Kesibukan eks Ketum Partai Hanura Wiranto yang bersafari ke markas PPP hingga menemui Prabowo Subianto seolah meninggalkan tanya tersendiri. Mengapa hingga kini Wiranto seolah masih berkeinginan dan harus “bersusah payah” untuk eksis di blantika politik dan pemerintahan tanah air, katakanlah dibanding kolega militernya seperti Prabowo maupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Warawiri mantan Panglima ABRI yang juga eks Ketua Umum (Ketum) Partai Hanura Wiranto tampaknya menunjukkan dirinya masih ingin berkontribusi dalam Pemilu 2024.
Itu setelah Wiranto tampak sibuk bersafari dengan mendatangi dua aktor politik dalam waktu yang berdekatan.
Sosok yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) RI itu kemarin (1/5) mendatangi dua pimpinan partai politik sekaligus, yaitu PPP dan Gerindra.
Pada pagi hari, Wiranto terpantau menyambangi Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Tak datang sendirian, Wiranto seolah mengantarkan sejumlah mantan kader Hanura loyalisnya untuk diusulkan sebagai bakal calon anggota legislatif (caleg) dari PPP di Pemilu 2024.
Lalu di sore harinya, Wiranto menyambangi Padepokan Garuda Yaksa Hambalang, Bogor untuk menemui Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Persis seperti tujuannya ke markas PPP, Wiranto pun turut “menitipkan” eks loyalisnya di Partai Hanura sebagai bacaleg di Partai Gerindra.
Bukan tanpa alasan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu mengatakan terdapat eks kader Hanura yang cenderung nasionalis dan cocok untuk berjuang bersama Partai Gerindra, serta ada pula mereka yang berkarakter Islamis serta tepat untuk berkontribusi melalui PPP.
Spefisik di Hambalang, Wiranto mengapresiasi Partai Gerindra yang disebutnya sangat menghormati dan menghargai para pendahulu bangsa.
Di hadapan awak media, Prabowo secara tersurat mengajak senior lichting-nya di AKABRI itu untuk bekerja sama di politik dan pemerintahan tanah air demi menyudahi adu domba politik selama ini.
Pada pekan sebelumnya (25/4), Prabowo memang sempat menyambangi kediaman Wiranto di kawasan Bangka Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, bingkai silaturahmi Idulfitri menjadi tajuk safari Prabowo yang juga mengunjungi sejumlah purnawirawan TNI seperti AM. Hendropriyono, Agum Gumelar, hingga Widodo A.S.
Akan tetapi, jika perspektif analisis fokus diarahkan ke manuver Wiranto bertandang menyambangi PPP dan Partai Gerindra, agaknya kesan dan tanya tersendiri masih tertinggal.
Salah satu impresi itu kiranya adalah ironi, utamanya ketika abiturien Akabri 1968 itu yang kini seolah harus “bersusah payah” untuk eksis, katakanlah jika dibandingkan dengan kompatriotnya yang memiliki karier politik lebih baik seperti Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lantas, mengapa itu bisa terjadi?
Kalah Modal dan Keberanian?
Komparasi Wiranto dengan Prabowo dan SBY bukan tanpa alasan. Sebab, KSAD ke-19 itu adalah satu-satunya capres dari kalangan militer sejak era Reformasi yang justru redup pasca kontestasi.
Ya, Wiranto sempat dipercaya Partai Golkar menjadi kandidat RI-1 di Pilpres 2004 berpasangan dengan Salahuddin Wahid.
Menempati urutan ketiga dari lima pasangan capres-cawapres pada edisi tersebut, Wiranto justru “turun kasta” sebagai cawapres Jusuf Kalla (JK) di Pilpres 2009 meski telah membawa kendaraan politik sendiri yang ia dirikan, yakni Partai Hanura.
Jika diinterpretasi, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa Wiranto seolah meredup jika dibandingkan dengan Prabowo maupun SBY, yaitu momentum, modal politik, dan keberanian politik.
Pertama, mengenai momentum. Nyatanya, hampir serupa dan berkorelasi dengan luck atau keberuntungan, momentum memiliki signifikansi penting bagi karier seorang aktor politik.
Momentum, atau bahasa kerennya timing, sebagaimana dijelaskan Luis Rubio dalam Time in Politics menjadi hal yang cukup esensial untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik dilakukan atau dikemukakan.
Menurut Rubio, preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dalam sebuah interaksi maupun proses politik.
Dalam kasus Wiranto, kemenangannya dalam konvensi Partai Golkar sebagai capres di edisi 2004 silam sebenarnya memberikan kesempatan terbuka untuk menjadi RI-1.
Roh zaman atau zeitgeist seperti yang menjadi gagasan filsuf Jerman Georg W. F. Hegel waktu itu seolah masih mendambakan ketegasan militer untuk memimpin negeri, namun dengan karakteristik yang lebih segar.
Akan tetapi, kandidat berlatar belakang militer lain, yakni SBY, nyatanya mendapatkan momentum lebih baik.
Hal itu kemungkinan besar dikarenakan, masih ada stigma atau preseden tertentu dari kendaraan politik Wiranto, yakni Partai Golkar, pasca Reformasi. Ihwal yang berbeda dengan SBY di mana hadir bersama Partai Demokrat dengan wajah politik baru plus visi tenar kala itu, yakni mengembalikan militer ke barak.
Sedikit mengulas momentum Prabowo, pasca menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri di Pilpres 2009, langkahnya pun tak berhenti dan justru naik kelas menjadi capres di edisi 2014.
Itu berbanding 180 derajat dengan Wiranto yang justru melakukan hal sebaliknya di Pilpres 2009, meski dengan kendaraan politik baru.
Selain itu, serupa dengan SBY, Prabowo menjadi sosok berlatar belakang militer yang menjadi ikon di partainya, Partai Gerindra, tanpa banyak gejolak internal berarti.
Kedua, modal politik Wiranto kiranya tak serupa dengan Prabowo maupun SBY, tentu dalam artian akumulasi dari berbagai aspek “modal” yang tersedia.
Dalam publikasi berjudul Defining Political Capital, Kimberly L. Casey mengatakan terdapat beberapa jenis modal yang dapat terkonversi menjadi modal politik, yaitu modal institusional, modal sumber daya manusia (SDM/human capital), modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik, dan modal moral.
Secara singkat, impresi kurang menguntungkan di awal karier politik sebagai perpanjangan tangan Partai Golkar era Orde Baru (Orba) menjadi awal perbedaan Wiranto dengan Prabowo-SBY dalam konteks modal sosial, kultural, maupun simbolik.
Meski Prabowo juga lekat dengan impresi serupa, keterlibatannya di politik sedikit “lebih baik”. Selain dari faktor momentum, kemunculan Prabowo tampak diiringi dengan modal lain yang lebih kuat berupa aspek finansial serta kepiawaian memelihara jejaring institusional.
Itu terbukti dari siklus konsolidasi-segregasi-konsolidasi yang dikelola Prabowo terhadap PDIP + Megawati, misalnya, di Pilpres 2009, 2014, dan 2019, yang mana berujung pada dirangkulnya mantan Danjen Kopassus itu ke pemerintahan tiga tahun lalu.
Pun dengan SBY. Selain roh zaman dan visi mereduksi cengkraman karakteristik militer nan otoriter dalam pemerintahan, karakteristik kekuasaannya di dua periode beruntun (2009-2014) tampak membuatnya memiliki modal politik yang cukup. Bahkan, untuk diwariskan ke sang penerus, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat ini.
Sementara itu, meski Wiranto berhasil mendirikan Partai Hanura pada 2006 silam, turun kasta menjadi cawapres pada 2009 ditambah dengan status nyaris tak lolos parlemen (juru kunci ambang batas parlemen) di 2009 dan 2014 menjadikan modal politik yang telah diinvestasikannya seolah terkikis.
Meski sempat menjabat Menko Polhukam (2016-2019), mimpi buruk tak lolos parlemen di Pileg 2019 yang menjadi kenyataan, ditambah konflik internal Partai Hanura yang terus meruncing membuat Wiranto justru harus jatuh dari kendaraan politiknya sendiri.
Modal politik Wiranto kiranya juga tergerus dengan isu perseteruan Wiranto dan Partai Hanura yang disebut telah terjadi sejak tahun 2016 ketika sang jenderal bintang empat itu diisukan menukar jabatan menteri yang diemban oleh dua orang kader partai dengan jabatan Menko Polhukam untuk dirinya sendiri.
Selain itu, terdapat satu faktor lain yang cukup menarik terkait nyali politik Wiranto yang tak sebesar Prabowo-SBY. Benarkah demikian?
Nyali Wiranto Hilang?
“Penakut”, begitu predikat yang diberikan Presiden ke-2 RI Soeharto kepada Wiranto sebagaimana tertulis dalam buku The Indonesian Military After the New Order karya Sukardi Rinakit.
Itu setelah Wiranto yang menjabat Panglima ABRI menolak untuk menggunakan otoritas yang diberikan kepadanya untuk menetapkan kebijakan yang bersifat lebih kuat dan proaktif – atau ada yang menyebutnya darurat militer – kendati telah didukung pula oleh SBY pada saat krisis 1998 terjadi.
Meski terdapat pihak yang menilai skenario yang ditempuh Wiranto berhasil mencegah head-to-head militer dan rakyat yang lebih buruk, pengalaman dilematisnya saat itu seolah turut memengaruhi level nyali dalam menopang karier politiknya di kemudian hari.
Artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Wiranto dan Ambisi Politik Yang Hilang, misalnya, turut mempertanyakan eksistensi ambisi Wiranto dalam politik dan kekuasaan setelah berbagai dinamika karier politiknya selama ini.
Wiranto cenderung tampak memainkan peran protagonis atau penengah sepanjang kiprahnya di politik dan pemerintahan pasca 2014 yang membuat namanya tak cukup leluasa untuk melakukan manuver lebih menonjol.
Di samping itu, satu realita menariknya yang dapat diamati adalah, Wiranto seolah menguak bahwa mereka yang pernah menjabat Panglima ABRI atau TNI – selain Soeharto – seolah ditakdirkan memiliki karier politik yang tak secemerlang rekan serdadu lain yang tak mengampu posisi tersebut.
Kendati demikian, kini Wiranto kiranya memang berkeinginan untuk tetap memainkan peran “baik” itu. Tak terkecuali di kontestasi elektoral 2024 pasca pertemuan dengan PPP dan Partai Gerindra.
Tentu, untuk melanjutkan pengabdiannya bagi negara berdasarkan “DNA” khas para jenderal politisi Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutan langkah politik Wiranto ke depan. (J61)