama. Mudahnya, satu pihak ingin “jadian” tetapi satu pihak lainnya hanya ingin menjadi FWB (friends with benefits).
Seperti yang pernah dituliskan di PinterPolitik.com dalam artikel yang berjudul “Putin Cuma Bisa Jadi Beban?”, hubungan Tiongkok dan Rusia sebenarnya tidak sebaik yang digambarkan di media-media oleh Putin dan Xi.
Tiongkok sebenarnya ingin menjalankan hubungan diplomatik yang baik dengan banyak negara. Inipun termasuk dengan beberapa negara Barat, khususnya negara-negara Eropa.
Ini terlihat dari bagaimana Xi melakukan kunjungan ke Eropa beberapa hari sebelum akhirnya menyambut kedatangan Putin. Xi bahkan bertemu dengan pemimpin Uni Eropa, yakni Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Bagaimanapun, Tiongkok masih ingin ekonominya terus bertumbuh dan cara ini akan dilakukannya dengan menjaga hubungan baik dengan negara-negara manapun, termasuk Eropa yang notabene adalah musuh Putin.
Namun, di sisi lain, Rusia semakin ke sini semakin bergantung pada Tiongkok. Dengan sanksi-sanksi ekonomi yang diberlakukan Barat, Rusia akhirnya membutuhkan pasar untuk menjual produk-produknya. Salah satunya adalah minyak bumi yang mana kini ekspornya dominan ke Tiongkok.
Di sisi lain, Tiongkok justru mendapatkan untung untuk bisa berjualan lebih banyak ke Rusia. Banyak produk Tiongkok – seperti mobil – akhirnya menyerang pasar Rusia.
Dependensi Rusia kepada Tiongkok ini akhirnya membuat hubungan keduanya semakin tidak seimbang. Dan, bukan tidak mungkin, layaknya sebuah situationship, Rusia sangat bergantung pada Tiongkok, sedangkan Tiongkok ingin memiliki banyak opsi lain, termasuk dengan Eropa yang kerap menjadi oposan terhadap Putin. (A43)\