Dengarkan artikel ini :
Surya Paloh seolah menjadi satu-satunya ketua umum partai politik (parpol) yang belum “turun gunung” di Pemilu dan Pilpres 2024. Padahal, Partai NasDem adalah pengusung pertama dan utama Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Lalu, mengapa Surya Paloh begitu pasif?
Interpretasi mengenai “dihantui” tekanan tertentu hingga merupakan bagian dari strategi politik tertentu kiranya hadir di atas meja analisis saat melihat belum turun gunungnya Surya Paloh di Pemilu dan Pilpres 2024 kali ini. Bahkan, meski Partai NasDem adalah partai pengusung utama duet Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Ya, di balik ingar bingar kompetisi narasi dari para elite, termasuk ketua umum partai politik, Ketua Umum (Ketum) Partai NasDem seolah bermain tenang dari balik layar.
Mulai dari absen mengantar duet AMIN ke KPU untuk mendaftar sebagai peserta Pilpres 2024, tak terlihat di acara tiga debat kandidat, hingga sangat jarangnya pemberitaan suara Paloh merespons dinamika proses politik tahun ini.
Padahal, jika menengok ke dua partai utama pengusung duet rival, yakni Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang notabene adalah capres serta Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, keduanya sangat aktif saling sahut dan bernarasi.
Terlepas dari perannya di balik layar, di antara ketum parpol lainnya pun, Paloh menjadi satu-satunya yang seolah begitu pasif di panggung depan atau frontstage sengitnya persaingan menuju kontestasi elektoral 2024.
Presumsi yang mempertanyakan kesungguhan Paloh, hingga komitmennya terhadap duet pencapresan dan pencawapresan Anies-Imin kiranya tak berlebihan saat pada akhirnya mengemuka.
Lalu, mengapa Paloh masih belum turun gunung dan begitu menahan diri di balik layar? Benarkah seperti interpretasi yang sudah disebutkan di awal?
Strategi Politik Paloh?
Jika menengok ke Pilpres 2014 dan 2019, sikap politik Paloh seolah begitu kontras saat ini. Itu belum termasuk manuver para elite Partai NasDem yang pergerakan aksi dan narasinya tak semasif elite di parpol-parpol koalisi rival.
Namun, hal ini bisa saja merupakan strategi politik tertentu.
Pertama, posisi ketum yang diemban Paloh kiranya bisa sangat strategis dalam membentuk opini. Tapi di sisi lain, dampaknya bisa fatal saat tak sengaja melakukan blunder komunikasi politik.
Selain itu, dalam adagium di politik Amerika Serikat (AS), yakni silent is a political act atau diam sesungguhnya adalah tindakan politik, kiranya relevan untuk menggambarkan sikap Paloh. Tinggal motif di balik sikap itu yang kiranya perlu dianalisis lebih lanjut.
Kedua, Paloh mungkin sejak awal ingin menghindari impresi dan predikat puppet leader atau pemimpin boneka kepada Anies sebagai jagoannya. Seperti yang diketahui, impresi tersebut adalah salah satu celah yang sangat mungkin dieksploitasi oleh rival politik mereka dalam kampanye.
Absennya Paloh sejauh ini tampaknya berkontribusi cukup besar dalam nihilnya predikat itu kepada Anies.
Dampaknya pun cukup positif bagi duet AMIN, utamanya saat melihat style kampanye Anies. Manuver Anies-Imin tampak lebih fleksibel, termasuk “blusukan 5.0” kampanye mereka di media sosial yang mendapat sambutan positif.
Ketiga, Paloh bisa jadi juga tak ingin tampak terlihat memiliki afiliasi atau mengidentikkan diri terlalu dalam dengan kelompok politik penyokong Anies yang kerap dicap memainkan politik identitas.
Itu dikarenakan, kemesraan dengan entitas tersebut bisa saja tak menguntungkan secara strategis (politis dan elektoral) maupun ketika berbicara konteks jangka panjang bagi Partai NasDem.
Jika ini benar, konsep realpolitik, yakni kooperasi yang dibentuk atau dibubarkan karena faktor kepentingan pragmatis kontemporer, bukan karena kesamaan ideologis kiranya tengah dipraktikkan Paloh dan Partai NasDem.
Namun, terdapat satu interpretasi lain yang kiranya menyebabkan Paloh tidak aktif merespons dan berkontribusi dalam memperkuat narasi serta kampanye duet AMIN. Apakah itu?
Dihantui Tekanan, Buka Peluang?
Awalnya, pasifnya sikap politik Paloh dan Partai Nasdem sejak awal pencapresan Anies ditengarai karena situasi mereka sendiri yang tersandera situasi politik dan kekuatan aktor-aktor tak terlihat.
Hal itu selaras dengan pengamatan analis politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, pada Agustus 2023 lalu yang juga menyiratkan bahwa saat itu (momen dukungan Partai Nasdem terhadap pencapresan Anies), instrumen hukum menjadi alat gebuk lawan politik.
Pada akhirnya, sejak saat itu, Paloh dinilai memilih diam dan membiarkan dirinya tak turut turun gunung ke medan pertempuran politik di 2024.
Mengacu pada kemungkinan itu, sikap diam Paloh pun bisa juga menjadi cara untuk tetap membuka opsi rekonsiliasi dengan entitas politik lain di masa mendatang, tentu jika itu menguntungkan Partai NasDem.
Setidaknya, interpretasi kedua yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya dan membuat kampanye Anies-Imin menjadi lebih fleksibel menjadi efek konstruktif dari “apa yang tidak dilakukan” Paloh.
Well, menarik untuk ditunggu kelanjutan dari sikap politik Surya Paloh ke depan, utamanya saat hasil Pilpres 2024 bisa saja membuatnya harus benar-benar turun gunung. (J61)