Site icon PinterPolitik.com

Mengapa Slank Disebut Band “APBN”?

mengapa slank disebut band apbn

Joko Widodo (Jokowi) (tengah) yang kala itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta bernyanyi bersama Slank di acara Aksi Bersih Jakarta pada tahun 2013 silam. (Foto: VIVAnews)

Slank baru-baru ini menjadi band yang tengah diperbincangkan warganet seiring dengan rilisnya lagu “Polisi yang Baik Hati” (2023). Mengapa kini Slank mendapat predikat band “APBN”?


PinterPolitik.com

“Demokrasi atau anarki. Gagal reformasi. Semua institusi korupsi. Rakyat frustrasi” – Slank, “Revolusi Cinta” (2012)

Mungkin, beberapa orang kerap dibuat kaget ketika suatu bendera tertentu turut berkibar di acara-acara konser – meskipun figur yang kerap dikaitkan dengan bendera atau simbol tersebut tidak hadir di momen itu. Bendera apa lagi kalau bukan bendera Slank?

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Slankers – sebutan untuk penggemar band Slank – eksis di mana-mana. Band yang lahir di Gang Potlot, Jakarta, pada tahun 1983 ini bisa dibilang telah menjadi salah satu band legendaris di permusikan Indonesia.

Nah, mungkin, selain benderanya yang ada di mana-mana, ada satu hal lagi yang membuat orang-orang mudah mengidentifikasi band ini, yakni lirik-liriknya. Slank yang sekarang beranggotakan Bimbim, Kaka, Abdee, Ivanka, dan Ridho ini dikenal dengan lirik-lirik yang banyak mengandung kritik sosial dan politik.

Lagu “Revolusi Cinta” (2012) yang dikutip di awal tulisan, misalnya, mengkritik situasi pemerintahan yang penuh korupsi. Bahkan, tak segan-segan, Slank seakan-akan memberikan sinyal bahwa Reformasi usai lengsernya Presiden Soeharto telah gagal.

Tidak hanya lagu itu, Slank juga pernah merilis lagu “Birokrasi Complex” pada tahun 1994. Dari lirik lagu tersebut, jelas Slank mengekspresikan keresahan urusan birokrasi pemerintah yang serba rumit karena harus mengurus perizinan sana-sini.

Namun, keunikan Slank ini tampaknya mulai hilang. Setidaknya, itulah anggapan yang muncul di antara warganet baru-baru ini.

Bagaimana tidak? Di tengah keresahan publik pada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Slank tiba-tiba merilis sebuah single berjudul “Polisi yang Baik Hati” pada 14 Juli 2023 kemarin dalam rangka peringatan Hari Bhayangkara ke-77.

Banyak warganet pun menilai lirik dari lagu bernada positif terhadap kepolisian. “Polisi yang baik hati. Senyum ramah manusiawi. Pembela rakyat sejati. Suka rela mengayomi,” nyanyi Slank dalam sebuah video yang diunggah di YouTube.

Sontak saja, publik pun mempertanyakan keunikan Slank yang biasanya erat dengan nilai-nilai kritik sosial. Seakan-akan berubah, sejumlah warganet bahkan memberikan cap band “APBN” – diambil dari singkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dari kegeraman publik ini, sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Mengapa Slank yang begitu vokal soal isu sosial dan politik kini malah menjadi band “APBN”? Benarkah Slank sekarang bukanlah Slank yang dulu?

Mengenang Slank yang Dulu

Mungkin, bisa dibilang Slank adalah salah satu dari tiga musisi besar yang kerap dianggap sebagai musisi kritis di akhir era Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto dan awal era Reformasi pasca-lengsernya Soeharto, seperti Iwan Fals dan Iwa K.

Mengacu ke Michael Bodden dalam tulisannya yang berjudul Rap in Indonesian Youth Music of the 1990s: “Globalization,” “Outlaw Genres,” and Social Protest, aliran musik “penjahat” (outlaw) dan underground ini mengisi banyak dunia musik Indonesia.

Aliran-aliran musik seperti rock dan rap yang identik dengan budaya Barat ini kerap memilik kecenderungan untuk menjadi medium protes sosial. Menjadi masuk akal apabila akhirnya musisi-musisi ini kerap akhirnya menyuarakan aspirasi sosial dan politiknya melalui karya-karyanya.

Kehadiran musik-musik inipun membuat pemerintah Orba menerapkan sejumlah kebijakan yang memberikan ancaman sensor dan sanksi pada para musisinya. Jeremy Wallach dalam bukunya Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997-2001 pun menyebut sejumlah musisi yang mengabaikan ancaman Orba, mulai dari Iwan Fals, Rhoma Irama, Harry Roesli, Dewa 19, hingga Slank.

Penjelasan Bodden soal narasi yang dihadirkan musik-musik Indonesia di akhir dekade 1990-an inipun sejalan dengan peran musik dalam masyarakat sendiri. Setidaknya, mengacu ke penjelasan John Street dalam tulisannya ‘Fight the Power’: The Politics of Music and the Music of Politics, musik menjadi medium bagi protes sosial dan politik.

Namun, Street juga menjelaskan bahwa musik juga bisa menjadi alat propaganda. Salah satu contoh nyatanya adalah ketika musisi membuat musik untuk pendamping kampanye para politisi – menjadi salah satu simbol dari kampanye tersebut.

Nah, mungkin, peran ini juga yang beberapa tahun terakhir diambil oleh Slank. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Slank dianggap memiliki kedekatan dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Bahkan, Slank juga menciptakan lagu – lengkap dengan video musiknya – yang berjudul “#BarengJokowi” pada Pilpres 2019. Pada tahun 2014, Slank juga terlibat dalam pembuatan lagu “Salam Dua Jari” sebagai salah satu lagu kampanye Jokowi-Jusuf Kalla (JK).

Namun, apakah hanya karena kedekatan dengan pemerintah Slank akhirnya mendapatkan cap “band APBN”? Mungkinkah Slank memang tengah mengalami perubahan lain?

Mungkinkah Slank Sudah Menua?

Ada fenomena menarik yang kerap terjadi dunia seni, baik seni rupa maupun seni musik. Terkadang, ada saja seniman, pelukis, atau musisi yang berubah haluan seiring berjalannya usia.

Penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS), Kanye West, misalnya, juga kerap menimbulkan tanya dengan perubahan drastis soal citra dirinya. Ketika muda, Kanye kerap membawakan lagu-lagu yang mengekspresikan ketidakadilan yang dialami oleh komunitas Afrika-Amerika di AS.

Namun, akhir-akhir ini, Kanye yang kini berusia 46 tahun dinlai malah semakin menjadi konservatif – ketika banyak individu di komunitas Afrika-Amerika lebih cenderung liberal. Tidak hanya itu, Kanye pun tiba-tiba tampak dekat dengan Presiden ke-45 AS Donald Trump yang notabene dikenal diskriminatif terhadap komunitas Afrika-Amerika.

Menariknya, hal yang mirip juga pernah terjadi dengan seorang pelukis terkenal berkebangsaan Spanyol, Salvador Dalí. Dalí merupakan pelukis surealis yang kerap disandingkan dengan rival-rivalnya seperti Pablo Picasso.

Pada tahun 1920-an, Dalí muda dikenal sebagai sosok yang subversif – selalu bersifat anti-kemapanan dan mengkritik apapun yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Pelukis surealis itu bahkan dikenal sebagia komunis dan anti-monarkis. 

Namun, Dalí mulai berubah di usia 40-an tahun. Pada tahun 1939, Dalí memutuskan untuk kembali ke agama Katolik – dan menganggap apa yang dia lakukan selama ini adalah cara mencari kebenaran yang tersesat.

Tidak hanya itu, Dalí juga semakin dekat dengan rezim diktator Francisco Franco. Bahkan, pada tahun 1968, Dalí mengatakan bahwa Spanyol tidak perlu kembali ke demokrasi.

Sontak saja, perubahan drastis ini menimbulkan tanya. Mengapa seseorang bisa berubah hingga demikian di menyentuh usia yang lebih tua?

Mungkin, ini bisa dijelaskan dengan teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson. Dalam teori ini, disebutkan sejumlah tahap perkembangan psikososial yang dilalui oleh seorang individu seiring bertambahnya usia.

Ketika muda (adolescence), seorang individu akan mengalami kebingungan identitas vs peran dalam hidupnya. Anak muda akan berusaha menemukan identitas dirinya yang akan dia ambil dalam masyarakat.

Alhasil, semua macam aktivitas pun dicoba. Tidak jarang, aktivitas yang diambil adalah aktivitas yang tidak sejalan dengan apa yang disukai oleh masyarakat – misal terlibat dalam aktivitas non-conforming seperti identitas anti-kemapanan.

Nah, individu akan mengalami perubahan ketika sudah lebih dewasa. Dalam adulthood, Erikson menjelaskan bahwa individu mulai cenderung mengedepankan generativity – keinginan untuk membentuk dan membangun generasi selanjutnya.

Biasanya, di usia ini, individu akan lebih berfokus pada bagaimana masyarakat bisa menjadi lebih baik. Ini mengapa individu akan lebih berfokus pada perbaikan nilai-nilai yang ada daripada mendobraknya dengan nilai baru.

Boleh jadi, perkembangan psikososial inilah yang akhirnya turut memengaruhi perubahan drastis sang seniman dari ketika masih muda hingga saat ini. Siapa tahu Slank pun juga mengalami hal yang sama – yakni dari yang menyuarakan kritik sosial menjadi suka yang “damai-damai” saja? Benar begitukah menurut kalian? (A43)


Exit mobile version