Banyak politikus yang disebut berpotensi maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – seperti Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno – ikut terjun ke platform media sosial (medsos) TikTok. Di sisi lain, Ketua DPR RI Puan Maharani dituding membayar jasa influencer untuk membuat konten TikTok tentang dirinya.
“Semua-semuanya sekarang ada dan bisa dicari di TikTok.”
Setidaknya, kata-kata itulah yang pernah terucap dari seseorang yang ahli dan menggeluti dunia media sosial (medsos). Baginya, TikTok menjadi sebuah platform medsos yang benar-benar memiliki dampak yang luas.
Uniknya lagi, menurutnya, kelimpahan informasi yang dimiliki TikTok bisa jadi suatu saat nanti akan menyamai Google. Apa yang dibilang olehnya menjadi masuk akal. Banyak juga konten semacam do it yourself (DIY) membanjiri platform asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tersebut.
Namun, fenomena medsos satu ini memang tidak bisa diremehkan. Dalam industri musik, misalnya, efek TikTok membawa perubahan besar bagi pasar suara dan nada dunia, khususnya di Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan sebuah video yang diunggah di akun YouTube milik Vox, banyak musisi baru muncul melalui platform ini. Bahkan, pada tahun 2020-2021, sebanyak 300 lebih musisi baru mendapatkan kontrak kerja sama dengan label musik besar karena lagunya viral di TikTok.
Dijelaskan pula bahwa perubahan signifikan terhadap dinamika industri musik ini terjadi akibat virality yang dimiliki oleh TikTok. Dengan algoritmanya yang benar-benar memenuhi kebutuhan dan kegemaran penggunanya, informasi dapat tersalur dengan cepat – menjadikan konten lebih mudah viral.
Wajar saja, dengan fitur sound dalam TikTok, musik-musik buatan (atau aransemen) mereka bisa menjadi lebih mudah tersebar. Secara otomatis, ini juga berdampak pada meningkatnya streaming terhadap lagu-lagu mereka di platform musik seperti Spotify.
Penyanyi asal AS yang berdarah Filipina-Amerika, Olivia Rodrigo, misalnya, merupakan salah satu contoh musisi yang sukses besar melalui TikTok. Melalui debut single-nya yang berjudul “drivers license” yang viral di TikTok pada tahun 2021, Olivia akhirnya berhasil menyabet tiga Grammy Awards pada April 2022 – yakni Best New Artist, Best Pop Vocal Album, dan Best Pop Solo Performance.
Bila TikTok bisa membuat karier Olivia melejit – hingga bisa mendapatkan Grammy Awards hanya dalam setahun, bagaimana dengan mereka yang bekerja di bidang karier yang berbeda? Apakah TikTok juga memiliki dampak yang besar pada mereka yang berkarier di dunia politik?
Pilpres 2024 Adalah Pilpres TikTok?
Kunci utama dalam pengelolaan medsos tentunya adalah bagaimana konten yang dibuat bisa menjadi viral. Setidaknya, mengacu pada tulisan Viral in Social Media karya Raja Nazim Abdullah dan Mohamed Nor Azhari Azman, selain untuk menyalurkan dan menerima informasi, medsos juga digunakan untuk mencari perhatian (attention seeking) dan untuk memancarkan diri secara sosial (social broadcast of oneself).
Menjadi masuk akal apabila kini banyak orang bilang bahwa medsos kerap digunakan sebagai tempat memamerkan kebolehan dan kapasitas masing-masing. Platform seperti TikTok pun kerap digunakan untuk me-broadcast diri kepada khalayak umum.
Hal yang sama juga berlaku dalam dimensi politik. Banyak aktivis – baik di Indonesia maupun di negara-negara lain – menggunakan platform medsos seperti TikTok untuk me-broadcast diri mereka kepada masyarakat.
Bryant Valenzuela dalam tulisannya yang berjudul The Weapon of the Century bahkan menyebut TikTok sebagai senjata politik terampuh pada abad ke-21 – setidaknya untuk menyebarkan informasi-informasi politik bagi sejumlah gerakan aktivisme, seperti Black Lives Matter dan Stop Asian Hate di AS.
Ini karena, pada abad ke-21, platforms medsos seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat telah mengalahkan televisi dan radio sebagai penyebar informasi yang ampuh dalam kampanye politik.
Bagi Valenzuela, semua medsos tentu bisa menjadi pelantang aspirasi politik (political echo chamber) bagi informasi-informasi yang tersebar di masyarakat. Namun, TikTok memiliki keunikan tersendiri – setidaknya dalam sisi algoritma.
Instagram, misalnya, memiliki algoritma berdasarkan akun-akun yang diikuti oleh pengguna. Ini berlaku ketika pengguna menggunakan fitur explore yang ada dalam Instagram.
Sementara, TikTok justru menggunakan algoritma yang didasarkan pada interaksi pengguna terhadap konten yang ditontonnya – seperti jenis konten yang disukai dan dikomentari, serta berapa lama konten tersebut ditonton oleh pengguna. Alhasil, konten-konten yang mengandung informasi politik yang sejalan dengan apa yang disukai oleh pengguna akan lebih sering diutamakan.
Oleh sebab itu, TikTok bisa menjadi platform yang menjalankan fungsi enhancer (memperbanyak) informasi yang terkandung dalam konten. Inilah mengapa apa yang ada di TikTok menjadi lebih mudah viral dibandingkan platform lain.
Hal ini pun berlaku dalam dinamika diskursus politik. Salah satunya terjadi di Filipina ketika musim Pilpres Filipina 2022 – yang diikuti oleh Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., Leni Robredo, Manny Pacquiao, dan Isko Moreno.
Pilpres tersebut berakhir dimenangkan oleh Bongbong. Menariknya lagi, ada satu platform yang cukup mendorong popularitas Bongbong, yakni TikTok – di mana terdapat sejumlah video wawancara dirinya yang viral di platform medsos asal Tiongkok tersebut.
Bila TikTok bisa menjadi political echo chamber bagi Bongbong di Filipina, bagaimana dengan para politisi yang ingin maju dalam Pilpres RI 2024 mendatang – seperti Ketua DPR RI Puan Maharani, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, dan Menteri BUMN Erick Thohir?
“Puan Itu Siapa?”
Menjadi masuk akal apabila para politisi – khususnya yang ingin maju dalam kontestasi pemilihan umum (Pemilu) – di Indonesia mulai terjun ke platform asal Tiongkok tersebut. Berkaca dari penjelasan algoritma di atas, TikTok bisa menjadi semacam machine gun terhadap informasi yang ingin disebarkan, termasuk informasi politis.
Mungkin, dengan banyaknya politisi yang terjun ke platform TikTok, bisa dibilang Pilpres 2024 seolah-olah menjadi Pilpres TikTok. Bukan tidak mungkin, TikTok akan menjadi platform kampanye masa depan bagi para politisi yang menyebut diri mereka sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Menariknya, selain politisi yang memang memiliki akun TikTok resmi seperti Erick, RK, dan Sandiaga, Puan disebut juga mulai menyewa jasa para TikTokers untuk memberikan citra positif tentang dirinya. Akun TikTok bernama Inspektur Nguyen (@xeronav) mengungkapkan informasi ini di akunnya pada bulan Mei 2022 lalu.
Menariknya, bila dibandingkan dengan Erick, RK, dan Sandiaga, Puan bisa dibilang masih kurang dikenal dengan baik di medsos. Ini bisa diamati dari sisi jumlah followers mereka di Instagram.
Secara elektabilitas, Puan pun masih tertinggal dalam banyak hasil survei. Padahal, bila kabar soal influencer TikTok benar, Puan sudah berusaha mencoba terjun ke dunia TikTok. Lantas, apa yang membedakan Puan dengan para capres potensial lainnya?
Jika diamati, Puan masih berkutat dengan kampanye yang menggunakan medium cetak semacam baliho dan poster. Secara visual, tentunya medium-medium seperti ini bisa memperkenalkan Puan terhadap banyak orang – setidaknya dari segi identifikasi wajah dan slogan.
Di sisi lain, Puan juga mulai menggunakan medsos untuk memancarkan dirinya ke para calon pemilih potensial. Ini bisa dilihat dari foto dan video dokumentasi kegiatan yang diunggahnya di sejumlah medsos seperti Instagram.
Namun, ada satu hal yang membedakan Puan dengan para capres potensial lainnya, yakni persona. Bila ingin mendapatkan popularitas bak para influencer, tentunya jejak dan langkah yang diperlukan juga harus sesuai – setidaknya mirip.
Mengacu pada tulisan Anping Wang yang berjudul Influencer Persona and Audience Engagement, para influencer membangun persona di medsos – yakni peran dan citra yang ditampilkan pada audiens. Pembangunan persona seperti ini menjadi penting – bila mengacu pada teori presentasi diri (self-presentation theory) dari Erving Goffman – agar bisa mengontrol impression (kesan) yang dibentuk oleh audiens terhadap diri sang influencer.
Inilah mengapa, bila memperhatikan konten-konten para capres potensial seperti RK, Erick, dan Sandiaga, banyak konten justru memancarkan presentasi diri mereka. Erick, misalnya, berusaha menampilkan dirinya yang suka dengan film dan tren populer – seperti dengan membahas film KKN di Desa Penari (2022).
Bukan tidak mungkin, presentasi diri inilah yang perlu dipelajari oleh Puan – layaknya para influencer yang membangun persona dan mengandalkan virality yang menyertai TikTok. Siapa tahu Puan nantinya bisa mengikuti jejak viral ala Olivia Rodrigo – dan berakhir sebagai politikus-influencer terpopuler pada 2024? Who knows, kan? (A43)