Site icon PinterPolitik.com

Mengapa Tito Ungkap Bahaya Pengangguran?

Mengapa Tito Ungkap Bahaya Pengangguran?

Mendagri Tito Karnavian sebut pengangguran dapat menjadi “bencana” demografi (Foto: Matamatapolitik)

Selain berpotensi menyebarkan hoaks dan menjadi pelaku kejahatan, Mendagri Tito Karnavian juga menyebutkan pengangguran dapat membuat seseorang berperilaku radikal, khususnya di sosial media. Pada temuan berbagai studi, pernyataan Tito memang mendapatkan pembenaran. Akan tetapi, membandingkan pada pemerintah yang saat ini tengah mendorong Omnibus Law karena dipercaya dapat menurunkan tingkat pengangguran, patut diduga bahwa pernyataan mantan Kapolri tersebut memiliki pertautan dengan undang-undang sapu jagat tersebut. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Sama halnya dengan negara-negara berpenduduk padat lainnya, Indonesia juga tengah menikmati surplus tenaga kerja atau yang akrab dikenal sebagai bonus demografi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, jumlah usia produktif (14-64 tahun) di Indonesia mencapai 179,1 jiwa, di mana 63,4 juta di antaranya adalah milenial (20-35 tahun).

Akan tetapi, bonus demografi tersebut tidak semata-mata memberikan manfaat positif semata, melainkan juga memiliki sisi lain yang justru menjadi ancaman tersendiri. Pasalnya, atas bertambahnya jumlah tenaga kerja tersebut, nyatanya tidak berbanding lurus dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Artinya, alih-alih menjadi “berkah”, bonus demografi justru berpotensi untuk menciptakan gejolak sosial, ekonomi dan politik.

Senada, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian juga menyebutkan apabila surplus tenaga kerja itu tidak terserap – alias menjadi pengangguran – itu justru akan menjadi bencana demografi.

Konteksnya menjadi semakin menarik, setelah Tito menyebut pengangguran yang tentunya memiliki gawai dapat menjadi aktor-aktor penyebar hoaks di sosial media (sosmed).

Tidak hanya itu, mereka juga disebutkan dapat berpotensi menjadi aktor-aktor kejahatan baru, seperti menjadi begal, penipu, bahkan menciptakan konflik sosial. Yang lebih menarik lagi, mantan Kapolri tersebut juga menyebutkan bahwa kelompok kerja yang tidak terserap ini dapat bertindak radikal di sosmed.

Menariknya, Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari juga memaparkan hal yang sama dengan Tito dalam acara Foreign Policy Community of Indonesia yang bertajuk “Indonesia’s Economic & Political Outlook 2020” pada 13 Desember 2019 lalu.

Menurut Qodari, setelah Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto bergabung ke dalam koalisi pemerintah, ancaman kestabilan politik bagi pemerintahan Presiden Jokowi saat ini justru datang dari kelas menengah atau middle class, dan bukannya kelas bawah atau lower class.

Beda halnya dengan kelas bawah yang cenderung tidak memiliki pendidikan, gawai, dan aktif bermain sosmed, kelompok kelas menengah ini memiliki kapabilitas untuk menyebarluaskan berbagai ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, tengah terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi di kisaran angka 5 persen.

Menurut Qodari, ketidakpuasan tersebut ditengarai karena kegalauan mereka akibat belum memiliki pekerjaan, ataupun tidak mendapatkan upah kerja yang mereka ekspektasikan sebagai kelompok yang mengenyam pendidikan tinggi.

Singkat kata, poin masalah yang diungkap oleh Tito dan Qodari adalah pemerintah harus menyelesaikan persoalan pengangguran yang nampaknya telah menjadi “benalu” di setiap pemerintahan.

Akan tetapi, melihat pada konteksnya, pernyataan tersebut dikemukakan Tito dalam rangka untuk mendorong bertambahnya investasi guna untuk mendorong laju roda perekonomian. Kemudian, pemerintah juga tengah disorot terkait Omnibus Law yang disebut tidak ramah terhadap buruh karena memberi porsi perhatian berlebih kepada pengusaha.

Artinya, apakah pernyataan Tito terkait bahaya pengangguran tersebut sebenarnya adalah “bahasa politik” agar Omnibus Law yang disebut dapat menurunkan angka pengangguran tersebut didukung?

Menguji Pernyataan Tito, Benarkah?

Sebelum menguji motif pernyataan Tito, yang tidak kalah pentingnya tentu saja menguji apakah bahaya pengangguran yang disebutkan oleh mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut benar adanya?

Pertama, terkait mungkinnya penggangguran menyebarkan hoaks karena mengisi waktunya dengan banyak bermain sosmed, konteks tersebut mendapat afirmasi dari Peter Siciu dalam tulisannya di Forbes, yang menyebutkan bahwa sosmed memang memiliki peran besar dalam menyebarkan hoaks, bahkan juga dapat menciptakan pembelahan politik.

Tidak hanya karena faktor minimnya peran para perusahaan sosmed untuk menghentikan penyebaran informasi palsu (hoaks) dan misinformasi atau informasi yang tidak tepat. Siciu juga mengutip pernyataan Nathaniel Ivers dari Wake Forest University yang menekankan bahwa akar dari masalah tersebut adalah pada pertanggungjawaban masing-masing pengguna sosmed.

Masalahnya adalah, seperti yang diungkapkan oleh Qodari, rasa ketidakpuasaan terhadap pemerintahan, sering kali membuat masyarakat abai terhadap penyebaran informasi di sosmed.

Kedua, pernyataan Tito bahwa pengangguran dapat menjadi aktor kriminal baru juga telah mendapatkan afirmasi dari berbagai penelitian. Hal tersebut misalnya dibuktikan oleh Kerry L. Papps dan Rainer Winkelmann dalam tulisannya Unemployment and Crime: New Evidence for an Old Question.

Dalam penelitiannya yang meneliti pengangguran dan kejahatan di New Zealand dari tahun 1978-1996, ditemukan grafik data pengangguran dan kejahatan hampir selalu berdekatan. Kendati tidak disimpulkan sebagai suatu kausalitas, namun kedekatan grafik tersebut cukup memberikan kesimpulan bahwa keduanya memiliki korelasi.

Ketiga, terkait pengangguran dapat berperilaku radikal, lagi-lagi pernyataan Tito tersebut sepertinya benar. Bahkan tidak hanya dapat memicu radikalisme, dalam tulisan Anirudhha Bagchi dan Jomon A. Paul yang berjudul Youth Unemployment and Terrorism in the MENAP (Middle East, North Africa, Afghanistan, and Pakistan) Region, juga ditemukan relasi antara anak muda yang menjadi pengangguran dengan terorisme domestik, hingga terorisme transnasional.

Untuk Mendukung Omnibus Law?

Merangkum ketiga hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ancaman pengangguran yang disebutkan oleh Tito tampaknya memang benar adanya. Tentunya itu dapat menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah untuk mendorong berbagai pihak agar mendukung Omnibus Law yang disebut dapat menurunkan angka pengangguran.

Hal tersebut misalnya diungkapkan oleh pakar hukum ketenagakerjaan, Payaman Simanjuntak yang menyebutkan dengan adanya Omnibus Law, maka itu dapat mempercepat investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Secara tidak langsung, hal tersebut akan menciptakan lapangan kerja.

Tidak tanggung-tanggung, Payaman juga optimis bahwa Omnibus Law dapat menurunkan tingkat pengangguran sampai di bawah 4 persen.

Berdasarkan data BPS per Agustus 2019, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,05 juta jiwa, atau sebesar 5,28 persen. Dengan kata lain, jika benar Omnibus Law dapat menurunkan tingkat pengangguran sampai di bawah 4 persen, itu tentu merupakan capaian yang luar biasa, dan juga meningkatkan peluang mengubah bonus demografi menjadi sebuah “berkah”.

Melihat dari kacamata bisnis atau pengusaha, pernyataan Tito dan potensi keuntungan ekonomi dari Omnibus Law memang menjadi suatu hal yang begitu menggiurkan. Akan tetapi, dalam melihat undang-undang sapu jagat tersebut, tentu tidak dapat dilakukan menggunakan “kacamata kuda”, atau perlu juga untuk mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin menyertainya.

Sampai saat ini, produk hukum tersebut mendapat berbagai penolakan karena dipandang mengesampingkan persoalan ekologi atau lingkungan, meminggirkan perempuan atau bias gender, hingga disebut merugikan buruh.

Tidak hanya dapat menciptakan gejolak sosial, karena justru dapat merugikan buruh dan perempuan, pemerintah juga dapat menelan kerugian secara ekonomi apabila mengabaikan persoalan lingkungan, khususnya jika Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dihapuskan dalam pengajuan izin usaha, seperti pertambangan.

Pada kasus PT Freeport misalnya, di mana pada 2017 lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempublikasikan temuan yang menyebutkan terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 185,58 triliun karena operasi tambang terbesar di Indonesia tersebut mengakibatkan berbagai pelanggaran, khususnya terkait lingkungan.

Namun, dalam keterangan terbaru, kerusakan lingkungan tersebut justru disebutkan bukanlah kerugian negara ataupun besaran denda yang harus dibayarkan. Ini tentu merupakan perubahan pernyataan yang menarik. Pasalnya, perubahan tersebut terjadi setelah divestasi PT Freeport berhasil dilakukan pada 2018 lalu.

Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami, dengan benarnya pernyataan Tito terkait bahaya dari pengangguran, itu menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk makin kuat mempromosikan Omnibus Law. Pemerintah juga seolah menggunakan alasan-alasan yang demikian untuk meraih makin banyak dukungan demi menyukseskan usulan undang-undang tersebut.

Akan tetapi, pemerintah juga tidak boleh abai dalam melihat dampak negatif yang juga dapat terjadi apabila undang-undang sapu jagat tersebut sah menjadi produk hukum. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version