Dengarkan artikel berikut
Tiongkok sering diagadangkan akan menjadi negara adidaya baru pengganti Amerika Serikat (AS), tapi apakah Tiongkok sanggup?
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 merupakan salah satu acara politik yang paling dinanti. Hal ini tidak mengherankan, karena pertemuan ini mempertemukan para pemimpin dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia, termasuk dua negara yang sering dianggap sebagai rival dalam beberapa tahun terakhir, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Terkait hal itu, pertemuan G-20 di Indonesia yang dilaksanakan pada 2022 silam sempat memiliki keistimewaan tersendiri, karena menjadi kesempatan pertama bagi Presiden Joe Biden untuk bertatap muka dengan Presiden Xi Jinping sejak Biden menjabat sebagai presiden AS.
Tidak perlu menunggu hingga akhir KTT G20 untuk menyaksikan pertemuan Biden dan Xi, sehari sebelum KTT dimulai, kedua pemimpin ekonomi terbesar dunia ini sudah melakukan pertemuan bilateral, yang dilaporkan berlangsung lebih dari tiga jam.
Beberapa media menggambarkan pertemuan Biden-Xi dengan nada positif, menyoroti gestur ramah kedua pemimpin yang tersenyum dan berjabat tangan. Beberapa kutipan juga sering muncul sebagai judul berita, seperti pernyataan Biden yang tidak menginginkan adanya Perang Dingin antara AS dan RRT.
Namun, jika kita telaah lebih dalam, pertemuan Biden-Xi sebenarnya tidak menghasilkan hal yang signifikan. Pertama, Biden dan Xi masih belum mencapai kesepahaman mengenai eskalasi konflik di Taiwan; kedua, AS belum mendapatkan kejelasan mengenai sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di RRT; ketiga, kemampuan dan niat RRT untuk mengekang Korea Utara (Korut) dalam pengembangan senjata nuklirnya masih ambigu.
Singkatnya, meskipun pertemuan ini bisa dianggap sebagai langkah positif, kenyataannya hubungan politik AS-RRT masih berada dalam kondisi buntu atau stalemate.
Beberapa pihak bahkan berpendapat bahwa hubungan ini bisa semakin memburuk karena AS tetap berencana memperkuat kehadiran militernya di Asia. Selain itu, tidak adanya kesepakatan bersama memungkinkan AS untuk terus menekan ekonomi RRT, seperti yang sudah terlihat dengan pembatasan ekspor mikrocip dari AS ke RRT belakangan ini.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa ketegangan politik AS-RRT tampaknya selalu berada dalam posisi buntu? Apakah hal ini murni karena kedua pihak tidak benar-benar berani meningkatkan konflik?
Bagaimana Sebetulnya Hubungan AS-Tiongkok?
Pandangan umum yang ada di benak banyak orang tentang persaingan antara AS dan RRT adalah bahwa kedua negara ini saling bergantung secara ekonomi, sehingga jika salah satu pihak berani memperburuk hubungan hingga mencapai situasi seperti Perang Dingin, maka semua pihak akan dirugikan.
John Thornhill dalam tulisannya China and the US remain locked in mutually assured co-operation di Financial Times bahkan menyebut fenomena politik ini sebagai mutually assured co-operation, yang berarti AS dan RRT tidak akan berperang karena keduanya saling membutuhkan dalam kerjasama ekonomi.
Namun, ketegangan dan stagnasi dalam persaingan politik antara AS dan RRT sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekadar ketergantungan ekonomi. Jika memang AS tidak berani merugikan RRT karena dampaknya juga akan merugikan ekonominya sendiri, mengapa Biden baru-baru ini memperketat ekspor mikrocip ke Tiongkok? Padahal, manufaktur elektronik di Tiongkok yang biaya produksinya lebih murah justru menguntungkan AS. Dalam jangka panjang, bukankah ini terlalu berisiko bagi AS?
Untuk memahami hal ini, kita perlu mengenal dua konsep penting dalam politik internasional, yaitu Kindleberger trap dan Thucydides trap. Ilmuwan politik AS, Joseph S. Nye, dalam tulisannya The Kindleberger Trap, menjelaskan bahwa Kindleberger trap adalah situasi di mana suatu negara yang masih terlalu lemah untuk menjadi adidaya mencoba menumpang dalam sistem internasional untuk menjadi kekuatan besar yang menyaingi adidaya yang ada.
Jika ini terjadi, Nye melihat bahwa dampaknya bisa sangat fatal, mulai dari ketidakpastian ekonomi hingga pecahnya perang besar akibat ambiguitas hegemoni.
Nye menggambarkan hal ini melalui apa yang terjadi ketika AS pertama kali mencoba mengambil peran sebagai hegemon pada tahun 1930-an saat Inggris sudah tidak lagi menjadi negara terkuat. Kelemahan kepemimpinan AS pada waktu itu menyebabkan Depresi Hebat dan gagal mencegah meletusnya Perang Dunia II.
Oleh karena itu, *Kindleberger trap* berpendapat bahwa ketika sebuah negara baru semakin menguat mendekati status hegemon, negara adidaya sebelumnya perlu memastikan bahwa negara yang menggantikannya tidak hanya menumpang dalam sistem internasional, tetapi juga cukup kuat untuk memikul beban sebagai hegemon. Dalam konteks AS-RRT, AS perlu ‘merestui’ RRT untuk memperkuat diri agar AS tidak perlu terus menopangnya.
Di sisi lain, konsep Thucydides trap yang dipopulerkan oleh Graham T. Allison justru memiliki makna sebaliknya. Jika tatanan hegemon yang ada ditantang oleh kekuatan baru, benturan kekuatan antara keduanya hampir pasti akan menyebabkan perang besar. Allison mendasarkan argumen ini pada pengamatannya bahwa dari 16 kasus sejak tahun 1500-an, di mana kekuatan baru menantang kekuatan besar yang ada, 12 di antaranya berakhir dengan perang.
Jika kita menggunakan pandangan Thucydides trap, maka wajar bila AS menghambat RRT menjadi kekuatan besar karena hal itu berpotensi memicu konflik besar.
Namun, yang terjadi antara AS dan RRT tampaknya merupakan kombinasi dari kedua konsep tersebut.
Hubungan ekonomi antara AS dan RRT memang membuka jalan bagi RRT untuk menjadi kekuatan besar dunia, terlihat dari banyaknya investasi AS yang mengalir ke RRT sejak negara tersebut membuka diri ke pasar global pada tahun 1980-an. Sebagai adidaya, tentu AS menyadari hal ini.
Menariknya, AS juga tampaknya menjaga agar ‘gerbang’ tersebut tidak terbuka terlalu lebar, atau dengan kata lain, agar RRT tidak menjadi kekuatan yang terlalu kuat untuk menantang AS. Inilah sebabnya mengapa sikap AS terhadap RRT sering tampak seperti tarik ulur—di satu sisi, AS membiarkan RRT tumbuh kuat, tetapi di sisi lain, AS memastikan kekuatan RRT tetap dalam batas yang aman.
Dengan demikian, jika interpretasi ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan RRT menjadi kekuatan besar sebenarnya selalu berada dalam kendali AS. AS membutuhkan RRT untuk menjadi lebih kuat, tetapi tidak sampai pada tingkat yang dapat mengancam dominasi AS.
Dari perspektif ini, kita dapat menyimpulkan bahwa persaingan antara kedua negara ini mungkin tidak sekompetitif seperti yang diperkirakan banyak orang.
RRT selalu berada dalam pengawasan AS, sementara AS masih memegang kendali penuh.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa AS perlu bersikap demikian terhadap Tiongkok?
Benci Tapi Butuh?
Milton Friedman, seorang ekonom AS, pernah menghebohkan dunia pada tahun 1980-an dengan pandangannya bahwa kebesaran RRT adalah “buatan Amerika”, yaitu hasil rancangan AS. Meskipun kontroversial, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: mengapa AS perlu menciptakan pesaingnya sendiri?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita temukan dengan merefleksikan tulisan Francis Fukuyama yang berjudul The End of American Hegemony. Dalam tulisannya, Fukuyama berpendapat bahwa hegemoni global sebenarnya telah merugikan AS, karena sebagai negara adidaya, AS memiliki banyak masalah politik domestik yang perlu diselesaikan, tetapi selalu terbebani oleh tanggung jawabnya untuk mengawasi dunia.
Oleh karena itu, menurut pandangan Fukuyama, masuk akal jika AS mulai mempertimbangkan untuk mendelegasikan sebagian tanggung jawab globalnya kepada negara-negara yang sedang bangkit. Secara sederhana, multipolarisme mungkin menjadi opsi yang menarik bagi AS dalam strategi politik luar negerinya di masa mendatang, dibandingkan mempertahankan unipolarisme.
Namun, Fukuyama juga berpendapat bahwa dunia yang mayoritas demokratis adalah sesuatu yang tetap perlu dipertahankan oleh AS. Oleh karena itu, AS tidak akan sepenuhnya mendukung kekuatan otoriter seperti Tiongkok untuk menggantikannya sebagai penguasa dunia.
Jika pandangan ini benar, maka kita bisa menarik kesimpulan yang menarik. Jika kebangkitan RRT memang merupakan hasil desain AS, dan setiap langkah RRT selalu diawasi dan dikendalikan oleh AS, maka gejolak geopolitik seperti ketegangan di Laut China Selatan, Taiwan, dan Korea Utara mungkin hanyalah cara AS untuk memastikan bahwa RRT tetap mengikuti aturan yang telah ditetapkan AS.
Yang menakutkan, jika asumsi ini benar, maka kita bisa mengibaratkan RRT sebagai sebuah eksperimen yang pertumbuhannya terus dipantau oleh para ilmuwan, dengan hukuman yang diberikan jika eksperimen ini mulai lepas kendali atau menjadi terlalu kuat.
Pada akhirnya, sangat mungkin bahwa stagnasi ketegangan antara AS dan RRT bukanlah sesuatu yang kebetulan, melainkan bagian dari agenda besar yang diatur sedemikian rupa agar kedua pihak tidak melampaui “garis merah”. Yang jelas, perkembangan ini menarik untuk terus kita ikuti. (D74)