HomeNalar PolitikMengapa Santet ‘Hantui’ Moeldoko?

Mengapa Santet ‘Hantui’ Moeldoko?

Ragam cara sedang ditempuh untuk menghadang Moeldoko lakukan kudeta dalam Partai Demokrat. Bahkan, terdapat usulan agar santet digunakan untuk menghentikan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) tersebut? Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Bupati Lebak yang juga Ketua DPD Demokrat Banten, Iti Octavia Jayabaya kini menawarkan cara lain untuk mencegah Moeldoko. Dalam commander’s call yang digelar seluruh Ketua DPD Partai Demokrat dari 34 provinsi, di Kantor DPP Demokrat, Iti berseloroh akan mengirimkan santet.

“Banten tidak gentar. Kami tetap setia pada ketum kami yang ganteng. Kalau pun kami harus turun berdemo, kami siap. Santet Banten akan dikirim untuk KSP Moeldoko,” begitu ucap Iti.

Bukan tidak mungkin, seloroh ini memberi warna dalam riuh isu kudeta ini. Ketua BPOKK Demokrat Herman Khaeron menyebutnya sebagai bentuk ekspresi daerah. “Itu kan semuanya juga memperlihatkan ekspresi. Ada yang memperlihatkan ekspresi dengan tradisi di daerahnya masing-masing,” ujar Herman.

Baca Juga: Kudeta Demokrat Untungkan Gatot?

Sekretaris Departemen IV DPP Partai Demokrat Hasbil Mustaqim Lubis juga mengunggah video Iti di laman media sosialnya dengan menyebut Iti memiliki orasi yang dianggap bagus.

Meski banyak yang mengira ini hanya sebuah kiasan (figure of speech), ada juga yang menanggapinya dengan serius. Hencky Luntungan, penggagas KLB, menganggap pernyataan Iti mempermalukan Partai Demokrat – bahkan meminta Iti untuk keluar saja dari politik karena dianggap tidak layak.

Terlepas dari polemik Partai Demokrat ini, topik santet ini bisa saja mengingatkan kita pada isu terdahulu soal pasal santet dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam rancangan tersebut, upaya santet dapat dikriminalisasi meskipun tidak ditemukan bukti.

Tentu, pertanyaannya bukan hanya berpusar pada soal bukti. Namun, apa fungsi santet dalam politik di Indonesia? Mengapa santet masih mengisi diskursus politik di era kontemporer?

Santet Jadi Alat Politik?

Kekuatan supranatural yang ada dalam praktik santet bisa membawa politik ke level selanjutnya.  Elizabeth Frazer dalam artikelnya Political Power and Magic menjelaskan bahwa sihir dapat menjadi alat dominasi politik atau menjaga kedaulatan politik. Ini dilakukan dengan cara melakukan tipu daya, fantasi dan manipulasi atas pikiran orang, yang pada akhirnya politik itu sendiri menjalankan sistemnya bak sihir dengan cara menawarkan fantasi, janji, dan harapan.

Kedaulatan politik yang dijaga dengan makhluk halus telah seperti yang digambarkan Frazer terlihat dalam percaturan politik di Indonesia. Jelang pelantikan Presiden Joko Widodo untuk masa pemerintahan keduanya pada tahun 2019, Ki Sabdo dalam video viral mengklaim bahwa dia sedang melakukan “gladi bersih” dengan memanggil bangsa jin untuk mengamankan pelantikan ini. Tak tanggung-tanggung, sosok legendaris seperti Roro Kidul dan Nyi Blorong disebut turut dipanggil untuk mengamankan pelantikan.

Hal yang berbau mistis seperti ini juga pernah terjadi pada tahun 2012. Hal yang dianggap berbau gaib disebut terjadi saat Sutan Bhatoeaga keseleo bicara saat menimpali serangan Adhie Massardi dengan menyebut Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terlibat dalam sebuah kasus korupsi.

Pernyataan tersebut membuatnya diminta untuk membaca Istigfar sebanyak 99 ribu kali di makam Gus Dur supaya tidak diganggu. Polemik ini pun berakhir dengan Bhatoeaga mengunjungi istri Gus Dur untuk meminta maaf.

Tidak hanya panggung politik nasional, peran hal-hal yang gaib dan mistis – seperti dukun – juga mewarnai pagelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Dalam Pilkada Banyuwangi 2010, misalnya, dukun dan calon kepala daerah punya hubungan timbal balik yaitu

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Dukun dinilai bukan saja dapat memanggil makhluk gaib, melainkan juga dianggap bisa memengaruhi opini masyarakat supaya memilih calon tersebut yang menguntungkan bagi calon. Sebaliknya, dukun pun disebut mendapatkan keuntungan ekonomi – sebagaimana yang dijelaskan dalam tulisan Muhammad Sahlan dan Bayu Dardias Kurniadi yang berjudul Dukun dan Politik.

Lantas, apakah keterlibatan berbagai unsur dan kekuatan gaib dalam politik ini digunakan sekadar untuk kepentingan sementara? Nils Bubandt dalam bukunya Democracy, Corruption, and Politics of Spirits in Contemporary Indonesia menjelaskan bahwa politik hakikatnya adalah keseimbangan antara konflik dan kerja sama, antara harapan dan kekecewaaan, dari manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.

Baca Juga: AHY Hanyalah Mangsa Pertama?

Dalam tarik menarik antara keseimbangan dan konflik, Nils Bubandt membagi peran santet menjadi tiga dalam memutuskan hasil akhir dari dua pilihan tersebut.

Pertama, upaya santet dapat berperan sebagai public secret, yakni dengan memunculkan garis halus antara ideologi dan kepentingan, antara yang rasional dan tidak rasional. Dalam kasus Iti, santet yang diselorohkannya membuat dia terjebak dalam dilema karena, di sisi lain, sosoknya dikenal sebagai bupati yang rasional.

Sebagai bupati yang dianggap terbaik se-Asia, misalnya, serangkaian kemarahannya atas fasilitas publik seperti bangunan liar di atas taman kota dan penumpukan sampah di kali Ciujug yang ini cukup menegaskan sosoknya sebagai simbol rasionalitas dan kemajuan. Namun, pernyataannya soal santet menimbulkan pertanyaan dari publik.

Kedua, santet bisa dianggap berperan sebagai labour of negative. Santet disebut dapat menjadi penegas akhir sebuah realitas sosial. Dalam konteks Iti, dia menggambarkan santet ini sebagai satu-satunya alat untuk menjaga loyalitas anggota partai. Santet menjadi wujud dari rasa tidak gentar, rasa kesetiaan pada Partai Demokrat.

Ketiga, santet mengambil peran sebagai penegasan ketokohan. Dalam arti yang dilakukan Iti sebenarnya menjadi bumerang bagi Partai Demokrat karena ini bisa menegaskan sosok Moeldoko yang sulit dipatahkan jika menggunakan jalur “normal”.  Upaya kudeta oleh Moeldoko yang dianggap sebagai langkah yang menyalahi kebiasaan umum, direspons juga dengan langkah yang tidak lazim juga yang di luar proses birokrasi yaitu dengan santet. Di sini antara kudeta dan santet pun identik wataknya: keluar dari rutinitas sehari-hari.

Dari tiga fungsi tersebut, tampaknya santet bukan sekadar untuk menjegal Moeldoko, melainkan juga membawa dilema antara citra kemajuan dan kekolotan, bentuk loyalitas, dan menguatkan dan melunturkan identitas.

Namun, mengapa narasi santet masih bertahan dalam diskursus politik Indonesia? Bukankah demokrasi dibangun di atas rasionalitas warga negara yang secara sadar memilih pejabat publik dan organisasi partai yang mengedepankan musyawarah?

Santet dan Demokrasi

Ayatullah Humaeni dalam artikelnya Penggunaan Magic dalam Politik Lokal di Banten menjelaskan faktor bertahannya santet dalam iklim demokrasi terkait pemaknaan masyarakat itu sendiri atas santet. Dia menjelaskan setidaknya ada dua pemaknaan santet sebagai kekuatan gaib yang selalu dilihat pada tujuannya.

Dalam masyarakat, lumrah istilah kekuatan putih dan kekuatan hitam yang ini mencerminkan kekuatan gaib bisa diarahkan pada tujuan-tujuan baik, misalnya menjegal calon pemimpin yang korup. Ini terlihat dalam rencana Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) yang akan menggelar Festival Santet pada bulan Suro (Agustus-September) 2021 untuk memperkenalkan “kekuatan putih” santet.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Baca Juga: No Moeldoko No Party

Kedua, santet dianggap sebagai bentuk ikhtiar. Masih ada anggapan bahwa ikhtiar tidak selalu identik dengan aktivitas-aktivitas duniawi semata misalnya menyelenggarakan kampanye sebagai ikhtiar menang pemilu. Namun, aktivitas batin seperti meminta restu dan memohon doa pada tokoh spiritual, datang ke makam tokoh-tokoh yang dianggap keramat, melakukan ritual pengajian berjamaah dianggap sebagai ikhtiar atau upaya batin.

Ikhtiar sering dilakukan oleh politisi di berbagai daerah tidak hanya di Banten. Di Kabupaten Blora, Arif Rohman dan Tri Yuli Setyowati sehari jelang pemilihan Bupati Blora, berkunjung ke makam para leluhur untuk Tujuan menguatkan mental. Di Pasuruan, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul berziarah ke makam para kiai dilanjutkan mengunjungi para habaib sebelum mendaftarkan dirinya untuk menjadi Wali Kota Pasuruan ke kantor KPU Kota Pasuruan. Di Kabupaten Pasuruan, Padepokan Satria Mataram-Kendali Sodo sering mendapatkan pesanan keris yang dianggap memiliki pamor pengasihan dan kepercayaan diri jelang pilkada.

Kekuatan gaib yang mengedepankan tujuan baik dan bentuk ikhtiar membuatnya di dunia politik bertahan. Nils Bubandt menjelaskan bahwa sebelum Suharto beraliansi dengan organisasi Islam pada tahun 1980an, Suharto memiliki penasihat spiritual yang ahli di bidang kejawen pada tahun 1970an dan penasihat spiritual dari Afrika Barat di masa akhir karier politiknya.

Pasca reformasi, kandidat kuat Pemilu 2004 – termasuk Gus Dur, Megawati, Wiranto, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X – juga memiliki penasihat spiritual. Pada Debat Capres Pemilu 2019, Jokowi dikalungi tasbih oleh Kiai Maimun Zubair dan Habib Luthfi – sementara Prabowo dengan dadanya yang didoakan oleh Ustadz Abdul Somad. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia justru bisa “mengamankan” hubungan figur politik dan kekuatan spiritual serta agama.

Selain konteks masyarakat dan figur politik, tampaknya organisasi politik seperti partai juga akan dimaklumi jika melibatkan kekuatan gaib. Ini mengingatkan kita pada Etika Protestan, sebuah istilah yang digunakan oleh Max Weber di mana untuk menunjukkan sebuah etos kerja dengan nilai-nilai yaitu tanda tuhan memberkati seseorang terlihat dengan kekayaan yang diperoleh olehnya. Dalam konteks ini, santet sedang dalam proses rasionalisasi di mana diarahkan pada tujuan-tujuan untuk membenarkan proses demokrasi itu sendiri misalnya untuk menjegal kudeta Moeldoko yang dianggap menyalahi cara kerja suksesi dalam partai politik.

Dengan demikian, kekuatan gaib memberi warna khas dalam demokrasi di Indonesia yang tidak ditemukan di negara-negara Eropa dan Amerika. Bukan tidak mungkin, hal-hal gaib ini bertahan dalam diskursus politik di Indonesia karena masih memiliki potensi baik di mata masyarakat, dapat memberi manipulasi dan fantasi atas situasi politik tertentu.

Tentunya, ini semua kembali bergantung pada aksi dan reaksi dari aktor-aktor politik di dalamnya. Boleh jadi, seperti yang dijelaskan oleh Frazer, fantasi santet bisa memengaruhi bagaimana Moeldoko bersikap terhadap kemungkinan “sihir” politik ini. Mari kita amati sajalah kelanjutan bagaimana usulan santet tersebut membuat Moeldoko bersikap. (F65)

Baca Juga: Berani Jokowi Copot Moeldoko?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menguak Manuver Prabowo di Denwalsus

Detasemen Kawal Khusus (Denwalsus) buatan Prabowo menuai kritik sejumlah pihak. Ada yang menyarankan Prabowo lebih baik buat Detasemen untuk guru di Papua. Ada juga...

Senggol Cendana, Jokowi Tiru Libya?

Perpres yang disahkan Jokowi terkait pengelolaan TMII mendapatkan perhatian publik. Pasalnya Perpres ini mencabut hak Yayasan milik keluarga Cendana yang sudah mengelola TMII selama...

Di Balik Zeitgeist Digital Anies

Anies Baswedan puji kreator konten yang dianggapnya mampu menawarkan pengalaman atas infrastruktur yang dibangunnya. Pujian Anies kontras dengan pejabat negara dan politisi yang gunakan buzzer untuk...