Site icon PinterPolitik.com

Mengapa Sering Terjadi Penganiayaan di Pesantren?

mas bechi

Mas Bechi dalam sidang lanjutan di PN Surabaya (Foto-foto: Zain Ahmad/jatimnow.com)

Belakangan marak kasus penganiayaan dan kekerasan seksual yang terjadi di kalangan para santri-santriwati. Hal tersebut menyita perhatian publik akan penegakan hukum di  pesantren. Lantas, bagaimana kasus-kasus ini bisa merefleksikan penegakan hukum di lingkungan pesantren?


PinterPolitik.com

Beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan berita kekerasan seksual yang terjadi kepada santriwati di pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur (Jatim). Pelecehan seksual tersebut dilakukan oleh Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) atau dikenal Mas Bechi, salah satu seorang pimpinan di pesantren Shiddiqiyyah.

Kasus pelecehan seksual ini pertama kali dilontarkan pada tahun 2019 oleh lima orang korban. 

Dalam prosesnya, kasus ini berlangsung sangat lama karena Mas Bechi tidak mengindahkan panggilan dari penyidik dan tidak bersikap kooperatif selama proses pemeriksaan.  

Beliau juga merupakan anak dari seorang tokoh keagamaan. Sehingga, terlihat seperti adanya perlindungan dari ayahnya dan juga adanya simpatisan yang rela berkorban untuk menggagalkan proses hukum ini.

Namun pada akhirnya, Tersangka Mas Bechi menyerahkan diri dan langsung dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara kelas I, Medaeng, Surabaya. 

Tersangka Mas Bechi dijerat dengan dakwaan alternatif yakni, Pasal 285 Jo. Pasal 65 KUHP, atau Pasal 289 Jo. Pasal 65 KUHP, atau Pasal 294 ayat (2) ke-2 Jo. Pasal 65 KUHP. 

Serta dengan adanya upaya untuk menghalangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) kepolisian juga menetapkan lima orang tersangka dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dan saat ini, kasus Mas Bechi sudah pada tahap pemeriksaan saksi-saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Surabaya.

Selain kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. Baru-baru ini juga terdapat kasus penganiayaan seorang santri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. 

Kasus penganiayaan tersebut awalnya ditutupi kebenarannya namun kini terungkap bahwa adanya tindak kekerasan penganiayaan yang berujung hilangnya nyawa salah satu korban santri. Tersangka dalam kasus ini merupakan para santri senior yang tega melakukan kekerasan penganiayaan terhadap santri lainnya. 

Tindak penganiayaan yang berencana dan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang dapat dikenakan pasal  340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Pihak Pondok Gontor yang sebelumnya menyembunyikan kebenaran kasus penganiayaan ini dapat dikenakan Pasal 221 Ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan. Karena pihak Pondok Gontor dianggap juga melakukan obstruction of justice terkait kasus penganiayaan yang dilakukan oleh santrinya.

Melihat banyaknya tindak pidana yang terjadi di lingkungan pesantren. Maka, timbul pertanyaan  menarik, mengapa kasus hukum banyak terjadi di lingkungan pesantren?

Akibat Prinsip Kepatuhan di Pesantren?

Menurur Anita Dwi Rahmawati dalam tesisnya Kepatuhan Santri Terhadap Aturan di Pondok Pesantren Modern, mengatakan bahwa kepatuhan adalah sikap disiplin atau perilaku taat terhadap suatu perintah maupun aturan yang ditetapkan dengan penuh kesadaran. Prinsip kepatuhan terhadap guru dan senior menjadi hal yang penting untuk diamini dalam kehidupan di pesantren. 

Akan tetapi, ternyata seringkali terjadi penyimpangan dari kepatuhan tersebut. 

Sehingga yang terjadi adalah, kepatuhan itu menjadi celah keburukan yang akan terjadi, seperti kekerasan seksual, serta penganiayaan terhadap  santri dan santriwati.

Dalam buku Social Psychology  yang ditulis oleh  Bordens dan Horowitz, disebutkan bahwa kepatuhan adalah proses pengaruh sosial dimana seseorang mengubah tingkah lakunya demi menanggapi perintah langsung dari seseorang yang berwenang.

Nah masalahnya, kewenangan seorang pemimpin seringkali disalahgunakan, tidak terkecuali di dalam pesantren. Akibatnya, penyalahgunaan wewenang tersebut menjadi karakteristik dalam pesantren, yaitu menyatu dengan kekuasaan, patriarkis, ketaatan, dan penghormatan kepada seorang pimpinan yang berkuasa.

Ini kemudian diperparah dengan adanya dogma agama sebagai alat untuk mendominasi. Dogma agama tersebut merupakan sistem keyakinan berdasarkan pada agama. Seringkali pemikiran seorang pemimpin kepada para santrinya di pesantren dinilai sebagai suatu keharusan yang perlu dilakukan. Jika tidak mengikuti ajaran pemimpinnya, bahkan itu bisa dicap sebagai perbuatan dosa. 

Kepatuhan dan keyakinan santri kepada para pemimpin di pesantren membuat santri-santri tunduk akan segala perintah yang disuarakan oleh para pemimpinnya, termasuk normalisasi kekerasan.

Bahkan, kekerasan pun sering dianggap jadi bagian fundamental dalam proses belajar mengajar.

Dengan demikian, para korban kekerasan seksual dan penganiayaan di pesantren terjadi dikarenakan faktor kepatuhan dan keyakinan tersebut. Para santri patuh akan segala perintah tersebut karena mereka yakin apa yang diperintahkan dan dicontohkan oleh pemimpinnya merupakan kebenaran dan keharusan untuk dilakukan.

Dengan adanya kepemimpinan yang patriarkis dan penghormatan yang berlebihan kepada seorang pemimpin yang berkuasa,  juga menjadi penyebab berbagai tindakan pidana di lingkungan pesantren dapat terjadi. Karena segala perintah dan tradisi yang berlaku di pesantrennya dianggap sebagai keharusan untuk dilakukan oleh pengikutnya.

Terdapat faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan tersebut, yaitu; belum tersebarnya bahasan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang dapat diterima di pesantren. Yang mana hal tersebut menjadi faktor adanya tindak kekerasan dalam lingkungan pesantren. 

Lantas, bagaimana seharusnya kita belajar dari fenomena ini dan khususnya kasus Mas Bechi?

Jangan Sampai Orang Beragama Kebal Hukum?

Dalam proses hukum terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Mas Bechi, misalnya, kepolisian rela mengerahkan ratusan personilnya hanya untuk menangkap satu orang tersangka yang dianggap “licin” untuk ditangkap.

Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya berbagai upaya yang dilakukan oleh para simpatisan yang rela berkorban  menggagalkan proses penangkapan Mas Bechi oleh Polisi. Mas Bechi yang merupakan seorang anak pimpinan pesantren terkesan juga seperti adanya perlindungan dari ayahandanya. Dengan hal tersebut, ia tidak mengindahkan panggilan dari kepolisian karena menganggap dirinya tidak bersalah.

Namun, kejahatan adalah kejahatan dan hukum haruslah ditegakkan sebagaimana mestinya. 

Dalam dunia hukum, ada sebuah prinsip yang berbunyi Equality Before the Law. Prinsip ini menjelaskan bahwa setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. 

Berdasarkan prinsip ini, perlu ditekankan juga bahwa “no man above the Law” yang menggambarkan bahwa setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, dan tidak ada siapapun yang memiliki posisi lebih tinggi dari hukum. 

Maka dari itu, dengan adanya persamaan di mata hukum dan bagi siapapun yang melakukan suatu tindak pidana, maka orang tersebut wajib bertanggung jawab dengan sendirinya atas tindakannya. Prinsip persamaan di mata hukum pun tidak bisa dikesampingkan karena adanya supremasi hukum yang menyatakan hukum diatas segalanya.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, supremasi hukum adalah upaya yang digunakan untuk menegakkan serta menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang bisa melingkungi seluruh lapisan mayarakat tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk dari penyelenggara negara itu sendiri.

Dalam prakteknya, secara disayangkan, seringkali terdapat pihak yang dianggap kebal hukum. Namun, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena adanya persamaan dimata hukum bagi setiap individu serta adanya penegakkan hukum yang tinggi sebagaimana mestinya yang menjadi kepastian hukum dalam penegakan hukum yang berlaku.

Penegakan hukum atas tindak pidana kekerasan seksual dan penganiayaan yang terjadi di lingkungan pesantren diharapkan adanya sanksi hukuman yang baik sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh para tersangka.

Prinsip Integrity principle penting untuk dijaga dalam penegakan hukum, yang mana kepercayaan masyarakat akan penegakkan hukum yang dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pertimbangan Social justice (keadilan sosial) dan Legal justice (keadilan hukum) juga harus ditegakkan dengan baik.

Keadilan sosial yang berada di tangan masyarakat wajib dipertimbangkan dengan baik. Keadilan hukum seperti adanya sanksi pencabutan izin operasional pesantren bisa jadi sanksi hukum yang baik agar tidak adanya kasus yang serupa di lingkungan pesantren kedepannya.

Adanya kepastian hukum dalam perundang-undangan yang berlaku dinilai sebagai kejelasan norma yang dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam kehidupan menyelesaikan permasalahan ini.

Donald Black dalam teorinya Behaviour of Law atau Perilaku Hukum, berpendapat bahwa efektivitas hukum adalah masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara memperbandingkan antara realitas hukum dalam teori, dengan realitas hukum dalam praktek sehingga nampak adanya kesenjangan antara keduanya. 

Hal tersebut dapat dikaitkan bahwa hukum sebagai aturan hukum yang berlaku namun dalam prakteknya adanya percampuran agama dalam hukum yang berlaku sehingga adanya kesenjangan akan dua hal tersebut. Dengan demikian, penegakan hukum yang baik di lingkungan pesantren perlu ditekankan demi melindungi warga pesantren itu sendiri. 

Terkhusus kasus Mas Bechi, kita harus apresiasi proses hukum yang sudah mulai berjalan. Dan kedepannya, penanganan kasus-kasus yang terjadi di pesantren diharapkan dapat ditanggapi dengan lebih responsif  agar tidak terjadi kasus yang serupa di kehidupan pesantren lainnya. (S82)

Exit mobile version