HomeHeadlineMengapa Risma Bisa Saingi Khofifah?

Mengapa Risma Bisa Saingi Khofifah?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Nama Tri Rismaharini (Risma) diwacanakan oleh sejumlah partai politik, seperti PKB, untuk menjadi penantang bagi Khofifah Indar Parawansa di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur (Jatim) 2024.


PinterPolitik.com

Masio mung senggal-senggol, ati lega. Sopo ngerti nasib awak lagi mujur?” – Is Haryanto, “Rek Ayo Rek” (1960-an)

Potongan lirik di atas merupakan salah satu bagian dari lagu “Rek Ayo Rek” karya Is Haryanto. Lagu yang ditulis sekitar tahun 1960-an itu kini telah dinyanyikan oleh banyak musisi ternama, mulai dari Iis Sugianto hingga Didi Kempot.

Lagu inipun menjadi salah satu lagu yang menggambarkan dialek dan budaya masyarakat Arek, khususnya Surabaya. Sapaan “rek” dan “cak,” misalnya, merupakan sapaan khas masyarakat ibu kota Jawa Timur (Jatim) tersebut.

Tidak hanya itu, nama jalan yang disebutkan dalam lagu itu juga merupakan salah satu jalan paling ramai di pusat kota Surabaya, yakni Jalan Tunjungan. Makanan yang disebutkanpun merupakan masakan khas Jatim, yakni rujak cingur.

Namun, jika menyusuri Jalan Tunjungan di Kota Surabaya di masa sekarang, jalan kemudian akan tersambung ke Jalan Gubernur Suryo. Di sisi kiri, terdapat sebuah gedung khas Belanda yang menjadi simbol Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jatim, yakni Gedung Negara Grahadi, sebuah gedung yang terletak di seberang Taman Apsari.

Tentunya, gedung besar ini bukan hanya soal kemegahannya, melainkan juga soal siapa yang akan menjadi pemerintah yang memiliki legitimasi untuk menjalankan wewenang dan kewajibannya kepada masyarakat Jatim.

Pada November 2024 nanti, sejumlah nama akan bertarung untuk menduduki kursi Jatim-1. Salah satu nama paling populer adalah Khofifah Indar Parawansa yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur sejak Februari 2019 hingga Februari 2024.

Pada mulanya, nama Khofifah tampak tidak tertandingi dengan dukungan banyak partai politik, mulai dari Gerindra, Demokrat, Golkar, hingga PAN. Namun, kini muncul nama lain yang datang dari PKB dan PDIP, yakni Tri Rismaharini (Risma) yang kini menjabat sebagai menteri sosial (mensos) di pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). 

Nama Risma sendiri bukanlah nama asing bagi masyarakat Jatim, khususnya Surabaya. Sebelum menjabat sebagai mensos, Risma merupakan wali kota Surabaya pada tahun 2010-2020.

Mengapa nama Risma menjadi nama yang patut diperhitungkan? Kemudian, seperti lagu “Rek Ayo Rek” pada kutipan di awal tulisan, siapakah yang bakal lebih mujur di pertarungan Pilgub Jatim 2024 ini?

Siapa Pilih Risma? Siapa Pilih Khofifah?

Lagu “Rek Ayo Rek” memang merupakan sebuah lagu yang diciptakan dengan budaya khas Jatim. Namun, Jatim bukanlah hanya soal kelompok masyarakat yang berbicara menggunakan kata-kata seperti arek atau cak.

Jatim lebih dari hanya itu. Provinsi dengan luas sekitar 47.900 kilometer ini memiliki karakteristik masyarakat yang begitu beragam.

Jika peta Jatim dibuka, akan terlihat ada beberapa wilayah yang memiliki kondisi geografis tersendiri. Pulau Madura, misalnya, memiliki karakteristik masyarakat berbeda dibandingkan dengan wilayah Jatim di Pulau Jawa.

Pulau Madura mayoritas ditinggali oleh Suku Madura. Mayoritas suku ini memiliki ketaatan tinggi terhadap agama yang mereka peluk, khususnya agama Islam.

Berbeda dengan masyarakat Arek yang tersebar di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Malang, hingga Pasuruan. Masyarakat Arek lebih memiliki sifat layaknya masyarakat urban karena memiliki masyarakat yang heterogen.

Di wilayah-wilayah yang terpusat pada kegiatan ekonomi kota dan perdagangan seperti ini, berbagai kelompok berbaur menjadi satu dan melahirkan karakteristik sendiri. Mereka terdiri atas berbagai suku, mulai dari Jawa, Madura, Tionghoa, hingga suku-suku pendatang lainnya dari luar Jatim.

Lalu, di sisi barat, mulai dari Kediri, Pacitan, Ngawi, Bojonegoro, hingga Tuban, terdapat klasifikasi masyarakat Jatim yang disebut sebagai Mataraman. Wilayah ini merupakan wilayah Jatim yang masih erat dengan budaya Jawa yang hierarkis dari Kerajaan Mataram di masa lampau.

Wilayah Mataraman yang didominasi oleh kelompok priyayi ala Kerajaan Mataram dahulu menciptakan karakteristik masyarakat yang lebih halus. Nilai-nilai budaya Jawa yang mirip dengan Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng) masih memiliki tempat di masyarakat Mataraman.

Kemudian, selain masyarakat Madura, Arek, dan Mataraman, terdapat juga masyarakat Pendalungan di bagian timur Jatim, mulai dari Probolinggo, Jember, hingga Banyuwangi. 

Wilayah Pendalungan ini biasa disebut sebagai Tapal Kuda dengan rupanya menyerupai kaki kuda. Di sini, karakteristik masyarakat tercampur antara suku Jawa dan Madura, menjadikan nilai-nilai agama tetap sebagai nilai sentral tetapi juga bersifat agraris dan egaliter.

Empat karakteristik masyarakat Jatim ini bukan tidak mungkin mempengaruhi dinamika politik di dalamnya. Apalagi, sifat mereka masing-masing juga terwakili oleh sejumlah nama potensial di Pilgub Jatim 2024 ini, mulai dari Risma hingga Khofifah. 

Lantas, bagaimana karakteristik-karakteristik masyarakat Jatim ini bisa mempengaruhi potensi masing-masing kandidat potensial, katakanlah Risma dan Khofifah? Mengapa Pilgub Jatim ini kemudian bisa menjadi perang teritorial antara Risma dan Khofifah?

Risma Bisa Kalahkan Khofifah?

Uniknya, sejumlah wilayah ini menjadi tempat nama-nama potensial ini berasal. Alhasil, masing-masing kandidat ini membawa sifat dan karakteristik layaknya mewakili setiap wilayah tersebut.

Pembagian karakteristik masyarakat ini sebenarnya mirip dengan klasifikasi masyarakat Jawa dari Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java, yang mana membagi masyarakat Jawa menjadi kelompok abangan, kelompok santri, dan kelompok priyayi.

Katakanlah, abangan dan priyayi mendominasi wilayah-wilayah seperti Arek dan Mataraman. Sementara, kelompok santri mendominasi di wilayah Madura dan Pendalungan.

Dua kelompok besar ini setidaknya bisa menggambarkan kontestasi sosio-politik di Jatim. Ini juga terlihat dari dua kandidat yang berseberangan dan berpotensi berhadapan satu sama lain di Pilgub Jatim 2024. 

Khofifah, misalnya, merupakan figur kuat di Nahdlatul Ulama (NU). NU sendiri merupakan kelompok santri yang dominan di Madura dan Pendalungan.

Sejak Pilgub Jatim 2018, Khofifah dinilai mampu mendekati kiai-kiai dan pesantren-pesantren kecil di Jatim, menjadikan dirinya punya pengaruh luas di NU. Selain itu, Khofifah juga figur berpengaruh di Muslimat NU.

Sementara, Risma bisa dibilang merupakan kelompok abangan-priyayi. Sebagai seorang birokrat, Risma mengenal tata cara pemerintahan yang baik.

Pengalamannya sebagai Wali Kota Surabaya pada 2010-2020 juga membuat namanya dikenal di kelompok Arek, khususnya Surabaya di mana banyak kelompok lainnya juga berkumpul. 

Bukan tidak mungkin, pengaruh Khofifah yang kuat di kelompok santri bisa diimbangi oleh Risma yang memiliki latar belakang abangan. Ini bisa saja membuat sebagian masyarakat Arek dan Mataraman untuk mempertimbangkan sosok Risma.

Namun, meski bisa saja menyaingi elektabilitas Khofifah yang kini tidak tertandingi, Risma perlu melakukan kick-off kampanye secepatnya. Pasalnya, usai tidak lagi menjadi wali kota, ingatan masyarakat akan dirinyapun turut pudar.

Pada akhirnya, bila meminjam lirik “Rek Ayo Rek” di awal tulisan, Risma bersama partai-partai pendukung potensialnya, yakni PDIP dan PKB, bisa saja tengah berupaya senggalsenggol Khofifah. Namun, akankah bisa mujur nasibnya di Pilgub Jatim 2024 bila hanya senggal-senggol? (A43)


Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?